Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan psikologis terhadap anak-anaknya.  Kita mungkin sering melihat seorang anak yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang tidak perlu.  Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang jadi bintang kelas.  Anak-anak keluarga dokter (kakek buyut-kakek-dokter) di"jurus"kan dan di"kondisi"kan sejak kecil agar kelak juga menjadi dokter, padahal bakat dan keinginan anak adalah menjadi seorang pemusik professional.

 

 

 

Contoh kekerasan psikologis yang tersamar tapi bisa membawa dampak yang lebih fatal adalah ketika sepasang orang tua yang terbilang fanatic dalam bidang syariat agama (apa saja) menjejali "tabula rasa" anaknya yang masih bersih dan murni dengan segala ajaran yang lebih condong ke arah seremonial, atribut fisik, sectarian, rasial, perpecahan antar umat ("punya kita yang terbaik") alih-alih memberi contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari (baik dengan ucapan atau perbuatan) mengenai nilai-nilai luhur keuniversalan agamanya masing-masing serta memberi contoh-contoh bagaimana cara bertingkahlaku dan bertindak secara luhur dan manusiawi dalam suatu lingkungan pergaulan dalam masyarakat plural yang berlain-lainan system kepercayaannya.

 

 

 

Mungkin para orang tua yang saya contohkan pada alinea di atas tidak menyadari bahwa mereka telah (secara halus maupun kasar) memaksakan keinginannya terhadap anak-anak mereka yang secara manusiawi punya keinginan hidupnya sendiri-sendiri dan punya kehidupannya sendiri-sendiri.  Jadi secara tidak sadar si orang tua telah melanggar hak asasi anak-anaknya!

Padahal, seorang anak yang telah di'stel' sejak kecil untuk terbiasa dengan atribut fisik keagamaan tertentu tanpa dididik dengan nilai-nilai luhur universal agama itu sendiri hanya akan membawa bencana bagi dirinya sendiri dan lingkungannya dan secara langsung atau tidak langsung juga akan mencemarkan nama agama itu sendiri.  Saya hanya ingin memberi suatu contoh kecil kesulitan yang dihadapi oleh si buyung atau si upik yang mengenakan atribut fisik dan menunjukkan tingkah laku seremonial keagamaan tertentu, misalnya ketika dia berada dalam suatu lingkungan pergaulan yang bersikap "hostile" terhadap atribut tersebut.  Dalam masyarakat sekarang yang terkadang sangat brutal, si buyung dan si upik kecil seakan-akan diberi "stempel" pada dahinya mengenai system kepercayaan bapak-ibunya, tanpa disadari oleh sang orang tua bahwa anaknya bisa menjadi "sasaran tindak kekerasan" di hutan beton belantara. Ketika si buyung menginjak remaja dan dia kebetulan menaruh hati pada seorang gadis yang atribut fisik keagamaannya lain sama sekali, apa dia kira-kira tidak mengalami beban psikologis tertentu yang seharusnya tidak membebaninya ketika orang tuanya dulu tidak membebanpengaruhinya begitu hebat sejak kecil.  Contoh-contoh nyata bisa diberikan berpanjang lebar, tapi mungkin nanti bisa menyungging eh menyinggung perasaan.

 

 

 

Posting yang begini ini biasanya sepi tanggapan, tapi siapa tahu kali ini banyak yang berminat untuk "sharing" secara terbuka mengenai masalah nyata dalam masyarakat kita ini. Saya tunggu dengan pikiran dan hati terbuka. :-)

 

 

 

 

 

Andy

 

 

 

 

 



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke