--------------------------------------------------------------------- WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP Edisi: Bahasa Indonesia Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir. --------------------------------------------------------------------- Edisi ini diterbitkan pada: Rabu 30 Agustus 2000 15:00 UTC ** KELOMPOK PRO SOEHARTO MENGERAHKAN MASSA ** TIMOR LOROSAE RAYAKAN SATU TAHUN REFERENDUM KEMERDEKAAN ** PERUNDINGAN MILITER TINGKAT TINGGI KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN ** TOPIK GEMA WARTA: USKUP BELO UCAPKAN TERIMAKASIH KEPADA INDONESIA KARENA RAKYAT TIMOR TIMUR DIBERI KESEMPATAN MENDERITA ** TOPIK FOKUS AKHIR PEKAN: BEN ANDERSON SOAL PENGADILAN SOEHARTO, SEPERTI RIBUT MASALAH SELERA NORAKNYA HITLER ** TOPIK GEMA WARTA: PRASARANA HUKUM INDONESIA SOAL HAK-HAK ASASI MANUSIA SANGAT TERBELAKANG * KELOMPOK PRO SOEHARTO MENGERAHKAN MASSA Kelompok massa pendukung HM Soeharto kembali mendatangi PN Jakarta Selatan, Rabu ini. Mengaku berasal dari kelompok petani dan masyarakat miskin mereka menyebut sudah menyiapkan massa untuk menghadiri pengadilan Kamis besok. Sekitar 500 orang yang mengaku petani dari Gunung Sindur dan Indramayu itu datang ke PN Jakarta Selatan dan diterima Kahumas, Soedarto. Dalam tuntutannya mereka meminta agar mantan Presiden HM tidak diadili karena tua dan sakit. Menurut koordinator kelompok, Ir Arso Muharwin Gusti atau Erwin, mereka merencanakan akan menginap di PN Jakarta Selatan dan di Departemen Pertanian menunggu pengadilan HM Soeharto besok pagi. "Saat ini kami juga sudah mengkonsentrasikan 5000-6000 massa di sekitar Parung yang akan menuju Departemen Pertanian," kata Erwin. Menurut Erwin, "Bangsa ini terpecah karena ulah elit politik. Banyak rakyat dan petani yang sengsara. Padahal mereka hanya butuh ibadah, pendidikan dan makan yang tenang dan cukup." Ditanya kemungkinan bentrok dengan kelompok anti HM Soeharto, Erwin menjelaskan,"Kami ini dasarnya gerakan damai dan tidak akan memancing lebih dulu. Persoalannya lain kalau kami dipancing." * TIMOR LOROSAE RAYAKAN SATU TAHUN REFERENDUM KEMERDEKAAN Hari ini Timor Timur merayakan satu tahun referendum menuju kemerdekaan dari Indonesia. Tepat 30 Agustus tahun lalu, referendum dilaksanakan di Timor Timur, dan 78,5% warganya memilih lepas dari Indonesia. Di banyak gereja di Timor Timur hari ini diselenggarakan misa mendoakan para arwah yang meninggal karena dibunuh milisi pro Indonesia. Uskup Dili Mgr. Carlos Felipe Ximenes Belo dalam misa requiem berseru kepada rakyat Timor Lorosae untuk memaafkan para jenderal TNI, pemimpin pro-otonomi dan juga para komandan milisi pro-Jakarta. Mgr. Belo juga mendesak rakyat Timtim untuk melupakan tahun-tahun kekerasan yang telah berlalu dan saatnya kini memandang masa depan. Ribuan orang menghadiri misa yang khusyuk dan sarat dengan mereka yang berdoa sambil berlinangan air mata. Sementara itu ribuan orang lagi berpawai di jalan-jalan, sebagian ke kantor PBB atau menghampiri kendaraan-kendaraan PBB sambil menyeru-nyerukan ucapan terima kasih atas bantuan bagi kemerdekaan Timtim. Makam Santa Cruz juga menjadi ajang peringatan. Dalam upacara peringatan yang disertai dengan peletakan bunga, pemimpin Jose Ramos-Horta mengatakan bahwa di lokasi ini pada 1991 telah gugur mereka yang memberikan nyawanya bagi kebebasan Timor Lorosae. Dalam pidato resmi di depan ratusan warga yang berkumpul, mantan pemimpin gerilyawan Timor Timur Xanana Gusmao memaklumkan hari ini sebagai "sebuah hari rakyat." * PERUNDINGAN MILITER TINGKAT TINGGI KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN Menteri Unifikasi Korea Selatan (Korsel) Park Jae-kyu hari ini mengusulkan pembicaraan militer tingkat tinggi dengan Korea Utara (Korut) dan membangun sambungan telepon militer langsung guna mengatasi ketegangan di kawasan paling berbahaya di dunia itu. "Marilah kita melakukan pembicaraan militer pada tingkat menteri atau tingkat pejabat senior untuk mengambil langkah realistik guna membangun sikap saling percaya dan mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea," kata Park ketika membuka pembicaraan dengan mitranya dari Korut di Pyongyang. Sejumlah 35 anggota delegasi Korsel, yang dipimpin Park, terbang ke ibukota Korut Selasa untuk melakukan pembicaraan dua hari guna memperbaiki hubungan ekonomi dengan pihak pemerintah komunis Korut dan mengurangi ketegangan di wilayah berpenjagaan militer terketat di dunia itu. Pembicaraan tersebut merupakan putaran kedua pembicaraan yang dilaksanakan sejak pertemuan Presiden Korsel Kim Dae-jung dengan pemimpin Korut Kim Jong-il dalam pertemuan puncak di Pyongyang Juni lalu. Park juga mengusulkan kedua Korea membentuk struktur hukum bagi proyek ekonomi, termasuk perjanjian mengenai pengenaan pajak berganda dan jaminan investasi. * AMERIKA SERIKAT MINTA FILIPINA JAGA KEAMANAN SEORANG SANDERA AMERIKA DI JOLO Pemerintah Amerika Serikat secara resmi meminta pemerintah Filipina agar menjaga keamanan seorang sandera berwarganegara Amerika yang kini masih ditahan oleh kelompok islam ekstrimis, Abu Sayyaf. Gedung Putih menegaskan tidak akan mengabulkan tuntutan Abu Sayyaf, yang meminta Washington segera membebaskan tiga orang yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh terlibat pemboman Gedung World Trade Center di New York tahun 1993. Abu Sayyaf mengancam akan membunuh seorang sandera warga negara Amerika berusia 24 tahun kalau tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sejauh ini, Abu Sayyaf masih menyandera 20 orang sandera di Jolo. Enam sandera dari Barat sudah dibebaskan awal pekan ini atas upaya perantaraan Libya. * PBB KEMBALI BANTU PENGUNGSI TIMOR TIMUR Perserikatan bangsa-bangsa melanjutkan kembali program bantuan bagi pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, demikian juru bicara PBB. Pekan silam organisasi pengungsi PBB menghentikan tugas bantuan di kamp pengungsi sehubungan aksi kekerasan yang melukai tiga karyawan mereka. PBB menyatakan puas atas upaya pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus kekerasan tersebut. Dua orang tertuduh berhasil ditangkap. Organisasi pengungsi PBB, UNHCR menghendaki agar Indonesia menjaga keamanan kamp-kamp pengungsi dan menciduk para anggota milisia pro-Jakarta yang menyusup diantara para pengungsi. Di Kamp pengungsi NTT terdapat sekitar 125 ribu pengungsi Timor Timur. * SEKJEN PBB SERUKAN PEMBEBASAN AUNG SAN SUU KYI Sekjen PBB Kofi Annan mendesak rezim militer di Myanmar agar segera membebaskan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. Selama seminggu dia dan pendukungnya dicegat dalam mobil sekitar 30 kilometer dari kota Yangoon. Rezim militer Myanmar tidak menginginkan Aung San Suu Kyi kembali ke ibukota. Annan menyatakan kekhawatirannya akan kondisi kesehatan pemimpin oposisi itu. Amerika Serikat seringkali mengecam Myanmar karena melakukan pelanggaran hak asasi. Uni Eropa juga mengecam hal yang sama. Inilah untuk pertama kalinya penerima hadiah nobel perdamaian ini ditahan rezim militer karena melakukan kampanye selama 13 hari. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung Saan Suu Kyi menang dalam pemilu 10 tahun lalu tetapi tidak diakui rezim negara itu. * KUNJUNGAN CLINTON DI KOLUMBIA DISAMBUT KEKERASAN Presiden Amerika Serikat Bill Clinton tiba di Kolumbia hari ini dan bertemu dengan Presiden Andres Pastrana untuk menyerahkan secara simbolik paket bantuan senilai 1.3 milyar dolar untuk membantu negeri itu dalam melawan perdagangan narkoba. Kunjungan 10 jam Clinton itu disambut oleh FARC kelompok penentang terbesar Kolumbia yang menganggap kunjungan ini bagian dari intervensi Amerika. Sebelumnya, Selasa mereka telah melancarkan sejumlah serangan ke sejumlah perkampungan dan kota yang mengakibatkan dua polisi tiga penduduk tewas. Para komando FARC juga meledakkan tiga bank dan menghancurkan sebuah ruas sebuah jalan raya. Peristiwa ini terjadi hanya beberapa jam menjelang kedatangan Clinton yang diduga akan mengadakan pertemuan dengan Pastrana. * USKUP BELO UCAPKAN TERIMAKASIH KEPADA INDONESIA KARENA RAKYAT TIMOR TIMUR DIBERI KESEMPATAN MENDERIA Intro: 30 Agustus adalah hari bersejarah bagi seluruh masyarakat Timor Lorosae. Hari untuk gembira dan hari untuk mengenang kebebasan Timor Lorosae yang dibayar dengan harga mahal dan pengorbanan tinggi. Walaupun sudah banyak nyawa melayang, namun Uskup Dili, Carlos Felipe Ximenes Belo tidak menyimpan dendam pada Indonesia, yang dianggapnya bukan penjajah melainkan saudara, dengan senang hati pemuka agama ini menjawab pertanyaan Radio Nederland dalam bahasa Indonesia. Carlos Belo [CB]: Itu berarti kami bangsa Timor mau mengampuni. Tapi juga untuk menyampaikan kepada jenderal dan semua orang bahwa menghormati orang lain itu lebih penting dari pada membuat mereka menjadi budak atau orang tertindas. Radio Nederland [RN]: Monseigneur, pagi kemarin diadakan misa di Katedral Montael Dili, apa yang Monseigneur sampaikan? CB: Saya menyampaikan empat pikiran. Pertama, berterimakasih kepada Tuhan karena nilai kebebasan yang diperoleh. Kedua, untuk memperingati orang-orang Timor yang meninggal dunia karena kebebasan ini. Yang ketiga, mengimbau untuk bekerja keras untuk membangun daerah ini. Dan keempat, mengampuni para jenderal, komandan milisi dan leader-leader (pemimpin --Red) pro otonomi dan pro integrasi dan mengundang mereka --kalau mau kembali--silakan kembali ke Timor sini untuk bersama-sama membangun Timor yang baru, Timor yang bebas. RN: Monseigneur bersyukur atas kebebasan yang diperoleh, tapi kebebasan dibayar dengan harga sangat mahal karena banyak jumlah korban, dan juga mengimbau mengampuni mereka yang melakukan kejahatan. Tapi sampai sekarang, kejahatan itu masih ada atau tidak? CB: Kejahatan di sini berkurang sekali, boleh dikatakan tidak ada. Hanya di bagian barat itu masih ada, dan mudah-mudahan mereka itu bertobat dan mereka harus menyadari diri bahwa mereka itu adalah bagian dari sejarah yang lampau. Bukan dari sejarah yang baru. Lebih baik tinggalkan pikiran-pikiran keliru dan bersama-sama di sini membangun Timor yang baru. RN: Menurut Monseigneur, apakah rakyat Timor Lorosae bersedia mengampuni milisi yang banyak melakukan kejahatan di masa lampau? CB: Saya baru datang dari selatan, dari Hatudu di mana aktif kelompok Mahidin, mereka di sana menyampaikan, bahwa saudara-saudara pengungsi di bagian barat itu, bisa datang, dan mereka akan menerima dengan baik. Begitu pula milisi-milisi, datang dulu, kita akan bicara menurut adat kita, menurut agama Katolik, apakah nanti kita serahkan serahkan kepada Pengadilan atau Tribunal. Tapi mereka juga bersedia mengampuni. RN: Misa kemarin pagi, banyak orang hadir? CB: Itu saya kira lebih dari enam ribu orang. Di luar dan di dalam itu padat sekali, sehingga hosti yang dibagikan, tidak cukup. Suasana hening, mereka memahami, berdoa, dan banyak orang asing juga heran atas sentimen masyarakat Timor Timur. Oh ya, saya lupa, tadi dalam khotbah, saya mengatakan, jangan lupa terimakasih kepada organisasi internasional, kemudian mengimbau untuk ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Habibie karena beliaulah yang memberikan dua opsi. Begitu pula kami berterimakasih kepada Wiranto karena telah memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk menderita. Jadi, melalui penderitaan yang diberikan Wiranto dan jenderal-jenderalnya, maka kami memperoleh kemerdekaan ini. Demikian Uskup Belo. Kami menghubungi Xanana Gusmao, tokoh lain yang penting bagi Timor Lorosae yang tengah berada dikeramaian pesta. Xanana Gusmao [XG]: Di sini berkumpul beberapa orang saja, tapi di depan kantor UNTAET, ribuan orang di sana, keluar masuk. Pesta besar ada di sana. Di sini di dalam gedung di mana selama sembilan hari diadakan kongres nasional CNR. RN: Bagaimana setahun setelah referendum, bagaimana keadaan Timor Lorosae? XG: Ya di sini, kalau dilihat dari segi fisik, dari Oktober November itu, sedih sekali karena kekurangan semua, dari barang sampai makanan, baju, pakaian, tapi sekarang sudah agak lebih baik, dan orang sudah mulai bekerja karena semua dirusakkan, tidak hanya bisa berjalan pelan, tapi inilah keyakinan orang Timor Lorosae untuk merdeka. Demikian Xanana Gusmao, salah seorang pemimpin Timor Lorosae. Dan sebelumnya anda juga sudah mendengar penjelasan Uskup Dili Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo. * BEN ANDERSON SOAL PENGADILAN SOEHARTO, SEPERTI RIBUT MASALAH SELERA NORAKNYA HITLER 31 Agustus 2000 mungkin akan menjadi salah satu hari bersejarah baru bagi Indonesia, karena pada hari itu, paling sedikit seperti diumumkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu 23 Agustus, dimulai pengadilan mantan Presiden Soeharto. Akhirnya, peradilan Indonesia yang semasa 32 tahun kekuasaan Soeharto terbukti tidak pernah mandiri dari kekuasaan mutlaknya, berani menyeruak tampil dengan wewenang yudikatifnya. Maka inilah kesempatan emas bagi jajaran peradilan Indonesia untuk membuktikan diri mampu menegakkan kedaulatan hukum. Tetapi, tidak semua kalangan menyambut baik pengadilan bersejarah ini. Salah satunya adalah Profesor Benedict Anderson, indonesianis dari Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat. Dalam sebuah mingguan ibukota Ben Anderson pernah menulis, "Keributan mempersoalkan perkara korupsi Soeharto dan keluarga (seolah-olah kriminalitas Soeharto hanya sejenis kriminalitas Eddy Tansil) sama gilanya dengan keributan tentang banyaknya gundik Idi Amin, tentang pencolengannya Slobodan Milosevic, atau selera artistik Adolf Hitler yang norak. Bahwa kelas menengah Jakarta dan sebagian besar lapisan intelektual masih sibuk dengan isu duit yang dicolong "Pak Harto" (Duit kite, lo. Mungkin begitu impiannya), itu menunjukkan dengan jelas bahwa mereka belum mampu menghadapi realitas dan sejarah modern bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sikap burung unta, yang ngotot "mencemplungkan kepalanya" ke dalam lautan pasir, berbahaya sekali. Seorang intelek wicaksana pernah bersabda: mereka yang tak mau tahu masa lalu dihukum untuk mengulanginya. Mengerikan, bukan?" Nada sinis pada peringatan di atas sebenarnya sulit dipahami kalau harus datang dari seorang yang selama 20 tahun lebih sempat dicekal oleh Soeharto untuk bisa masuk Indonesia. Untuk mengetahui alasan kesinisan ini kami menelpon Profesor Benedict Anderson di kantornya, di Ithaca, bagaimana pendapatnya mengenai dakwaan korupsi terhadap Soeharto itu? Benedict Anderson [BA]: Bagaimana pun saya kira ini paling gampang untuk elit. Jadi masalah korupsi itu masalah, ya, pribadi. Jadi, kalau dia diadili atas tuduhan ini, geng Orde Baru dan sebagian besar dari geng Reformasi akan merasa aman. Tapi kalau tuduhannya berbau politik dan kriminal, tentara bisa groggy, dan banyak orang yang sekarang berkaok sebagai kelompok Reformasi akan terpaksa melihat ke belakang. Karena bagaimanapun landasan era reformasi tetap apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 60an. Saya sudah pernah bikin perhitungan, bahwa kalau kita ikutkan orang Timtim, selama Harto berkuasa, paling sedikit 800 ribu manusia Indonesia mati secara tidak normal. Itu suatu kriminalitas yang luar biasa. Tapi kalau itu dijadikan tuduhan terhadap Soeharto, banyak sekali orang lain yang harus terseret. Radio Nederland [RN]: Anda mengatakan sebagai yang "paling gampang" dan "supaya orang lain tidak terseret", jadi seolah-olah orang lain ini tidak korupsi gitu? BA: Bukan, maksudnya kalau masalah yayasan ini, atau yayasan itu menyelewengkan duit, itu yang lain-lain akan merasa sudah aman. Karena ini pasti kasus yang lama. Dan tingkat korupsi pada masa Soeharto begitu tinggi dan begitu meluas, sehingga kalau mulai diadili kasus-kasus korupsi, itu baru bisa selesai mungkin 60 tahun ke depan. RN: Padahal menurut anda kasus-kasus non korupsi, kasus kejahatan politik yang anda bilang itu lebih penting ya ketimbang kasus korupsi? BA: Ya, saya pernah menulis bahwa ribut masalah duit ini, duit itu dicolong sama Soeharto dengan tidak menghiraukan kriminalitas politik, itu seperti ribut masalah selera noraknya Hitler dan tidak menghiraukan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Hitler. Jadi ini sangat tidak rasional dan sangat di luar proporsi. RN: Dengan demikian menurut anda semua ini juga masih direkayasa ya, jadi hanya masalah korupsi, tapi bukan masalah kejahatan politiknya gitu. Maksudnya direkayasa itu diarahkan ke sana gitu, ya? BA: Ya, karena kalau masalah pembunuhan yang pernah terjadi, pembunuhan di Aceh, di Irian, di Timtim sampai sekarang enggak pernah dihadapi secara jantan oleh elit Indonesia, apalagi yang sebelumnya. Jadi masalah petrus tahun 83, dan paling penting itu pembunuhan massal tahun 65-66, kan. Di mana Ansornya Gus Dur, di mana Bantengnya Megawati, di mana tentara, di mana banyak sekali orang ikut. Kalau masalah ini dibuka kembali, ya susah untuk mereka. Mereka harus menghadapi masa lalu mereka sendiri. Dan itu mereka enggak mau. RN: Ada semacam sikap selektif gitu ya di kalangan elit politik Indonesia. Karena misalnya kalau kita membandingkan dengan kerusuhan tahun 98, yang mengarah pada lengsernya Eyang Soeharto, orang-orang Tionghoa banyak menjadi korbannya, perempuan-perempuan Tionghoa diperkosa segala macem. Itu kan terjadi semacam histeria massal, kaget semua. Tapi, kenapa kok menurut anda berhenti di situ saja? Orang-orang kok tidak menoleh lebih jauh lagi? BA: Well saya kira mungkin sebagian karena timingnya (saatnya, Red.), karena kriminalitas ini dianggap sebagai kriminalitas terakhir geng Soeharto yang setelah itu jatuh. Jadi mereka begitu happy (gembira, Red.) dengan dilengserkannya Soeharto sehingga apa yang terjadi sebelumnya enggak usah banyak dipikirkan. Tetapi jelas kalau kerusuhan itu diselidiki bener-beneran, ya itu pasti tentara kan menjadi biangnya. Seperti banyak sekali kasus di Indonesia, kan? Di Timtim itu sampai sekarang belum ada investigasi yang bener-beneran tentang apa yang terjadi. Enggak ada orang yang tanggung jawab atas apa yang terjadi, enggak ada orang yang dihukum karena itu. Apalagi masalah perkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa yang sebagian besar pasti dikerjakan oleh preman-preman anu, yang dekat dengan istana, dan Prabowo, dan sebagainya. Jadi, Soeharto sendiri enggak bisa begitu brutal dan begitu kriminal kalau dia tidak menjadi jenderal di antara sekian banyak jenderal dengan loyalitas angkatan darat di belakangnya. Jadi membongkar apa yang terjadi dulu, itu membongkar noda-noda yang besar sekali dalam image (citra, Red.) dan self respect (harga diri, Red.) angkatan darat. RN: Ya. Di Indonesia ini, para korban Orde Baru, misalnya yang diorganisir oleh Ibu Sulami itu kan mulai aktif, Ben. Bahkan hari-hari ini, Madame Danielle Mitterand, istrinya mendiang Presiden Prancis Francois Mitterand berkunjung ke Indonesia bertemu dengan Ibu Sulami segala. Nah itu ada kan semacam perlawanan atau usaha untuk minta keadilan pada periode itu Ben? BA: Memang ada. Walaupun secara resmi missinya Bu Sulami itu bukan untuk menyeret orang ke pengadilan, tetapi untuk mengetahui berapa banyak orang yang mati, matinya di mana, caranya bagaimana dan sebagainya. Jadi, itu semacam riset daripada semacam interogasi. Dan lama-lama saya kira juga orang-orang bekas Tapol akan buka mulut, akan menulis dan sebagainya. Tapi ini proses yang lama. Dan toh mereka menghadapi realitas bahwa sistem hukum di Indonesia itu kacaunya bukan main, korupnya bukan main. Jadi selama Mahkamah Agung, selama Pengadilan Tinggi dan sebagainya begitu brengsek, mereka juga tidak punya harapan. Pinochet Iya, kenapa Soeharto Enggak? RN: Lalu kalau kita bandingkan dengan Cile gimana Ben? Kan mantan diktator militer Cile ini, Jenderal Augusto Pinochet akhirnya dicabut kekebalan politiknya sebagai senator seumur hidup dan dia bisa diadili. Nampaknya memang di Cile hasrat untuk memperoleh keadilan dengan masa lampau itu lebih besar ya katimbang di Indonesia? BA: Well, ada bedanya juga. Barusan saya ke Peru dan bicara dengan sejarawan-sejarawan Cile yang kebetulan berkunjung ke sana. Mereka sangat anti Pinochet. Terus saya tanya jumlah total korban Pinochet, berapa orang yang dibunuh? Mereka bilang, "Menurut perhitungan kami itu kira-kira 3000 orang." Sedangkan korban tentara di Peru, selama Sendero Luminoso, dari pihak tentara paling sedikit 30 ribu. Tapi enggak ada orang yang omong perkara itu. Jadi jumlahnya di Cile tidak begitu besar, tapi itu menjadi sangat terkenal karena korbannya intelektual-intelektual, orang-orang kelas menengah dan sebagainya. Sedangkan di Peru yang dibunuh itu ya, petani-petani, sebagian besar. Ini masalahnya di Indonesia juga. Korban 65-66 ya tentunya banyak orang kader-kader PKI. Tapi sebagian besar, mungkin 90%, itu orang-orang di pedesaan, di mana orang Jakarta juga enggak perduli. Di mana pun ini masalah siapa yang menjadi korban. Itulah yang penting. Jadi si Pinochet bisa terseret, sebagian karena ia sendiri dengan bodonya pergi ke Inggris di mana dia bisa ditangkap, kan. Kalau dia tetap di Cile saya enggak percaya bahwa dia sampai kehilangan imunitasnya. Saya juga yakin ada semacam deal (kesepakatan, Red.) di belakang layar antara Inggris dengan Cile. Jadi menteri dalam negeri Inggris melepaskan Pinochet supaya tidak diseret ke Spanyol, tetapi saya yakin bahwa diem-diem pemerintah Cile berjanji bahwa dia akan diurusin bener-bener di Cile sendiri. Jadi apa yang terjadi di Inggris memaksa pemerintah Cile untuk bertanggung jawab, karena sebenarnya mereka takutnya bukan main. Bagusnya Soeharto mau diobati di luar negeri, lalu ditangkap. Nah, baru mungkin ada perbaikan. RN: Ya, jadi menurut anda yang ideal adalah memancing Soeharto supaya pergi ke luar negeri ya? BA: Well, ini omong secara kelakar, karena dia sudah tahu sekarang itu resikonya besar, kecuali kalau dia berobat ke Jepang. Kalau di Eropa atau Amerika, susah. RN: Kalau gitu, kembali kepada kasus Cile tadi, nampaknya Indonesia ini lebih mirip dengan Peru di mana banyak yang mati itu adalah penduduk pendesaan dan orang miskin, sehingga kesimpulannya keadilan ini masih milik orang kaya dan orang perkotaan ya? BA: Oh iya, di mana pun. Saya selalu heran dulu waktu nginterview (wawancara, Red.) orang-orang yang pernah menjadi Tapol di Indonesia. Semua mengakui bahwa orang yang paling disiksa, yang paling berat hukumannya justru yang kecil-kecil, anak Pemuda Rakyat, dan sebagainya. Sedangkan tokoh-tokoh besar, seperti Sudisman, yang seharusnya tanggung jawabnya paling besar justru tidak disiksa. Saya kira ada banyak faktor dalam hal ini. Tapi sebagian adalah, bagaimanapun Sudisman masuk lapisan intelektual, lapisan priyayi kecil, dan sebagainya. Ini tidak logis. Jadi justru orang yang tinggi seharusnya dapat hukuman yang paling berat, bukan yang kecil-kecil. Tapi dalam realitasnya justru sebaliknya. Ini bukan hanya di Indonesia yang terjadi demikian. Ini memang sering terjadi di manapun di dunia, aneh. Presiden Punya Premannya RN: Kalau begitu menurut anda adakah keterkaitan antara masa lampau Indonesia ketika Orde Baru tampil ini, dengan kekerasan yang sampai sekarang tidak pernah berhenti ini, di Maluku, kemudian di Aceh. Apakah menurut anda keduanya berkaitan? BA: Saya kira ada. Tetapi kita harus ingat bahwa Revolusi 45 sendiri itu penuh kekerasan. Terus Darul Islam pada tahun 50an itu cukup banyak kekerasan. Kahar Muzakar banyak kekerasannya. Jadi ini bukan 100% baru. Tetapi yang penting, yang terjadi selama Orde Baru adalah sekelas manusia yang merasa diri di atas hukum. Jadi tentara dengan OK dari Soeharto bisa buat apa saja untuk kepentingan negara di mata mereka sendiri. Jadi mereka enggak usah takut diseret ke mana-mana, diadili dan sebagainya. Mereka betul-betul menjadi monster. Mulai di Timtim, terus dari Timtim itu menjalar ke tempat lain. Petrus itu juga satu contoh. Selain itu sistem pengadilan, sistem hukum di Indonesia, itu sudah hopeless (tak bisa diharapkan, Red.). Jadi orang-orang merasa bahwa kalau mereka mau membela diri atau mencari selamat, kalau mau melawan, mereka harus pake cara-cara yang sama. Selain itu terus fenomena premanisme yang pada 10 tahun terakhir ini berkembang dengan sangat cepat, di mana mulai dengan pemerintah, Ali Moertopo dan sebagainya. Lama-lama itu PDI punya premannya, Islam punya premannya, presiden punya premannya. Sering masalah-masalah, seperti di Maluku, sebenarnya mulai di Jakarta. Waktu itu terjadi saingan antara geng Kristen dengan geng Islam perkara tempat judi dan sebagainya di Kota. Orang-orang Ambon Kristen kalah, terus mereka pulang ke Ambon dan mulai balas dendam di sana. Jadi, kultur premanisme, kultur di atas hukum di kalangan tentara, kultur kediktaturan semua ikut menjadi sebab musabab situasi seperti sekarang ini. RN: Kalau begitu akankah ada semacam jalan keluar kalau kita menegakkan apa yang disebut Gus Dur kedaulatan hukum, jadi menaruh semuanya di bawah hukum. Apakah anda setuju kalau itu dianggap sebagai langkah pertama yang paling bisa dikerjakan? BA: Well itu yang paling penting, tetapi justru itu yang paling sulit. Karena kalau lihat korps jaksa, korps polisi, korps hakim itu keroposnya minta ampun. Jadi pembersihan besar-besaran di lembaga-lembaga ini sangat perlu. Tetapi resikonya untuk Gus Dur itu tinggi juga. Marzuki Darusman sudah janji akan membersihkan Kejaksaan Agung, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa itu sedang dikerjakan. Seharusnya semua anggota Mahkamah Agung dipensiunkan, kalau enggak diadili. Tapi itu juga belum dilaksanakan. So, it's very difficult, ssssuuuulllitttt sekali. Resikonya besar. Tapi kalau enggak dijalankan ini akan tambah parah. RN: Kalau saya boleh berpaling ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, ya. Indonesia ini kan bukan satu-satunya negara yang kekerasan itu selalu nampak menonjol. Bagaimana dengan Filipina atau Thailand, menurut anda? BA: Well, Filipina dalam banyak hal mirip. Artinya sistem hukumnya brengseknya bukan main. Korupsinya bukan main. Jadi, kalau punya duit, apa saja tindakan kriminalmu, kamu akan selamat. Dan kekerasan yang besar-besaran terjadi di daerah Selatan antara Kristen dan Islam. Sudah 20 tahun terjadinya. Tetapi di tempat-tempat lain, dengan hampir selesainya gerakan gerilya Komunis, boleh dikatakan bahwa masyarakatnya lebih homogen, jadi 90% Katolik. Kekerasan atas dasar agama memang ada, tetapi daerahnya terbatas. Bagaimanapun dengan jatuhnya Marcos tentara juga lama-lama mundur. Dan memang sampai sekarang tidak pernah ada kediktaturan militer di Filipina. Jadi itu sesuatu perbedaan besar. Marcos itu orang sipil. Kalau di Muangthai situasinya lebih baik. Polisinya sangat dibenci, dan banyak korupsinya. Tetapi selama 15 tahun belakangan ini tentara berangsur-angsur dipinggirkan dari arena politik oleh kelompok kapitalis besar, kelompok raja, kelompok intelektual, dan sebagainya. Tapi harus diakui bahwa kekerasan yang paling terkenal dalam sejarah moderen Muangthai, yaitu pembunuhan massal di Universitas Thammasat pada tahun 76, sampai sekarang tidak pernah diperiksa, tidak ada orang yang diadili, dan sebagainya, walaupun semua orang tahu siapa yang membuatnya. Tetapi elit politik rupanya merasa bahwa kalau masalah ini dibongkar bisa merembet ke mana-mana, itu berbahaya, jadi dipetieskan. Kraton juga ikut main waktu itu. RN: Ya, jadi itu soal militer ya. Tapi bagaimana dengan soal premannya? BA: Well di Muangthai premanisme ada. Tapi civil society (masyarakat sipil, Red.) lebih kuat dan kelas menengah tidak suka sama premanisme. Jadi, itu faktor lokal, bukannya faktor nasional. Di Filipina banyak sekali geng-geng, tetapi semua geng-geng ini juga bersifat lokal. Tidak menentukan politik di tingkat nasional. Kita ambil suatu contoh. Pemuda Pancasila. Walau pun sekarang seperti sudah mau keok, tetapi pada masa jayanya, itu organisasi nasional. Jadi punya cabang di mana-mana, di seluruh Indonesia. Memeras kiri kanan. Di Muangthai atau Filipina, sama sekali nggak ada preman tingkat nasional yang dilindungi oleh pemerintah, seperti itu. Itu agak unik. Jadi peranan gengster-gengster kelas nasional. Gengster di Muangthai dan gengster di Filipina, ya, bersifat lokal. Itu satu perbedaan besar. RN: Dengan demikian di kedua negara ini masalah penegakan hukum ini tidak sebesar di Indonesia ya? BA: Tidak sebesar di Indonesia. Mengganggu Rasa Keadilan Orang Indonesia RN: Anda juga mengatakan, di Indonesia ini orang tidak berpikir tentang masa lampaunya. Lalu kan orang juga mengerti, kalau masa lampau ini tidak diselesaikan, orang akan dihukum untuk mengulanginya lagi. Anda juga pernah menulis soal ini. Kemungkinan itu tetap ada di Indonesia? BA: Well, bisa juga. I mean (maksud saya, Red.), kalau umpamanya orang seperti Benny Moerdani ditangkap dan diadili, walaupun mungkin pada akhirnya dia bisa dimaafkan oleh Presiden dengan amnesti, tapi paling sedikit pengadilannya akan membuka, untuk koran dan sebagainya, segala macam kekerasan yang pernah terjadi. Jadi akan menggugah kesadaran orang Indonesia tentang apa yang terjadi pada masa lampau. Orang seperti Benny Moerdani, Harto, biarpun mereka dieksekusi, toh mereka tidak bisa menghidupkan kembali ratusan ribu korban kan. Tapi paling sedikit, dengan pengadilan demikian, negara dan bangsa Indonesia akan terpaksa menghadapi apa yang terjadi dan memikirkan masa lalu mereka sendiri. Jadi, sebagai masalah anu, conscience, kan? RN: Masalah hati nurani, ya? BA: Ya, bahwa orang yang sekuat itu bisa diadili, bisa dipaksa untuk bicara tentang apa yang telah terjadi, biarpun membela diri dan sebagainya, saksi-saksi datang ke depan membeberkan pengalaman mereka, dan sebagainya. Dokumen-dokumen akan dikeluarkan dari arsip-arsip. Ini suatu proses yang bagaimanapun juga penting. Biarpun pada akhirnya mereka enggak dihukum, itu enggak apa-apa. Karena bagaimana pun kedua-duanya akan diambil Tuhan, kan. Kedua-duanya tua dan groggy. Juga dalam kasus Pinochet. Mereka pasti mengira bahwa dia tidak bisa hidup beberapa lama lagi kan. Dia sudah sakit, sudah ada masalah ini, masalah itu. Mungkin juga ada sebagian orang Cile yang mengharapkan bahwa dia cepat-cepat mati supaya enggak diadili. Tapi prinsipnya bahwa dia bisa diadili dan dipaksa untuk memberi semacam tanggung jawab terhadap tindakannya, saya kira untuk kesehatan moral bangsa Cile, itu penting. RN: Sepenting itu juga mengadili Soeharto dengan tuduhan pelanggaran hak-hak asasi manusia bagi kesehatan moral bangsa Indonesia, ya? BA: Iya, karena kalau menghukum preman ini, preman itu padahal Harto masih prei, dan sekaligus mengetahui bahwa kriminal besar masih enak-enak. Itu kan juga mengganggu rasa keadilan orang Indonesia, kan? Saya kasih contoh, bangsanya si Yoris, yang dulu polisi enggak berani tangkap. Seandainya dia ditangkap dan diadili, dia orang kecil sebenarnya. Orang mungkin akan senang sekali kalau dia diadili. Tetapi, bagaimana pun dia cuma pionnya Harto, kan? Jadi orang akan merasa, oh kok Yoris bisa dihukum, tapi bosnya, otaknya, kok enggak, itu enggak fair, kan? Demikian Profesor Benedict Anderson, pakar Indonesia dari Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat. Profesor Anderson adalah salah satu penulis Cornell Paper, karya akademis pertama yang meragukan versi Soeharto atas Peristiwa G30S. Sejak itu, Soeharto melarangnya datang ke Indonesia, dan Ben Anderson, begitu panggilan akrabnya, melebarkan sayap. Ia tidak hanya menekuni Indonesia, tetapi juga Filipina dan Muangthai. Kepiawaian Prof. Anderson pada tiga negara itu terlihat pada buku terakhirnya, The Spectre of Comparison, yang menelaah dan membandingkan nasionalisme, budaya dan sejarah Asia Tenggara dan dunia. * PRASARANA HUKUM INDONESIA SOAL HAK-HAK ASASI MANUSIA SANGAT TERBELAKANG Lembaga hak-hak asasi manusia ELSAM berharap, Indonesia bersedia meratifikasi instrumen HAM internasional dalam Millenium Summit PBB. Sedangkan Madame Danielle Mitterand mengusulkan supaya Tap MPR XXV dicabut tahun depan, dan bagi janda mantan Presiden Prancis ini, Soeharto layak diseret ke depan Tribunal Interansional. Koresponden Syahrir mengirim laporan berikut dari Jakarta: Dalam rangka menyambut Millennium Summit PBB yang akan berlangsung di New York tanggal 6-8 September 2000 yang rencananya akan dihadiri oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyarankan kepada pemerintah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya momentum itu dengan menandatangani instrumen internasional hak asasi manusia yang sangat mendasar. Dari tanggal 6-8 September 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa, berdasarkan resolusi Majelis Umum 53/239 tanggal 8 Juni 1999, 54/254 tanggal 15 Maret 2000 dan 54/261 tanggal 10 Mei 2000, akan menyelenggarakan Millennium Summit dengan tema umum, "Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Abad ke-21". Millennium Summit itu merupakan bagian integral Sidang PBB ke-55, yang ditetapkan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 17 Desember 1998. Presiden Abdurrahman Wahid akan menghadiri Millenium Summit ini beserta beberapa pejabat tinggi Departemen Luar Negeri RI. Salah satu agenda penting konperensi para kepala negara dan pemerintahan tersebut adalah dibukanya kesempatan oleh Sekjen PBB kepada berbagai negara untuk meratifikasi, menandatangani atau menyatakan persetujuan terhadap berbagai instrumen internasional PBB. Terutama instrumen-instrumen yang berkaitan dengan hak asasi manusia . Sebelumnya, pada tanggal 15 Mei 2000 yang lalu Sekjen PBB Kofi Annan pernah menyerukan hal serupa pada seluruh kepala negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Secara faktual, prestasi Indonesia selama ini untuk menyatakan persetujuan pada berbagai instrumen internasional relatif masih sangat rendah. Ini menandakan respon yang sangat minimal terhadap kebutuhan penghormatan dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Beberapa instrumen penting seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya , belum mendapat persetujuan apalagi ratifikasi pemerintah Indonesia. Padahal kovenan tersebut sangat fundamental sifatnya untuk meletakkan dasar bagi penghormatan HAM. Kecuali itu, di dalam sistem hukum nasional kita masih terdapat kesenjangan luar biasa dengan tatanan dan substansi instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional. Masih banyak produk legislasi nasional yang tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai HAM, dan tidak sedikit pula yang mengundang kontroversi. Berkaitan dengan itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui surat yang dikirimkan kepada Presiden Abdurrahman Wahid dan Dirjenpol Deplu RI, Hasan Wirajuda, menghimbau dan mendesak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan sebaik-baiknya momentum Millenium Summit ini untuk menandatangani instrumen internasional hak asasi manusia yang sangat mendasar, yaitu; -Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) beserta dua optional protocol-nya. -Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) -Konvensi tentang buruh migran (Convention on Migrant Workers) -Konvensi menentang genosida -Konvensi tentang tidak berlakunya asas kedaluwarsa bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Convention on the Non-Applicability Statutory Limitation to War Crimes and Crime Against Humanity) -Konvensi menentang perdagangan manusia dan eksploitasi prostitusi (Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and Exploitation of the Prostitution of Others), serta -Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute on International Criminal Court). Secara politis, penandatanganan instrumen-instrumen tersebut dapat membantu mengangkat kembali martabat negara Indonesia dalam komunitas hak asasi manusia internasional. Sementara dampaknya bagi dalam negeri adalah tuntutan moral percepatan reformasi hukum dan penegakan hkum di Indonesia, sebagai konsekuensi dan tanggung jawab negara penandatangan . Penandatanganan tersebut juga berarti salah satu bentuk pelaksanaan agenda reformasi di bidang hukum dan politik, sekaligus sebagai sebuah langkah ke depan dalam penegakkan dan penghormatan serta pembelaan hak asasi manusia di Indonesia. Sementara itu kemarin janda mendiang Presiden Prancis Francois Mitterand, yaitu Danielle Mitterand dalam pertemuannya dengan Presiden Abdurahman Wahid mengharapkan agar kepala negara ini terus mengupayakan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966. Gus Dur menjawab, bahwa jika tahun ini ia telah gagal memperjuangkan pencabutan Tap tersebut dalam Sidang Tahunan yang baru lalu, bukan berarti ia tidak akan kembali memperjuangkan hal tersebut pada ST MPR 2001. Sehari sebelum bertemu Gus Dur, Madame Mitterand telah mengadakan pertemuan dengan YPKP, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 dan Yayasan Hidup Baru. Pertemuan yang berlangsung di kediaman ketua YPKP, Ibu Sulami, dihadiri oleh tidak kurang dari 200 orang mantan tapol/napol. Dalam kesempatan tanya jawab antara peserta pertemuan dengan Madame Miterrand, seorang mantan napol dari organisasi Papua Merdeka, Jordan Ik, menanyakan mengenai kemungkinan mantan Presiden Soeharto diadili di mahkamah internasional kalau mantan diktator itu gagal diadili di Indonesia. Ia jawab kesempatan untuk menyeret mantan Presiden Soeharto ke pengadilan internasional, besar sekali. Kemarin istri mantan presiden Prancis tersebut menyempatkan diri untuk berbicara dgn mantan Panglima AURI, Marsekal Omar Dhani, dan pengarang terkenal Pramoedya Ananta Toer di kediaman masing-masing. --------------------------------------------------------------------- Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum http://www.ranesi.nl/ http://www.rnw.nl/ Keterangan lebih lanjut mengenai siaran radio kami dapat Anda peroleh melalui [EMAIL PROTECTED] Copyright Radio Nederland Wereldomroep. ---------------------------------------------------------------------