Permintaan maaf Pemerintah Australia kepada Rakyat Aborigin tentu bukan hanya 
kemenangan besar Rakyat Aborigin, tetapi sekaligus juga merupakan kemenangan 
telak kemanusiaan; kemenangan etnis minoritas; kemenangan kaum pribumi dan 
kemenangan sejarah atas pembelokan (Manipulasi). Permintaan maaf nasional itu 
telah mempertegas dan mempersatukan kembali nation Australia yang tidak hanya 
terdiri dari kulit putih, tetapi juga ada kulit berwarna dan penduduk Aborigin.
Permintaan ini patut diapresiasi, kendati tindakan Perdana Menteri Kevin Rudd 
dari partai buruh ini merupakan keharusan untuk dilakukan sebagai imbalan 
kepada konstituennya yang kebanyakan etnis minoritas dan kelompok kulit 
berwarna yang menjadi pekerja di Australia.

Permohonan maaf ini juga menambah deretan negara-negara yang melakukan hal 
serupa. Pada th 1998, Pemerintah Kanada meminta maaf kepada warga indian yang 
telah dirampas tanahnya oleh warga kulit putih. Pemerintah Afrika Selatan, pada 
th 1992, meminta maaf atas kebijakan pemisahan ras atau apartheid. Pada th 
1998, Kongres Amerika Serikat juga meminta maaf atas perlakukan terhadap kaum 
Amerika keturunan Jepang yang ditindas selama Perang Dunia II.

Tindakan-tindakan Pemerintah Negara ini belum setimpal dengan penderitaan 
akibat politik diskriminasi politik, ekonomi, kekerasan dan upaya permusnahan. 
Namun, setidaknya ini merupakan langkah maju. Permohonan maaf kepada Negara 
mewakili sebuah bangasa merupakan perwujudan rekonsiliasi Nasional untuk 
melangkah ke masa depan, tanpa adanya perbedaan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, kediktatoran Orde Baru telah meluluh-lantakkan semangat 
kesukarelaan membentuk nation yang berbasiskan seluruh suku bangasa/Etnis, 
aliran kepercayaan, agama dan ideologi yang dibangun semasa revolusi nasional. 
Orde Baru menggantikan prinsip “Kesukarelaan” berdasarkan kesamaan nasib dan 
kepentingan menjadi pemaksaan dengan todongan senjata. Pada saat merebut 
kekuasaan dari Bung Karno, Orba telah melakukan pembinasaan dan pemusnahan 
terhadap kelompok ideologis lain, yakni kaum komunis dan kaum nasionalis kiri.

Sekitar 500.000 orang hingga 2.000.000 dinyatakan dibunuh tanpa proses 
peradilan. Mereka menjalankan kerja paksa dibawah kontrol militer selama 
puluhan tahun dalam kamp konsentrasi tersebut. Keluarga mereka yang lolos 
proses hukum dikenakan “wajib lapor” tiap bulannya.
Tahanan-tahanan politik walau telah menjalani proses hukum, tetap tidak bisa di 
integrasikan dengan masyarakat luas, karena masih di anggap sebagai “Penyakit” 
berbahaya. Oleh Pejabat Orde Baru, mereka mendapatkan cap “ET” yang berarti 
“Eks Tapol” di KTP-nya. Dan sudah pasti, kartu identitas mereka tidak dapat 
dipergunakan untuk melamar pekerjaan, karena diskriminasi politik.

Selain politik kekerasan terhadap PKI, Orde Baru juga melakukan 
serangan-serangan terhadap etnis lain, terutama Tionghoa. Selain karena orang 
China banyak yang menjadi anggota dan penyebar ide komunisme dan terkait dengan 
revolusi komunis yang berkembang di Tiongkok, juga ada kaitannya dengan 
kepentingan Orba untuk mengalihkan persoalan kesenjangan ekonomi kepada 
kelompok etnis Tionghoa sebagai biang-kerok.

Sejak awal kekuasaannya, Penguasa Orba dan militer aktif mengkampanyekan isu 
Anti-Tionghoa dengan memanfaatkan provokasi dari media massa dan 
organisasi-organisasi yang berhasil di kooptasi dan dikontrol. Setidaknya, 
puluhan ribu orang Tionghoa tewas sejak th 1966 hingga th 1998. Belum lagi yang 
diperkosa, mengalami cacat permanen, harta dan asetnya dijarah dan sebagainya.

Rencana Pemerintah untuk memberikan maaf terhadap Penguasa Orde Baru tentu 
sangat melukai korban kejahatan Orde Baru, melukai kebenaran dan keadilan, 
serta melukai bangsa ini dalam melangkah ke masa depan yang lebih baik. 
Memberikan maaf terhadap SOEHARTO atas alasan kemanusiaan adalah sangat 
manipulatif. Justru, setelah SOEHARTO meninggal harus ada kejelasan sejarah 
yang dibuat oleh Pemerintah.

Dengan berdasarkan fakta-fakta yang dibeberkan oleh korban, media massa, 
peneliti asing maupun dalam negeri, pengakuan pelaku, sudah semestinya, 
Pemerintah Indonesia secara terbuka dan rendah hati meminta maaf kepada ratusan 
ribu hingga jutaan anggota, simpatisan dan keluarga PKI. Pemerintah Indonesia 
juga harus meminta maaf kepada etnis Tionghoa, korban DOM di Aceh dan Papua, 
Korban Tanjung Priok, Talang Sari, Petrus dan kasus Timor-Leste.

Hakikat “Permohonan Maaf”

Permaafan berarti kesukarelaan, pengakuan dan kebebasan. Harus ada kesukarelaan 
kita untuk melepaskan dendam pribadi/golongan atas sebuah golongan terhadap 
golongan lain. Kesukarelaan biasanya sangat susah diberikan oleh korban, 
mengingat rentetan kejadian masa lalu yang membentuk memori yang kuat, 
kebencian, pertentangan dan permusuhan.

Pemberian maaf juga harus disertai pengakuan, keterbukaan untuk melihat konteks 
sejarah secara objektif, tidak di tutup-tutupi. Setelah itu, diharuskan ada 
sikap berani untuk mengakui. Sangat jarang, pihak pelaku mau mengakui kejahatan 
yang dilakukan terhadap korban, terlebih karena persoalan politik, posisi 
pelaku masih sangat superior di panggung kekuasaan ketimbang korban.

Pengakuan memberikan kelegaan kepada semua pihak. Pengakuan juga mengembalikan 
sejarah pada relnya yang berpihak kepada kebenaran, bukan kepada penguasa. 
Rekonsiliasi harus didasarkan kepada kebenaran dan keadilan, bukan hanya faktor 
ganti rugi materiil tetapi juga faktor psikologis, pengungkapan fakta dan lain 
sebagainya.

Pemberian “Maaf” terhadap SOEHARTO yang disuarakan oleh elit politik kita 
terasa sangat kering, menghinakan para korban dan absurd. Bagaimana mungkin 
memberikan maaf kepada sebuah rejim yang telah menghancur-leburkan apa yang 
dikatakan oleh Bung Karno: National  Character Building? Justru, penguasa 
negeri ini sekarang ditantang dan berada dalam tantangan untuk melakukan 
tindakan serupa dengan Kevin Rudd di Australia: memaafkan ratusan ribu hingga 
jutaan anggota PKI, etnis Tionghoa, maupun korban kekerasan HAM lainnya selama 
masa kekuasaan Order Baru. Denngan jalan inilah, masa dengan bangsa Indonesia 
akan lebih cerah.

*Rudi Kartono (Penulis adalah Pengurus DPP Partai Persatuan Pembebasan 
Nasional-Papernas. Alumnus UNiversitas Hasanuddin, Ujung Pandang).

Sumber : 
http://tionghoaindonesia.wordpress.com/2010/09/06/harga-sebuah-permintaan-maaf/
Sent from BlackBerry® on 3

------------------------------------

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.net :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    budaya_tionghua-dig...@yahoogroups.com 
    budaya_tionghua-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    budaya_tionghua-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke