:
dengan segenap rasa hormat saya bagi setiap orang yang memilih berjuang
keras untuk hidup daripada menadahkan tangan memohon belas kasihan.
terkait ramadhan, saya rasa profil seperti ibu riwati inilah yang sebaiknya
dibantu para muzakki (= pembayar zakat);   tidak berarti saya bilang
bersedekah pada para pengemis itu salah.

bila dikaitkan dengan ekonomi (dan pembangunan), ada beberapa data dalam
berita ini yang saya cermati:
1. ibu ini tidak tersentuh/terdata jamkesmas/jamkesda atau yang sejenisnya.
kalau ternyata mendata penduduk miskin itu susah, jadi kepingin tahu apabila
masyarakat sendiri bergerak menggalang dana untuk membangun yayasan yang
mendirikan RS atau pendidikan bagi warga miskin, tentunya ngga ambil untung,
misalnya.. apakah akan berhasil di Indonesia sesemarak yayasan-yayasan amal
atau lembaga donor bagi LSM di Indonesia, seperti yang ada di luar negeri ?
2. ada transaksi menarik: penitipan kambing, bentuknya saya kurang tahu,
tapi upahnya berupa anak kambing titipan tsb (entah sebagian atau semuanya,
saya ngga tahu juga). jadi mirip bank ya, kita titip uang, uangnya diputar
bank dan andainya laba, sebagian boleh diambil bank.
3. ketika membangun seperangkat infrastruktur seperti jembatan antarpulau,
mohon maaf ini pertanyaan orang yang ngga tau: apakah cost & benefit sudah
diperhitungkan ? dan apakah ada reviu atau audit atas hal ini, diluar audit
keuangan atau audit operasional pembangunan sang jembatan ?

jika berkenan, mohon bantuan petromaksnya bagi saya yang bodoh ini
jika tidak berkenan, ya mohon maap, sudah  mengganggu

*BR, ari.ams*


artikel asli:
http://oase.kompas.com/read/2010/08/31/02115556/Kegigihan.Riwati.Menaklukkan.Kemiskinan-14

*
Kegigihan Riwati Menaklukkan Kemiskinan
Selasa, 31 Agustus 2010 | 02:11 WIB
*

Oleh *M. Irfan Ilmie*

Matahari di atas Selat Madura tertutup awan, sementara sebagian tanah di
wilayah pesisir Bangkalan basah oleh rinai hujan.

Fenomena itu bagian dari pertanda musim kemarau basah. Meskipun mendung,
udara pada siang hari itu cukup menggerahkan.

Ular dan biawak pun lamat-lamat keluar dari semak belukar untuk sekadar
mencari kesegaran dengan bermain gemercik air di kali.

Dua ekor binatang melata itu pun seakan tak terusik oleh aktivitas seorang
perempuan separuh baya di sekitar kali di Desa Sukolilo Timur, Kecamatan
Labang, Kabupaten Bangkalan.

Batu seukuran buah pepaya yang diperolehnya dengan menggali tanah
dikumpulkannya di tempat tersendiri. Setelah dimasukkan ke dalam keranjang,
batu itu dipanggulnya. Kakinya yang kuat menaiki jalan setapak yang menanjak
menuju rumahnya.

Batu-batu yang dipanggulnya itu pun dijatuhkannya di atas pekarangan samping
rumahnya, persis seorang pegulat wanita saat membanting lawannya di atas
matras hingga menimbulkan suara, "Brug.....!"

Tak lama kemudian, seorang gadis kecil menyodorkan palu. Sejenak dia
mengusap peluh yang membasahi wajahnya sebelum memulai pekerjaan lanjutan,
mencincang batu-batu seukuran buah pepaya itu menjadi seukuran ibu jari.

"Selagi masih ada hujan, pekerjaan ini terasa agak berat," kata Siti Riwati,
saat ditemui di sela-sela kesibukannya di halaman samping rumahnya itu,
Minggu (29/8).

Selain berpengaruh terhadap berat massa, kandungan air di dalam bebatuan
yang telah bertahun-tahun tertimbun di dalam tanah pegunungan itu
mengakibatkan batu tidak mudah dipecah.

Dibutuhkan tenaga ekstra untuk mencacah batu-batu itu menjadi beberapa
bagian yang lazim disebut sebagai batu kerakal atau batu koral. Batu yang
bentuknya tak beraturan dan bersudut runcing itu biasa digunakan untuk
campuran bahan cor dan permukaan jalan sebelum diaspal.

Meskipun demikian, tidak ada isyarat menyerah yang tergambar pada gurat
wajah janda berusia 45 tahun itu. "Setiap hari seperti ini," kata Riwati
mengenai batu yang menjadi menu kehidupan sehari-harinya itu.

Di sela-sela perbincangan, seorang gadis kecil keluar dari rumah dan
menghampiri ibunya yang sibuk oleh pekerjaannya itu. Mulut si gadis kecil
itu didekatkan pada telinga ibunya untuk menyampaikan sebuah pesan.

Riwati pun beranjak dari "dingklik" yang didudukinya setelah tangan gadis
itu menariknya terlalu kuat dan masuk ke dalam rumah beberapa saat untuk
memberikan penjelasan.

Pesan akan sifat posesif terhadap ibunya terpancar dari sorot mata gadis
itu. "Sejak usia enam bulan, dia ditinggal bapaknya. Jadi, sama saya seperti
itu," katanya tentang anak bungsunya bernama Siti Hasanah yang tak mau lepas
dari dekapannya.

Tatapan mata bocah berusia delapan tahun yang masih duduk di bangku kelas IV
SD Negeri Sukolilo Timur itu menyiratkan kecurigaan kepada tamu, terutama
laki-laki yang tak dikenalnya.

"Meskipun yang datang ke sini biasanya orang-orangnya Pak Lurah yang mau
mengangkut batu, dia tetap seperti itu," kata Riwati yang bertekad bulat
tidak mau menikah lagi setelah suaminya meninggal sekitar tujuh tahun silam
itu.

Ia tetap mengikuti kata hatinya sebagai orang tua tunggal yang bertanggung
jawab penuh atas masa depan anak-anaknya. Kalau pun dia memilih menjadi
suami orang, tentu dia tidak akan bertahan menjanda selama tujuh tahun
lebih. Setidaknya, ketika ditinggal mati suami, usia Riwati sekitar 37 tahun
dan masih sangat mungkin menikah dan memiliki anak lagi.

Bentuk cinta dan kasih sayangnya pada suami yang telah memberikannya enam
orang anak itu lebih dari sekadar cukup. Baginya, cinta dan kasih sayang
kepada seseorang tak cukup sekadar masalah biologis.

Jerih payahnya sebagai pemecah batu setidaknya terlihat dari keberhasilannya
mengantarkan anaknya yang nomor empat tamat SMA dan saat ini telah mampu
mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan
Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER).

"Kini saya masih menanggung dua anak lagi," kata Riwati tentang kedua
anaknya, Hasanah dan kakak perempuan yang masih duduk di bangku SMA dan
tinggal di sebuah pondok pesantren di Labang itu.

Perempuan Mandiri

Siti Riwati adalah potret kehidupan seorang perempuan Madura yang mandiri,
tangguh, tahan menderita, dan tak kenal lelah dalam menafkahi keluarganya.

Ia juga bagian dari sederetan perempuan desa di sekitar Jembatan
Surabaya-Madura (Suramadu) yang terbiasa menghidupi keluarganya dengan
memecah batu.

Peningkatan kesejahteraan sebagaimana janji para pemimpin negeri dan pejabat
di daerah saat meresmikan pembukaan jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu
hingga kini belum dirasakan oleh masyarakat "Pulau Garam" itu.

Beruntung, masyarakat di sekitar Jembatan Suramadu itu bukanlah tipe orang
yang hanya bisa berpangku tangan sambil menanti belas kasihan sang pemimpin.

Mereka menyekolahkan anak, mendapatkan pelayanan kesehatan, membeli obat,
dan memenuhi hajat hidup sehari-hari dari jerih payah sendiri.

Mereka tidak mengenal Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau pun
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), sebuah program pelayanan kesehatan
gratis yang seharusnya diperuntukkan bagi keluarga miskin. "Kalau ke dokter,
saya tetap bayar Rp25 ribu," kata Riwati.

Untuk urusan makan, dia tetap membeli beras sesuai dengan harga pasar. Kalau
pun mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin), cukup untuk menutupi
kebutuhan dua sampai tiga hari karena jatahnya hanya lima kilogram perbulan.
Sementara kebutuhannya lebih dari jatah raskin itu.

Sudah lebih dari dua tahun, harga jual batu kerakal tak pernah beranjak dari
level Rp3.000,00 per blek atau Rp150.000,00 per pikap.

"Sehari paling banter dapat menghasilkan enam sampai tujuh blek," kata
Riwati yang sudah lebih dari 10 tahun menggeluti pekerjaannya itu.

Dia mengaku masih kalah dengan tetangganya, Soma. Perempuan renta berusia
sekitar 95 tahun itu mampu menghasilkan delapan sampai 10 blek per hari.

Dari Soma lah, Riwati belajar menyulap batu gunung yang bertebaran di bawah
tanah pekarangannya itu menjadi batu-batu kerakal yang siap jual.

Kalau dikalkulasi secara matematis, tentu jerih payah Riwati tidak akan
mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama dua anak yang menjadi
tanggungannya itu.

Bukan orang Madura, kalau tidak mampu berusaha. Ia pun turut memelihara
kambing milik orang lain untuk bisa bertahan hidup pada zaman serba susah
ini.

Saat ini di kandang yang berada di salah satu halaman rumah kerabatnya itu
terdapat tujuh ekor kambing. Sesuai tradisi, pemelihara mendapat jatah
separuh, sedangkan separuh lainnya menjadi bagian pemilik kambing itu.

"Tadinya ada orang menitipkan dua ekor kambingnya. Dari hasil perkawinan,
kambing itu beranak dua. Dua kambing anakan inilah yang menjadi hak saya,"
kata Riwati.

Kemudian ada orang lain lagi yang menitipkan dua ekor kambingnya pada
Riwati. Dan kambing itu pun kini beranak satu.

"Kambing itu menjadi tabungan. Sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak, kambing
itu saya jual," katanya menuturkan.

Baginya, kemiskinan adalah sebuah batu. Secadas apa pun sebuah batu pasti
akan luluh lantak juga bila disertai dengan usaha dan kemauan keras.

Ia pun mengajarkan anaknya untuk memerangi kemiskinan dengan menempuh
pendidikan setinggi-tingginya.

"Setidaknya anak saya kelak tidak sesengsara ibunya. Kalau pun ditakdirkan
seperti saya, mereka tetap harus bisa mandiri," kata Riwati seraya
meninggalkan pekerjaannya untuk sejenak waktu memenuhi panggilan azan.
-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke