---------------------------------------------------------------------

WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP
Edisi: Bahasa Indonesia

Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh
Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir.

---------------------------------------------------------------------

Edisi ini diterbitkan pada:

Rabu 30 Agustus 2000 15:00 UTC



** KELOMPOK PRO SOEHARTO MENGERAHKAN MASSA

** TIMOR LOROSAE RAYAKAN SATU TAHUN REFERENDUM KEMERDEKAAN

** PERUNDINGAN MILITER TINGKAT TINGGI KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN

** TOPIK GEMA WARTA: USKUP BELO UCAPKAN TERIMAKASIH KEPADA INDONESIA
KARENA RAKYAT TIMOR TIMUR DIBERI KESEMPATAN MENDERITA

** TOPIK FOKUS AKHIR PEKAN: BEN ANDERSON SOAL PENGADILAN SOEHARTO,
SEPERTI RIBUT MASALAH SELERA NORAKNYA HITLER

** TOPIK GEMA WARTA: PRASARANA HUKUM INDONESIA SOAL HAK-HAK ASASI
MANUSIA SANGAT TERBELAKANG



* KELOMPOK PRO SOEHARTO MENGERAHKAN MASSA

Kelompok massa pendukung HM Soeharto kembali mendatangi PN Jakarta
Selatan, Rabu ini. Mengaku berasal dari kelompok petani dan
masyarakat miskin mereka menyebut sudah menyiapkan massa untuk
menghadiri pengadilan Kamis besok.
Sekitar 500 orang yang mengaku petani dari Gunung Sindur dan
Indramayu itu datang ke PN Jakarta Selatan dan diterima Kahumas,
Soedarto. Dalam tuntutannya mereka meminta agar mantan Presiden HM
tidak diadili karena tua dan sakit.
Menurut koordinator kelompok, Ir Arso Muharwin Gusti atau Erwin,
mereka merencanakan akan menginap di PN Jakarta Selatan dan di
Departemen Pertanian menunggu pengadilan HM Soeharto besok pagi.
"Saat ini kami juga sudah mengkonsentrasikan 5000-6000 massa di
sekitar Parung yang akan menuju Departemen Pertanian," kata Erwin.
Menurut Erwin, "Bangsa ini terpecah karena ulah elit politik. Banyak
rakyat dan petani yang sengsara. Padahal mereka hanya butuh ibadah,
pendidikan dan makan yang tenang dan cukup."
Ditanya kemungkinan bentrok dengan kelompok anti HM Soeharto, Erwin
menjelaskan,"Kami ini dasarnya gerakan damai dan tidak akan memancing
lebih dulu. Persoalannya lain kalau kami dipancing."


* TIMOR LOROSAE RAYAKAN SATU TAHUN REFERENDUM KEMERDEKAAN

Hari ini Timor Timur merayakan satu tahun referendum menuju
kemerdekaan dari Indonesia. Tepat 30 Agustus tahun lalu, referendum
dilaksanakan di Timor Timur, dan 78,5% warganya memilih lepas dari
Indonesia. Di banyak gereja di Timor Timur hari ini diselenggarakan
misa mendoakan para arwah yang meninggal karena dibunuh milisi pro
Indonesia. Uskup Dili Mgr. Carlos Felipe Ximenes Belo dalam misa
requiem berseru kepada  rakyat Timor Lorosae untuk memaafkan para
jenderal TNI, pemimpin pro-otonomi dan juga para komandan milisi
pro-Jakarta. Mgr. Belo juga mendesak rakyat Timtim untuk melupakan
tahun-tahun kekerasan yang telah berlalu dan saatnya kini memandang
masa depan. Ribuan orang menghadiri misa yang khusyuk dan sarat
dengan mereka yang berdoa sambil berlinangan air mata.

Sementara itu ribuan orang lagi berpawai di jalan-jalan, sebagian ke
kantor PBB atau menghampiri kendaraan-kendaraan PBB sambil
menyeru-nyerukan ucapan terima kasih atas bantuan bagi kemerdekaan
Timtim.

Makam Santa Cruz juga menjadi ajang peringatan. Dalam upacara
peringatan yang disertai dengan peletakan bunga, pemimpin Jose
Ramos-Horta mengatakan bahwa di lokasi ini pada 1991 telah gugur
mereka yang memberikan nyawanya bagi kebebasan Timor Lorosae.

Dalam pidato resmi di depan ratusan warga yang berkumpul, mantan
pemimpin gerilyawan Timor Timur Xanana Gusmao memaklumkan hari ini
sebagai "sebuah hari rakyat."


* PERUNDINGAN MILITER TINGKAT TINGGI KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN

Menteri Unifikasi Korea Selatan (Korsel) Park Jae-kyu hari ini
mengusulkan pembicaraan militer tingkat tinggi dengan Korea Utara
(Korut) dan membangun sambungan telepon militer langsung guna
mengatasi ketegangan di kawasan paling berbahaya di dunia itu.
"Marilah kita melakukan pembicaraan militer pada tingkat menteri atau
tingkat pejabat senior untuk mengambil langkah realistik guna
membangun sikap saling percaya dan mengurangi ketegangan di
Semenanjung Korea," kata Park ketika membuka pembicaraan dengan
mitranya dari Korut di Pyongyang.
Sejumlah 35 anggota delegasi Korsel, yang dipimpin Park, terbang ke
ibukota Korut Selasa untuk melakukan pembicaraan dua hari guna
memperbaiki hubungan ekonomi dengan pihak pemerintah komunis Korut
dan mengurangi ketegangan di wilayah berpenjagaan militer
terketat di dunia itu.
Pembicaraan tersebut merupakan putaran kedua pembicaraan yang
dilaksanakan sejak pertemuan Presiden Korsel Kim Dae-jung dengan
pemimpin Korut Kim Jong-il dalam pertemuan puncak di Pyongyang Juni
lalu.
Park juga mengusulkan kedua Korea membentuk struktur hukum bagi
proyek ekonomi, termasuk perjanjian mengenai pengenaan pajak berganda
dan jaminan investasi.


* AMERIKA SERIKAT MINTA FILIPINA JAGA KEAMANAN SEORANG SANDERA
AMERIKA DI JOLO

Pemerintah Amerika Serikat secara resmi meminta pemerintah Filipina
agar menjaga keamanan seorang sandera berwarganegara Amerika yang
kini masih ditahan oleh kelompok islam ekstrimis, Abu Sayyaf.
Gedung Putih menegaskan tidak akan mengabulkan tuntutan Abu Sayyaf,
yang meminta Washington segera membebaskan tiga orang yang dijatuhi
hukuman mati karena dituduh terlibat pemboman Gedung World Trade
Center di New York tahun 1993.
Abu Sayyaf mengancam akan membunuh seorang sandera warga negara
Amerika berusia 24 tahun kalau tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Sejauh ini, Abu Sayyaf masih menyandera 20 orang sandera di Jolo.
Enam sandera dari Barat sudah dibebaskan awal pekan ini atas upaya
perantaraan Libya.


* PBB KEMBALI BANTU PENGUNGSI TIMOR TIMUR

Perserikatan bangsa-bangsa melanjutkan kembali program bantuan bagi
pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur, demikian juru bicara
PBB. Pekan silam organisasi pengungsi PBB menghentikan tugas  bantuan
di kamp pengungsi sehubungan aksi kekerasan yang melukai tiga
karyawan mereka. PBB menyatakan puas atas upaya pemerintah Indonesia
menyelesaikan kasus kekerasan tersebut. Dua orang tertuduh berhasil
ditangkap. Organisasi pengungsi PBB, UNHCR menghendaki agar Indonesia
menjaga keamanan kamp-kamp pengungsi dan menciduk para anggota
milisia pro-Jakarta yang menyusup diantara para pengungsi. Di Kamp
pengungsi NTT terdapat sekitar 125 ribu pengungsi Timor Timur.


* SEKJEN PBB SERUKAN PEMBEBASAN AUNG SAN SUU KYI

Sekjen PBB Kofi Annan mendesak rezim militer di Myanmar agar segera
membebaskan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi. Selama seminggu dia
dan pendukungnya dicegat dalam mobil sekitar 30 kilometer dari kota
Yangoon. Rezim militer Myanmar tidak menginginkan Aung San Suu Kyi
kembali ke ibukota. Annan menyatakan kekhawatirannya akan kondisi
kesehatan pemimpin oposisi itu.
Amerika Serikat seringkali mengecam Myanmar karena melakukan
pelanggaran hak asasi. Uni Eropa juga mengecam hal yang sama.
Inilah untuk pertama kalinya penerima hadiah nobel perdamaian ini
ditahan rezim militer karena melakukan kampanye selama 13 hari.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung Saan Suu Kyi
menang dalam pemilu 10 tahun lalu tetapi tidak diakui rezim negara
itu.


* KUNJUNGAN CLINTON DI KOLUMBIA DISAMBUT KEKERASAN

Presiden Amerika Serikat Bill Clinton tiba di Kolumbia hari ini dan
bertemu dengan Presiden Andres Pastrana untuk menyerahkan secara
simbolik paket bantuan senilai 1.3 milyar dolar untuk membantu negeri
itu dalam melawan perdagangan narkoba.
Kunjungan 10 jam Clinton itu disambut oleh FARC kelompok penentang
terbesar Kolumbia yang menganggap kunjungan ini bagian dari
intervensi Amerika.
Sebelumnya, Selasa mereka telah melancarkan sejumlah serangan ke
sejumlah perkampungan dan kota yang mengakibatkan dua polisi tiga
penduduk tewas.
Para komando FARC juga meledakkan tiga bank dan menghancurkan sebuah
ruas sebuah jalan raya.
Peristiwa ini terjadi hanya beberapa jam menjelang kedatangan Clinton
yang diduga akan mengadakan pertemuan dengan Pastrana.


* USKUP BELO UCAPKAN TERIMAKASIH KEPADA INDONESIA KARENA RAKYAT TIMOR
TIMUR DIBERI KESEMPATAN MENDERIA


Intro: 30 Agustus adalah hari bersejarah bagi seluruh masyarakat
Timor Lorosae. Hari untuk gembira dan hari untuk mengenang kebebasan
Timor Lorosae yang dibayar dengan harga mahal dan pengorbanan tinggi.
Walaupun sudah banyak nyawa melayang, namun Uskup Dili, Carlos Felipe
Ximenes Belo tidak menyimpan dendam pada Indonesia, yang dianggapnya
bukan penjajah melainkan saudara, dengan senang hati pemuka agama ini
menjawab pertanyaan Radio Nederland dalam bahasa Indonesia.

Carlos Belo [CB]: Itu berarti kami bangsa Timor mau mengampuni. Tapi
juga untuk menyampaikan kepada jenderal dan semua orang bahwa
menghormati orang lain itu lebih penting dari pada membuat mereka
menjadi budak atau orang tertindas.

Radio Nederland [RN]: Monseigneur, pagi kemarin diadakan misa di
Katedral Montael Dili, apa yang Monseigneur sampaikan?

CB: Saya menyampaikan empat pikiran. Pertama, berterimakasih kepada
Tuhan karena nilai kebebasan yang diperoleh. Kedua, untuk
memperingati orang-orang Timor yang meninggal dunia karena kebebasan
ini. Yang ketiga, mengimbau untuk bekerja keras untuk membangun
daerah ini. Dan keempat, mengampuni para jenderal, komandan milisi
dan leader-leader (pemimpin --Red) pro otonomi dan pro integrasi dan
mengundang mereka --kalau mau kembali--silakan kembali ke Timor sini
untuk bersama-sama membangun Timor yang baru, Timor yang bebas.

RN: Monseigneur bersyukur atas kebebasan yang diperoleh, tapi
kebebasan dibayar dengan harga sangat mahal karena banyak jumlah
korban, dan juga mengimbau mengampuni mereka yang melakukan
kejahatan. Tapi sampai sekarang, kejahatan itu masih ada atau tidak?

CB: Kejahatan di sini berkurang sekali, boleh dikatakan tidak ada.
Hanya di bagian barat itu masih ada, dan mudah-mudahan mereka itu
bertobat dan mereka harus menyadari diri bahwa mereka itu adalah
bagian dari sejarah yang lampau. Bukan dari sejarah yang baru. Lebih
baik tinggalkan pikiran-pikiran keliru dan bersama-sama di sini
membangun Timor yang baru.

RN: Menurut Monseigneur, apakah rakyat Timor Lorosae bersedia
mengampuni milisi yang banyak melakukan kejahatan di masa lampau?

CB: Saya baru datang dari selatan, dari Hatudu di mana aktif kelompok
Mahidin, mereka di sana menyampaikan, bahwa saudara-saudara pengungsi
di bagian barat itu, bisa datang, dan mereka akan menerima dengan
baik. Begitu pula milisi-milisi, datang dulu, kita akan bicara
menurut adat kita, menurut agama Katolik, apakah nanti kita serahkan
serahkan kepada Pengadilan atau Tribunal. Tapi mereka juga bersedia
mengampuni.

RN: Misa kemarin pagi, banyak orang hadir?

CB: Itu saya kira lebih dari enam ribu orang. Di luar dan di dalam
itu padat sekali, sehingga hosti yang dibagikan, tidak cukup. Suasana
hening, mereka memahami, berdoa, dan banyak orang asing juga heran
atas sentimen masyarakat Timor Timur.

Oh ya, saya lupa, tadi dalam khotbah, saya mengatakan, jangan lupa
terimakasih kepada organisasi internasional, kemudian mengimbau untuk
ucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Habibie karena beliaulah yang
memberikan dua opsi. Begitu pula kami berterimakasih kepada Wiranto
karena telah memberikan kesempatan kepada rakyat Timor Timur untuk
menderita. Jadi, melalui penderitaan yang diberikan Wiranto dan
jenderal-jenderalnya, maka kami memperoleh kemerdekaan ini.

Demikian Uskup Belo. Kami menghubungi Xanana Gusmao, tokoh lain yang
penting bagi Timor Lorosae yang tengah berada dikeramaian pesta.

Xanana Gusmao [XG]: Di sini berkumpul beberapa orang saja, tapi di
depan kantor UNTAET, ribuan orang di sana, keluar masuk. Pesta besar
ada di sana. Di sini di dalam gedung di mana selama sembilan hari
diadakan kongres nasional CNR.

RN: Bagaimana setahun setelah referendum, bagaimana keadaan Timor
Lorosae?

XG: Ya di sini, kalau dilihat dari segi fisik, dari Oktober November
itu, sedih sekali karena kekurangan semua, dari barang sampai
makanan, baju, pakaian, tapi sekarang sudah agak lebih baik, dan
orang sudah mulai bekerja karena semua dirusakkan, tidak hanya bisa
berjalan pelan, tapi inilah keyakinan orang Timor Lorosae untuk
merdeka.

Demikian Xanana Gusmao, salah seorang pemimpin Timor Lorosae. Dan
sebelumnya anda juga sudah mendengar penjelasan Uskup Dili
Monseigneur Carlos Felipe Ximenes Belo.


* BEN ANDERSON SOAL PENGADILAN SOEHARTO, SEPERTI RIBUT MASALAH SELERA
NORAKNYA HITLER

31 Agustus 2000 mungkin akan menjadi salah satu hari bersejarah baru
bagi Indonesia, karena pada hari itu, paling sedikit seperti
diumumkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Rabu 23 Agustus, dimulai
pengadilan mantan Presiden Soeharto. Akhirnya, peradilan Indonesia
yang semasa 32 tahun kekuasaan Soeharto terbukti tidak pernah mandiri
dari kekuasaan mutlaknya, berani menyeruak tampil dengan wewenang
yudikatifnya. Maka inilah kesempatan emas bagi jajaran peradilan
Indonesia untuk membuktikan diri mampu menegakkan kedaulatan hukum.

Tetapi, tidak semua kalangan menyambut baik pengadilan bersejarah
ini. Salah satunya adalah Profesor Benedict Anderson, indonesianis
dari Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat. Dalam sebuah
mingguan ibukota Ben Anderson pernah menulis,

 "Keributan mempersoalkan perkara korupsi Soeharto dan keluarga
(seolah-olah kriminalitas Soeharto hanya sejenis kriminalitas Eddy
Tansil) sama gilanya dengan keributan tentang banyaknya gundik Idi
Amin, tentang pencolengannya Slobodan Milosevic, atau selera artistik
Adolf Hitler yang norak. Bahwa kelas menengah Jakarta dan sebagian
besar lapisan intelektual masih sibuk dengan isu duit yang dicolong
"Pak Harto" (Duit kite, lo. Mungkin begitu impiannya), itu
menunjukkan dengan jelas bahwa mereka belum mampu menghadapi realitas
dan sejarah modern bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sikap burung
unta, yang ngotot "mencemplungkan kepalanya" ke dalam lautan pasir,
berbahaya sekali. Seorang intelek wicaksana pernah bersabda: mereka
yang tak mau tahu masa lalu dihukum untuk mengulanginya. Mengerikan,
bukan?"

Nada sinis pada peringatan di atas sebenarnya sulit dipahami kalau
harus datang dari seorang yang selama 20 tahun lebih sempat dicekal
oleh Soeharto untuk bisa masuk Indonesia. Untuk mengetahui alasan
kesinisan ini kami menelpon Profesor Benedict Anderson di kantornya,
di Ithaca, bagaimana pendapatnya mengenai dakwaan korupsi terhadap
Soeharto itu?

Benedict Anderson [BA]: Bagaimana pun saya kira ini paling gampang
untuk elit. Jadi masalah korupsi itu masalah, ya, pribadi. Jadi,
kalau dia diadili atas tuduhan ini, geng Orde Baru dan sebagian besar
dari geng Reformasi akan merasa aman. Tapi kalau tuduhannya berbau
politik dan kriminal, tentara bisa groggy, dan banyak orang yang
sekarang berkaok sebagai kelompok Reformasi akan terpaksa melihat ke
belakang. Karena bagaimanapun landasan era reformasi tetap apa yang
terjadi di Indonesia pada tahun 60an.

Saya sudah pernah bikin perhitungan, bahwa kalau kita ikutkan orang
Timtim, selama Harto berkuasa, paling sedikit 800 ribu manusia
Indonesia mati secara tidak normal. Itu suatu kriminalitas yang luar
biasa. Tapi kalau itu dijadikan tuduhan terhadap Soeharto, banyak
sekali orang lain yang harus terseret.

Radio Nederland [RN]: Anda mengatakan sebagai yang "paling gampang"
dan "supaya orang lain tidak terseret", jadi seolah-olah orang lain
ini tidak korupsi gitu?

BA: Bukan, maksudnya kalau masalah yayasan ini, atau yayasan itu
menyelewengkan duit, itu yang lain-lain akan merasa sudah aman.
Karena ini pasti kasus yang lama. Dan tingkat korupsi pada masa
Soeharto begitu tinggi dan begitu meluas, sehingga kalau mulai
diadili kasus-kasus korupsi, itu baru bisa selesai mungkin 60 tahun
ke depan.

RN: Padahal menurut anda kasus-kasus non korupsi, kasus kejahatan
politik yang anda bilang itu lebih penting ya ketimbang kasus
korupsi?

BA: Ya, saya pernah menulis bahwa ribut masalah duit ini, duit itu
dicolong sama Soeharto dengan tidak menghiraukan kriminalitas
politik, itu seperti ribut masalah selera noraknya Hitler dan tidak
menghiraukan pembunuhan massal yang dilakukan oleh Hitler. Jadi ini
sangat tidak rasional dan sangat di luar proporsi.

RN: Dengan demikian menurut anda semua ini juga masih direkayasa ya,
jadi hanya masalah korupsi, tapi bukan masalah kejahatan politiknya
gitu. Maksudnya direkayasa itu diarahkan ke sana gitu, ya?

BA: Ya, karena kalau masalah pembunuhan yang pernah terjadi,
pembunuhan di Aceh, di Irian, di Timtim sampai sekarang enggak pernah
dihadapi secara jantan oleh elit Indonesia, apalagi yang sebelumnya.
Jadi masalah petrus tahun 83, dan paling penting itu pembunuhan
massal tahun 65-66, kan. Di mana Ansornya Gus Dur, di mana Bantengnya
Megawati, di mana tentara, di mana banyak sekali orang ikut. Kalau
masalah ini dibuka kembali, ya susah untuk mereka. Mereka harus
menghadapi masa lalu mereka sendiri. Dan itu mereka enggak mau.

RN: Ada semacam sikap selektif gitu ya di kalangan elit politik
Indonesia. Karena misalnya kalau kita membandingkan dengan kerusuhan
tahun 98, yang mengarah pada lengsernya Eyang Soeharto, orang-orang
Tionghoa banyak menjadi korbannya, perempuan-perempuan Tionghoa
diperkosa segala macem. Itu kan terjadi semacam histeria massal,
kaget semua. Tapi, kenapa kok menurut anda berhenti di situ saja?
Orang-orang kok tidak menoleh lebih jauh lagi?

BA: Well saya kira mungkin sebagian karena timingnya (saatnya, Red.),
karena kriminalitas ini dianggap sebagai kriminalitas terakhir geng
Soeharto yang setelah itu jatuh. Jadi mereka begitu happy (gembira,
Red.) dengan dilengserkannya Soeharto sehingga apa yang terjadi
sebelumnya enggak usah banyak dipikirkan. Tetapi jelas kalau
kerusuhan itu diselidiki bener-beneran, ya itu pasti tentara kan
menjadi biangnya. Seperti banyak sekali kasus di Indonesia, kan?

Di Timtim itu sampai sekarang belum ada investigasi yang
bener-beneran tentang apa yang terjadi. Enggak ada orang yang
tanggung jawab atas apa yang terjadi, enggak ada orang yang dihukum
karena itu. Apalagi masalah perkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa
yang sebagian besar pasti dikerjakan oleh preman-preman anu, yang
dekat dengan istana, dan Prabowo, dan sebagainya. Jadi, Soeharto
sendiri enggak bisa begitu brutal dan begitu kriminal kalau dia tidak
menjadi jenderal di antara sekian banyak jenderal dengan loyalitas
angkatan darat di belakangnya. Jadi membongkar apa yang terjadi dulu,
itu membongkar noda-noda yang besar sekali dalam image (citra, Red.)
dan self respect (harga diri, Red.) angkatan darat.

RN: Ya. Di Indonesia ini, para korban Orde Baru, misalnya yang
diorganisir oleh Ibu Sulami itu kan mulai aktif, Ben. Bahkan
hari-hari ini, Madame Danielle Mitterand, istrinya mendiang Presiden
Prancis Francois Mitterand berkunjung ke Indonesia bertemu dengan Ibu
Sulami segala. Nah itu ada kan semacam perlawanan atau usaha untuk
minta keadilan pada periode itu Ben?

BA: Memang ada. Walaupun secara resmi missinya Bu Sulami itu bukan
untuk menyeret orang ke pengadilan, tetapi untuk mengetahui berapa
banyak orang yang mati, matinya di mana, caranya bagaimana dan
sebagainya. Jadi, itu semacam riset daripada semacam interogasi. Dan
lama-lama saya kira juga orang-orang bekas Tapol akan buka mulut,
akan menulis dan sebagainya. Tapi ini proses yang lama. Dan toh
mereka menghadapi realitas bahwa sistem hukum di Indonesia itu
kacaunya bukan main, korupnya bukan main. Jadi selama Mahkamah Agung,
selama Pengadilan Tinggi dan sebagainya begitu brengsek, mereka juga
tidak punya harapan.

Pinochet Iya, kenapa Soeharto Enggak?

RN: Lalu kalau kita bandingkan dengan Cile gimana Ben? Kan mantan
diktator militer Cile ini, Jenderal Augusto Pinochet akhirnya dicabut
kekebalan politiknya sebagai senator seumur hidup dan dia bisa
diadili. Nampaknya memang di Cile hasrat untuk memperoleh keadilan
dengan masa lampau itu lebih besar ya katimbang di Indonesia?

BA: Well, ada bedanya juga. Barusan saya ke Peru dan bicara dengan
sejarawan-sejarawan Cile yang kebetulan berkunjung ke sana. Mereka
sangat anti Pinochet. Terus saya tanya jumlah total korban Pinochet,
berapa orang yang dibunuh? Mereka bilang, "Menurut perhitungan kami
itu kira-kira 3000 orang." Sedangkan korban tentara di Peru, selama
Sendero Luminoso, dari pihak tentara paling sedikit 30 ribu. Tapi
enggak ada orang yang omong perkara itu. Jadi jumlahnya di Cile tidak
begitu besar, tapi itu menjadi sangat terkenal karena korbannya
intelektual-intelektual, orang-orang kelas menengah dan sebagainya.
Sedangkan di Peru yang dibunuh itu ya, petani-petani, sebagian besar.


Ini masalahnya di Indonesia juga. Korban 65-66 ya tentunya banyak
orang kader-kader PKI. Tapi sebagian besar, mungkin 90%, itu
orang-orang di pedesaan, di mana orang  Jakarta juga enggak perduli.
Di mana pun ini masalah siapa yang menjadi korban. Itulah yang
penting.

Jadi si Pinochet bisa terseret, sebagian karena ia sendiri dengan
bodonya pergi ke Inggris di mana dia bisa ditangkap, kan. Kalau dia
tetap di Cile saya enggak percaya bahwa dia sampai kehilangan
imunitasnya. Saya juga yakin ada semacam deal (kesepakatan, Red.) di
belakang layar antara Inggris dengan Cile. Jadi menteri dalam negeri
Inggris melepaskan Pinochet supaya tidak diseret ke Spanyol, tetapi
saya yakin bahwa diem-diem pemerintah Cile berjanji bahwa dia akan
diurusin bener-bener di Cile sendiri. Jadi apa yang terjadi di
Inggris memaksa pemerintah Cile untuk bertanggung jawab, karena
sebenarnya mereka takutnya bukan main.

Bagusnya Soeharto mau diobati di luar negeri, lalu ditangkap. Nah,
baru mungkin ada perbaikan.

RN: Ya, jadi menurut anda yang ideal adalah memancing Soeharto supaya
pergi ke luar negeri ya?

BA: Well, ini omong secara kelakar, karena dia sudah tahu sekarang
itu resikonya besar, kecuali kalau dia berobat ke Jepang. Kalau di
Eropa atau Amerika, susah.

RN: Kalau gitu, kembali kepada kasus Cile tadi, nampaknya Indonesia
ini lebih mirip dengan Peru di mana banyak yang mati itu adalah
penduduk pendesaan dan orang miskin, sehingga kesimpulannya keadilan
ini masih milik orang kaya dan orang perkotaan ya?

BA: Oh iya, di mana pun. Saya selalu heran dulu waktu nginterview
(wawancara, Red.) orang-orang yang pernah menjadi Tapol di Indonesia.
Semua mengakui bahwa orang yang paling disiksa, yang paling berat
hukumannya justru yang kecil-kecil, anak Pemuda Rakyat, dan
sebagainya. Sedangkan tokoh-tokoh besar, seperti Sudisman, yang
seharusnya tanggung jawabnya paling besar justru tidak disiksa. Saya
kira ada banyak faktor dalam hal ini. Tapi sebagian adalah,
bagaimanapun Sudisman masuk lapisan intelektual, lapisan priyayi
kecil, dan sebagainya. Ini tidak logis. Jadi justru orang yang tinggi
seharusnya dapat hukuman yang paling berat, bukan yang kecil-kecil.
Tapi dalam realitasnya justru sebaliknya. Ini bukan hanya di
Indonesia yang terjadi demikian. Ini memang sering terjadi di manapun
di dunia, aneh.

Presiden Punya Premannya

RN: Kalau begitu menurut anda adakah keterkaitan antara masa lampau
Indonesia ketika Orde Baru tampil ini, dengan kekerasan yang sampai
sekarang tidak pernah berhenti ini, di Maluku, kemudian di Aceh.
Apakah menurut anda keduanya berkaitan?

BA: Saya kira ada. Tetapi kita harus ingat bahwa Revolusi 45 sendiri
itu penuh kekerasan. Terus Darul Islam pada tahun 50an itu cukup
banyak kekerasan. Kahar Muzakar banyak kekerasannya. Jadi ini bukan
100% baru. Tetapi yang penting, yang terjadi selama Orde Baru adalah
sekelas manusia yang merasa diri di atas hukum. Jadi tentara dengan
OK dari Soeharto bisa buat apa saja untuk kepentingan negara di mata
mereka sendiri. Jadi mereka enggak usah takut diseret ke mana-mana,
diadili dan sebagainya. Mereka betul-betul menjadi monster. Mulai di
Timtim, terus dari Timtim itu menjalar ke tempat lain. Petrus itu
juga satu contoh.

Selain itu sistem pengadilan, sistem hukum di Indonesia, itu sudah
hopeless (tak bisa diharapkan, Red.). Jadi orang-orang merasa bahwa
kalau mereka mau membela diri atau mencari selamat, kalau mau
melawan, mereka harus pake cara-cara yang sama. Selain itu terus
fenomena premanisme yang pada 10 tahun terakhir ini berkembang dengan
sangat cepat, di mana mulai dengan pemerintah, Ali Moertopo dan
sebagainya. Lama-lama itu PDI punya premannya, Islam punya premannya,
presiden punya premannya.

Sering masalah-masalah, seperti di Maluku, sebenarnya mulai di
Jakarta. Waktu itu terjadi saingan antara geng Kristen dengan geng
Islam perkara tempat judi dan sebagainya di Kota. Orang-orang Ambon
Kristen kalah, terus mereka pulang ke Ambon dan mulai balas dendam di
sana. Jadi, kultur premanisme, kultur di atas hukum di kalangan
tentara, kultur kediktaturan semua ikut menjadi sebab musabab situasi
seperti sekarang ini.

RN: Kalau begitu akankah ada semacam jalan keluar kalau kita
menegakkan apa yang disebut Gus Dur kedaulatan hukum, jadi menaruh
semuanya di bawah hukum. Apakah anda setuju kalau itu dianggap
sebagai langkah pertama yang paling bisa dikerjakan?

BA: Well itu yang paling penting, tetapi justru itu yang paling
sulit. Karena kalau lihat korps jaksa, korps polisi, korps hakim itu
keroposnya minta ampun. Jadi pembersihan besar-besaran di
lembaga-lembaga ini sangat perlu. Tetapi resikonya untuk Gus Dur itu
tinggi juga. Marzuki Darusman sudah janji akan membersihkan Kejaksaan
Agung, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda yang jelas bahwa
itu sedang dikerjakan. Seharusnya semua anggota Mahkamah Agung
dipensiunkan, kalau enggak diadili. Tapi itu juga belum dilaksanakan.
So, it's very difficult, ssssuuuulllitttt sekali. Resikonya besar.
Tapi kalau enggak dijalankan ini akan tambah parah.

RN: Kalau saya boleh berpaling ke negara-negara Asia Tenggara
lainnya, ya. Indonesia ini kan bukan satu-satunya negara yang
kekerasan itu selalu nampak menonjol. Bagaimana dengan Filipina atau
Thailand, menurut anda?

BA: Well, Filipina dalam banyak hal mirip. Artinya sistem hukumnya
brengseknya bukan main. Korupsinya bukan main. Jadi, kalau punya
duit, apa saja tindakan kriminalmu, kamu akan selamat. Dan kekerasan
yang besar-besaran terjadi di daerah Selatan antara Kristen dan
Islam. Sudah 20 tahun terjadinya. Tetapi di tempat-tempat lain,
dengan hampir selesainya gerakan gerilya Komunis, boleh dikatakan
bahwa masyarakatnya lebih homogen, jadi 90% Katolik. Kekerasan atas
dasar agama memang ada, tetapi daerahnya terbatas. Bagaimanapun
dengan jatuhnya Marcos tentara juga lama-lama mundur. Dan memang
sampai sekarang tidak pernah ada kediktaturan militer di Filipina.
Jadi itu sesuatu perbedaan besar. Marcos itu orang sipil.

Kalau di Muangthai situasinya lebih baik. Polisinya sangat dibenci,
dan banyak korupsinya. Tetapi selama 15 tahun belakangan ini tentara
berangsur-angsur dipinggirkan dari arena politik oleh kelompok
kapitalis besar, kelompok raja, kelompok intelektual, dan sebagainya.
Tapi harus diakui bahwa kekerasan yang paling terkenal dalam sejarah
moderen Muangthai, yaitu pembunuhan massal di Universitas Thammasat
pada tahun 76, sampai sekarang tidak pernah diperiksa, tidak ada
orang yang diadili, dan sebagainya, walaupun semua orang tahu siapa
yang membuatnya. Tetapi elit politik rupanya merasa bahwa kalau
masalah ini dibongkar bisa merembet ke mana-mana, itu berbahaya, jadi
dipetieskan. Kraton juga ikut main waktu itu.

RN: Ya, jadi itu soal militer ya. Tapi bagaimana dengan soal
premannya?

BA: Well di Muangthai premanisme ada. Tapi civil society (masyarakat
sipil, Red.) lebih kuat dan kelas menengah tidak suka sama
premanisme. Jadi, itu faktor lokal, bukannya faktor nasional. Di
Filipina banyak sekali geng-geng, tetapi semua geng-geng ini juga
bersifat lokal. Tidak menentukan politik di tingkat nasional.

Kita ambil suatu contoh. Pemuda Pancasila. Walau pun sekarang seperti
sudah mau keok, tetapi pada masa jayanya, itu organisasi nasional.
Jadi punya cabang di mana-mana, di seluruh Indonesia. Memeras kiri
kanan. Di Muangthai atau Filipina, sama sekali nggak ada preman
tingkat nasional yang dilindungi oleh pemerintah, seperti itu. Itu
agak unik. Jadi peranan gengster-gengster kelas nasional. Gengster di
Muangthai dan gengster di Filipina, ya, bersifat lokal. Itu satu
perbedaan besar.

RN: Dengan demikian di kedua negara ini masalah penegakan hukum ini
tidak sebesar di Indonesia ya?

BA: Tidak sebesar di Indonesia.

Mengganggu Rasa Keadilan Orang Indonesia

RN: Anda juga mengatakan, di Indonesia ini orang tidak berpikir
tentang masa lampaunya. Lalu kan orang juga mengerti, kalau masa
lampau ini tidak diselesaikan, orang akan dihukum untuk mengulanginya
lagi. Anda juga pernah menulis soal ini. Kemungkinan itu tetap ada di
Indonesia?

BA: Well, bisa juga. I mean (maksud saya, Red.), kalau umpamanya
orang seperti Benny Moerdani ditangkap dan diadili, walaupun mungkin
pada akhirnya dia bisa dimaafkan oleh Presiden dengan amnesti, tapi
paling sedikit pengadilannya akan membuka, untuk koran dan
sebagainya, segala macam kekerasan yang pernah terjadi. Jadi akan
menggugah kesadaran orang Indonesia tentang apa yang terjadi pada
masa lampau. Orang seperti Benny Moerdani, Harto, biarpun mereka
dieksekusi, toh mereka tidak bisa menghidupkan kembali ratusan ribu
korban kan. Tapi paling sedikit, dengan pengadilan demikian, negara
dan bangsa Indonesia akan terpaksa menghadapi apa yang terjadi dan
memikirkan masa lalu mereka sendiri. Jadi, sebagai masalah anu,
conscience, kan?

RN: Masalah hati nurani, ya?

BA: Ya, bahwa orang yang sekuat itu bisa diadili, bisa dipaksa untuk
bicara tentang apa yang telah terjadi, biarpun membela diri dan
sebagainya, saksi-saksi datang ke depan membeberkan pengalaman
mereka, dan sebagainya. Dokumen-dokumen akan dikeluarkan dari
arsip-arsip. Ini suatu proses yang bagaimanapun juga penting. Biarpun
pada akhirnya mereka enggak dihukum, itu enggak apa-apa. Karena
bagaimana pun kedua-duanya akan diambil Tuhan, kan. Kedua-duanya tua
dan groggy.

Juga dalam kasus Pinochet. Mereka pasti mengira bahwa dia tidak bisa
hidup beberapa lama lagi kan. Dia sudah sakit, sudah ada masalah ini,
masalah itu. Mungkin juga ada sebagian orang Cile yang mengharapkan
bahwa dia cepat-cepat mati supaya enggak diadili. Tapi prinsipnya
bahwa dia bisa diadili dan dipaksa untuk memberi semacam tanggung
jawab terhadap tindakannya, saya kira untuk kesehatan moral bangsa
Cile, itu penting.

RN: Sepenting itu juga mengadili Soeharto dengan tuduhan pelanggaran
hak-hak asasi manusia bagi kesehatan moral bangsa Indonesia, ya?

BA: Iya, karena kalau menghukum preman ini, preman itu padahal Harto
masih prei, dan sekaligus mengetahui bahwa kriminal besar masih
enak-enak. Itu kan juga mengganggu rasa keadilan orang Indonesia,
kan?

Saya kasih contoh, bangsanya si Yoris, yang dulu polisi enggak berani
tangkap. Seandainya dia ditangkap dan diadili, dia orang kecil
sebenarnya. Orang mungkin akan senang sekali kalau dia diadili.
Tetapi, bagaimana pun dia cuma pionnya Harto, kan? Jadi orang akan
merasa, oh kok Yoris bisa dihukum, tapi bosnya, otaknya, kok enggak,
itu enggak fair, kan?

Demikian Profesor Benedict Anderson, pakar Indonesia dari Cornell
University di Ithaca, Amerika Serikat. Profesor Anderson adalah salah
satu penulis Cornell Paper, karya akademis pertama yang meragukan
versi Soeharto atas Peristiwa G30S. Sejak itu, Soeharto melarangnya
datang ke Indonesia, dan Ben Anderson, begitu panggilan akrabnya,
melebarkan sayap. Ia tidak hanya menekuni Indonesia, tetapi juga
Filipina dan Muangthai. Kepiawaian Prof. Anderson pada tiga negara
itu terlihat pada buku terakhirnya, The Spectre of Comparison, yang
menelaah dan membandingkan nasionalisme, budaya dan sejarah Asia
Tenggara dan dunia.


* PRASARANA HUKUM INDONESIA SOAL HAK-HAK ASASI MANUSIA SANGAT
TERBELAKANG

Lembaga hak-hak asasi manusia ELSAM berharap, Indonesia bersedia
meratifikasi instrumen HAM internasional dalam Millenium Summit PBB.
Sedangkan Madame Danielle Mitterand mengusulkan supaya Tap MPR XXV
dicabut tahun depan, dan bagi janda mantan Presiden Prancis ini,
Soeharto layak diseret ke depan Tribunal Interansional. Koresponden
Syahrir mengirim laporan berikut dari Jakarta:

Dalam rangka menyambut Millennium Summit PBB yang akan berlangsung di
New York tanggal 6-8 September 2000 yang rencananya akan dihadiri
oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) menyarankan kepada pemerintah untuk memanfaatkan
sebaik-baiknya momentum itu dengan menandatangani instrumen
internasional hak asasi manusia yang sangat mendasar. Dari tanggal
6-8 September 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa, berdasarkan resolusi
Majelis Umum 53/239 tanggal 8 Juni 1999, 54/254 tanggal 15 Maret 2000
dan 54/261 tanggal 10 Mei 2000, akan menyelenggarakan Millennium
Summit dengan tema umum, "Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Abad
ke-21".

Millennium Summit itu merupakan bagian integral Sidang PBB ke-55,
yang ditetapkan berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 17
Desember 1998. Presiden Abdurrahman Wahid akan menghadiri Millenium
Summit ini beserta beberapa pejabat tinggi Departemen Luar Negeri RI.
Salah satu agenda penting konperensi para kepala negara dan
pemerintahan tersebut adalah dibukanya kesempatan oleh Sekjen PBB
kepada berbagai negara untuk meratifikasi, menandatangani atau
menyatakan persetujuan terhadap berbagai instrumen internasional PBB.
Terutama instrumen-instrumen yang berkaitan dengan hak asasi manusia
. Sebelumnya, pada tanggal 15 Mei 2000 yang lalu Sekjen PBB Kofi
Annan pernah menyerukan hal serupa pada seluruh kepala negara-negara
anggota PBB, termasuk Indonesia.

Secara faktual, prestasi Indonesia selama ini untuk menyatakan
persetujuan pada berbagai instrumen internasional relatif masih
sangat rendah. Ini menandakan respon yang sangat minimal terhadap
kebutuhan penghormatan dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia.
Beberapa instrumen penting seperti Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Politik serta Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya , belum mendapat persetujuan apalagi ratifikasi pemerintah
Indonesia. Padahal kovenan tersebut sangat fundamental sifatnya untuk
meletakkan dasar bagi penghormatan HAM.

Kecuali itu, di dalam sistem hukum nasional kita masih terdapat
kesenjangan luar biasa dengan tatanan dan substansi
instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional. Masih banyak
produk legislasi nasional yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
nilai-nilai HAM, dan tidak sedikit pula yang mengundang kontroversi.

Berkaitan dengan itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
melalui surat yang dikirimkan kepada Presiden Abdurrahman Wahid dan
Dirjenpol Deplu RI, Hasan Wirajuda, menghimbau dan mendesak
pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan sebaik-baiknya momentum
Millenium Summit ini untuk menandatangani instrumen internasional hak
asasi manusia yang sangat mendasar, yaitu;

-Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights) beserta dua optional protocol-nya.

-Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights)

-Konvensi tentang buruh migran (Convention on Migrant Workers)

-Konvensi menentang genosida

-Konvensi tentang tidak berlakunya asas kedaluwarsa bagi kejahatan
perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Convention on the
Non-Applicability Statutory Limitation to War Crimes and Crime
Against Humanity)

-Konvensi menentang perdagangan manusia dan eksploitasi prostitusi
(Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and
Exploitation of the Prostitution of Others), serta

-Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute on
International Criminal Court).

Secara politis, penandatanganan instrumen-instrumen tersebut dapat
membantu mengangkat kembali martabat negara Indonesia dalam komunitas
hak asasi manusia internasional. Sementara dampaknya bagi dalam
negeri adalah tuntutan moral percepatan reformasi hukum dan penegakan
hkum di Indonesia, sebagai konsekuensi dan tanggung jawab negara
penandatangan .

Penandatanganan tersebut juga berarti salah satu bentuk pelaksanaan
agenda reformasi di bidang hukum dan politik, sekaligus sebagai
sebuah langkah ke depan dalam penegakkan dan penghormatan serta
pembelaan hak asasi manusia di Indonesia.

Sementara itu kemarin janda mendiang Presiden Prancis Francois
Mitterand, yaitu Danielle Mitterand dalam pertemuannya dengan
Presiden Abdurahman Wahid mengharapkan agar kepala negara ini terus
mengupayakan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966. Gus Dur menjawab,
bahwa jika tahun ini ia telah gagal memperjuangkan pencabutan Tap
tersebut dalam Sidang Tahunan yang baru lalu, bukan berarti ia tidak
akan kembali memperjuangkan hal tersebut pada ST MPR 2001.

Sehari sebelum bertemu Gus Dur,  Madame Mitterand telah mengadakan
pertemuan dengan YPKP, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 dan
Yayasan Hidup Baru. Pertemuan  yang berlangsung di kediaman ketua
YPKP, Ibu Sulami, dihadiri oleh tidak kurang dari 200 orang mantan
tapol/napol. Dalam kesempatan tanya jawab antara peserta pertemuan
dengan Madame Miterrand, seorang mantan napol dari organisasi Papua
Merdeka, Jordan Ik, menanyakan mengenai kemungkinan mantan Presiden
Soeharto diadili di mahkamah internasional kalau mantan diktator itu
gagal diadili di Indonesia. Ia jawab kesempatan untuk menyeret mantan
Presiden Soeharto ke pengadilan internasional, besar sekali. Kemarin
istri mantan presiden Prancis tersebut menyempatkan diri untuk
berbicara dgn mantan Panglima AURI, Marsekal Omar Dhani, dan
pengarang terkenal Pramoedya Ananta Toer di kediaman masing-masing.


---------------------------------------------------------------------
Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum
http://www.ranesi.nl/
http://www.rnw.nl/

Keterangan lebih lanjut mengenai siaran radio kami dapat Anda
peroleh melalui
[EMAIL PROTECTED]

Copyright Radio Nederland Wereldomroep.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke