Kabar dari PIJAR From: [EMAIL PROTECTED] Date: Fri, 18 Dec 1998 12:17:25 -0600 "Jeffrey Winters Tentang Gerakan Reformasi 1998" Interview 14 December 1998, Chicago Jeffrey Winters mengamati dari dekat gerakan reformasi selama tahun 1998. Menjelang tutup tahun ini kami minta catatannya. Menurut dia, "Berdasarkan bukti-bukti yang saya lihat, gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 ini masih semacam pertarungan antara dua kelompok elite: elite pro status quo dan elite yang pro reformasi. Rakyatnya sendiri masih disingkirkan." Apa persoalan paling penting yang dia amati, "Bagaimana menggalang People Power yang kuat dan meluas, dengan aksi-aksi damai? Menurut saya itulah persoalan paling penting yang harus dipikirkan oleh aktivis gerakan reformasi." KONSTITUSIONAL T: Ketika Habibie ditunjuk Suharto sebagai presiden ada debat tentang apakah pemerintahan Habibie itu "konstitusional." J: Sebenarnya apa yang dimaksud dengan "konstitusional" itu? Apakah artinya harus sesuai dengan konstitusi? Kita tahu bahwa konstitusi itu bukan hanya sekedar tata cara yang harus diikuti. Yang lebih penting lagi konstitusi itu mengandung suatu amanat. Dan salah satu amanat yang paling penting dalam konstitusi bangsa Indonesia ada dalam pasal-1 UUD-45, "Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR." Kalau amanat paling penting ini sudah diinjak- injak maka tidak ada tata cara dan juga lembaga yang dibangun diatasnya itu bisa dianggap "sesuai dengan konstitusi." Kalau kita tanya apakah MPR Orba itu "konstitusional" kalau lembaga itu dibentuk dengan setengah anggotanya ditunjuk Suharto dan setengahnya lagi "dipilih" dalam pemilu yang curang. Jawabnya jelas, tidak. MPR Orba itu sama sekali tidak bisa dianggap lembaga yang sah untuk menjalankan kedaulatan rakyat, yaitu amanat UUD-45. Kalau MPRnya sudah tidak sah atau sudah "cacat hukum," apakah presiden dan wapres yang "dipilih" itu konstitusional? Tentu saja tidak. MPR Orba itu lembaga boneka, dan produk- produk yang dihasilkan lembaga itu memang banyolan. Satu lagi amanat yang sangat penting dalam konstitusi Anda, "Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka." Itu gamblang sekali dicantumkan dalam penjelasan UUD-45. Selama jaman Orba kita semua tahu bahwa Indonesia itu negara kekuasaan, bukan negara hukum. Selama 30 tahun lebih negara Orde Baru itu bisa berdiri berdasarkan kekuasaan. Sama sekali bertentangan dengan konstitusi Anda. Negara Orde Baru itu tidak banyak berbeda dengan negara Hindia Belanda. Tidak banyak berbeda dengan negara yang ada di jaman Jepang. Dasarnya cuma kekuasaan. Yang berbeda pendapat, gebug. Pers yang kritis, bredel. Masyarakatnya diawasi, dikontrol, dibina, diancam, dengan kekuasaan. T: Banyak tokoh oposisi yang betul-betul bisa dianggap mewakili suara rakyat itu kuatir kalau tindakan politik mereka akan melanggar tata cara atau prosedur yang ada dalam konstitusi. J: Mau menghormati konstitusi itu baik. Tapi dalam masa peralihan sekarang ini -- ketika masyarakat Indonesia mau bergerak dari negara kekuasaan menuju negara hukum -- yang masih tetap berkuasa adalah sisa-sisa dari Orde Baru. Adalah sangat naif kalau menganggap mereka itu pemerintah yang "konstitusional." MPR Orba itu tidak konstitusional. Pemerintahan yang dihasilkan oleh MPR itu juga bukan pemerintahan yang konstitusional. Kalau tokoh-tokoh oposisi percaya dengan dongeng bahwa pemerintahan Habibie ini "konstitusional" maka mereka hanya ikut "membantu" segelintir orang untuk berkuasa dengan memakai kekuatan militer. Menurut saya lebih baik kalau para pemimpin oposisi itu terang-terangan saja bilang bahwa selama Orde Baru berkuasa bangsa Indonesia berada dalam cengkraman kekuasaan rejim yang tidak sah, yang tidak berlandaskan konstitusi. Terang- terangan bilang bahwa selama Orde Baru negara Indonesia sudah menjadi negara kekuasaan. Lalu mereka memimpin aksi- aksi untuk membongkar negara kekuasaan ini dan bergerak menuju negara hukum. KUALITAS PEMIMPIN T: Topik yang sering jadi bahan diskusi antara aktivis adalah tentang ketidakmampuan pemimpin oposisi untuk betul-betul membangun kekuatan politik yang bisa mengarahkan agenda reformasi. Misalnya selama Sidang Istimewa yang baru lalu. Penolakan terhadap SI dan usaha untuk menggalang kekuatan politik untuk menolak SI itu sudah dilakukan dengan gigih sekali oleh mahasiswa dan masyarakat Jakarta. Tokoh-tokoh yang masih dipercaya dan didengarkan oleh masyarakat luas, dan juga punya banyak pendukung, seperti Gus Dur, Mega, Amien, Emil, Sultan, dll itu memang menghimbau atau mencetuskan deklarasi. Tapi sepertinya mereka semua ragu atau takut untuk betul-betul bergerak dan memimpin organisasinya untuk bergerak. Seakan-akan mereka menyerahkan tanggung-jawab mengarahkan reformasi ini kepada mahasiswa. Bagaimana Anda memahami ketidak mampuan para tokoh dan pemimpin masyarakat ini? J: Sebagian alasannya adalah ketakutan. Sebagian lagi memang karena kualitas mereka sebagai pemimpin itu pas-pasan saja. Para pemimpin oposisi ini jarang sekali menunjukkan mereka memang punya kualitas dan juga keberanian yang cukup untuk bisa menjadi pemimpin nasional. Penampilan mereka itu angin-anginan. Kadang- kadang bagus -- jelas sekali tujuannya, jelas sekali taktiknya. Kadang-kadang sama sekali tidak punya tujuan, tidak punya taktik. Yang paling sering mereka itu cuma ikut angin saja. Masyarakat Indonesia begitu kompleks, begitu banyak masalahnya, dan karena itu punya potensi untuk melahirkan banyak pemimpin yang bermutu. Tapi selama Suharto berkuasa rejimnya sudah berhasil menghancurkan kekuatan- kekuatan yang ada dalam masyarakat yang bisa melahirkan pemimpin yang bermutu. Akibatnya kita bisa lihat sekarang. Bukan hanya pemimpin oposisi yang kualitasnya itu pas- pasan, tetapi begitu juga orang-orang dalam rejim Suharto dan rejim Habibie itu sendiri. Dalam masa-masa kritis yang sangat menentukan jalannya sejarah Indonesia seperti sekarang ini, kita sudah lihat begitu banyak anak muda dan juga warga masyarakat biasa yang berjuang hebat untuk merubah keadaan. Banyak orang biasa yang sudah berkorban untuk merobah keadaan. Dan bukan hanya itu, they struggle for the very soul of the nation. Tentu saja sisa-sisa rejim Orba yang masih berkuasa itu ingin tetap mempertahankan status quo. Dan mereka sudah pakai cara-cara jahat untuk bisa terus berkuasa. Mereka pakai tentara, intel, ninja, bandit, dsb untuk main culik, bunuh, perkosa, dll. Sisa-sisa rejim inilah yang paling bertanggung- jawab atas korban-korban yang sudah jatuh. Tapi, walaupun dengan berat hati, saya harus bilang bahwa sebagian kesalahan juga ada pada para pemimpin oposisi, pada tokoh-tokoh masyarakat. Dalam perjuangan ini mereka juga bikin banyak salah langkah yang mengakibatkan lebih banyak korban. Krisis politik dan ekonomi Indonesia sudah menjadi lebih parah dan lebih panjang antara lain karena kelemahan dan kegagalan tokoh-tokoh oposisi seperti Gus Dur, Mega, Amien Rais, Emil Salim, Sultan, dll. Pemerintahan Habibie-Wiranto sekarang ini sama sekali tidak punya legitimasi, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga di mata dunia internasional. Pemerintahan ini struktur ekonominya kropos, struktur politiknya bobrok. Jauh lebih lemah dibandingkan pemerintahan Suharto yang sudah tumbang itu. Tapi tetap saja para pemimpin oposisi ini tidak berani menggempur habis, betul- betul mendobrak dan menghancurkan sistim yang sudah bobrok ini, untuk bisa membangun sesuatu yang baru. Para pemimpin oposisi itu masih saja menunggu-nunggu datangnya "hari baik." Dan selama mereka menunggu itu sebenarnya mereka juga ikut berperan mengulur-ngulur krisis. Mereka juga ikut memperluas dan memperlama penderitaan rakyat Indonesia. T: Itu kritik yang keras sekali. J: Memang. Saya tahu banyak orang yang tidak suka mendengar kritik seperti ini. Masyarakat Indonesia pada umumnya, dan terutama para wartawan, itu saya anggap terlalu lunak, terlalu murah hati dalam menilai tokoh-tokoh itu. Jarang sekali saya dengar atau saya baca tokoh-tokoh itu betul-betul diserbu wartawan dengan pertanyaan yang betul-betul keras, yang betul-betul sukar. Mereka terlalu sering dipuji, jarang dikritik, dan hampir tidak pernah ditantang oleh para wartawan. Menurut saya masyarakat Indonesia terlalu memanjakan para tokoh itu. PEOPLE POWER T: Sumbangan pemikiran apa yang bisa Anda berikan pada mereka? J: Mereka bisa menggalang aksi-aksi damai dalam skala nasional. Misalnya saja dengan mengadakan aksi mogok. Itu aksi damai yang sudah sering dikerjakan oleh rakyat negara-negara lain. Misalnya dalam gerakan civil rights di AS, dalam gerakan kemerdekaan India yang dipimpin oleh Gandhi, dll. Mogok itu adalah cara berjuang rakyat menghadapi kekuasaan jahat yang bersenjata. Mogok nasional itu saya kira bisa efektif kalau dipimpin oleh tokoh-tokoh yang masih dipercaya oleh masyarakat. Pesannya hanya satu dan bagusnya pesan itu sederhana saja, misalnya, "no-confidence." Dengan mogok itu rakyat menyatakan mereka "tidak percaya" pemerintahan Habibie bakal mampu menyelesaikan persoalan. Kalau mogok itu bisa berlangsung selama 24 jam di beberapa kota besar, maka pesan itu akan punya bobot yang luar biasa. Karena dalam 24 jam rakyat tidak mau menyupir bis kota atau taksi, tidak ada yang menjalankan kereta api, tidak ada yang mau membersihkan jalan, guru-guru tidak mau mengajar, murid tidak mau belajar, dst. Dan semua orang itu secara serentak "ngomong" ke pemerintah, kami tidak percaya. T: Misalnya itu terjadi, okelah orang-orang tidak percaya. Lalu apa alternatifnya? J: Tokoh-tokoh masyarakat, antara lain para pencetus Deklarasi Ciganjur itu, harus minta pemerintahan Habibie yang ilegal, yang inkonstitusional itu, untuk mundur dan pimpinan Abri juga mundur. Dalam masa vakum itu kita bisa belajar dari sejarah Indonesia. Menjelang kemerdekaan ada lembaga yang disebut PPKI, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Lembaga ini yang secara formal mengarahkan peralihan dari negara kekuasaan bikinan Jepang ke Republik Indonesia, terutama pada hari-hari kritis sekitar proklamasi. Sejarah itu bisa kita baca dalam UUD-45. Dalam bagian "Aturan Peralihan" dikatakan, "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia." Itu pasal 1. Pasal-3 bilang, "Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI." Rakyat Indonesia sekarang sudah tahu siapa-siapa tokoh yang sampai saat ini masih bisa mereka percaya. Dengan semangat yang sama dengan semangat dalam jaman revolusi, lembaga semacam PPKI itu sekarang bisa dibentuk, misalnya saja dinamakan Panitia Persiapan Demokrasi Indonesia, atau PPDI. Isinya tokoh-tokoh Ciganjur itu dan beberapa orang tokoh lain. PPDI itulah yang mengangkat presiden dan wakil presiden "sementara" dengan satu mandat saja, mempersiapkan pemilu. Pasal 4 dalam "Aturan Peralihan" UUD45 itu mengatakan, "Sebelum Madjelis Permusjawaratan Rakjat, Dewan Perwakilan Rakjat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang ini, segala kekuasaannja didjalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional." Pengalaman sejarah itu juga bisa dijadikan pedoman. Yang penting itu kita jangan terpukau pada tata cara atau prosedur. Kita yakin bahwa rejim Suharto, dan juga rejim Habibie yang meneruskan rejim Suharto, itu sudah berada di luar konstitusi. Yang penting juga kita tahu bahwa bangsa Indonesia punya pengalaman sejarah yang bisa dijadikan pedoman dalam masa transisi seperti sekarang ini. T: Seandainya mogok sudah dijalankan tapi tetap tidak didengarkan? Tetap saja pemerintahan Habibie mau ngotot? J: Mungkin memang tidak ada jalan lain, harus pakai People Power. Rakyat harus turun ke jalan. T: Sebagian teman mengingatkan bahaya anarki atau kekacauan, bentrokan berdarah yang meluas, dsb, kalau ada mobilisasi massa secara besar-besaran. J: Masyarakat Indonesia itu sangat beraneka-ragam. Salah satu hal yang disumbangkan orang Indonesia pada dunia adalah bukti bahwa masyarakat yang beragam itu bisa hidup berdampingan secara damai. Kekerasan yang pernah terjadi, sejauh saya tahu, itu selalu tidak muncul spontan akibat perbedaan yang ada dalam masyarakat. Selalu ada segelintir elite di atas yang membakar- bakar dan mengadudomba masyarakat untuk kepentingan elite itu sendiri, supaya mereka bisa tetap berkuasa. Banyak sekali contoh kekacauan yang terjadi akibat kelakuan elite di atas. Dan sukar sekali kita dapat contoh kekerasan dalam masyarakat yang terjadi secara spontan akibat perbedaan yang ada dalam masyarakat sendiri. Ada kelompok elite yang memang mencoba mengadudomba masyarakat, membakar konflik-konflik berdasarkan sara. Ini permainan jahat dan sangat berbahaya. Luka yang timbul akibat konflik-konflik sara ini sangat dalam. Akan butuh waktu lama sekali untuk menyembuhkannya. Dan semakin lama kelompok elite "irresponsible" ini berkuasa, semakin besar risiko bangsa Indonesia akan terpecah belah, tidak akan bisa lagi bertahan sebagai suatu bangsa. ELITISME MAHASISWA T: Salah satu hambatan dalam menggalang People Power di Indonesia adalah karena gerakan mahasiswanya sangat elitis. Mahasiswa menjaga jarak dengan masyarakat. Banyak mahasiswa yang bilang, "Rakyat lapar." Tapi sekaligus juga bilang, "Awas, jangan disusupi massa." Banyak mahasiswa yang berjuang untuk rakyat, tetapi sekaligus takut kalau rakyat betul-betul ikut dalam aksi mereka lalu rakyat itu mereka sebut "massa." Dan "massa" itu mereka anggap berbahaya, karena gampang mengamuk, dsb. J: Ketakutan aksi-aksi mahasiswa dikacaukan itu memang beralasan dan sudah seringkali terbukti. Tapi memang betul juga sebagian mahasiswa memang bersikap sangat elitis dan itu kesalahan yang sangat serius. Student Power saja tidak akan cukup kuat untuk bisa membongkar seluruh rejim Orde Baru. Mahasiswa sering bicara mereka berjuang untuk rakyat. Kalau mereka memang jujur, maka mereka harus berjuang bersama rakyat. Tapi sampai saat ini mahasiswa memang menjadi satu-satunya kekuatan pendobrak. Ini juga akibat dari ketidakmampuan para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat dalam kelompok oposisi. Kalau para pemimpin oposisi itu menggalang kekuatan rakyat, dan bukannya main-main terus di belakang layar, maka mahasiswa akan bergabung. T: Kami mendapat kesan para aktivis mahasiswa sekarang ini sangat berani dan sangat gigih. Tapi kadang-kadang kurang berpikir strategis. Misalnya ada aksi-aksi yang mau menghantam Suharto, Habibie, Wiranto, Abri dan Golkar sekaligus. Itu sesuatu yang sangat sukar. Mungkin lebih tepat kalau gerakan reformasi itu maju selangkah-selangkah. Atau mungkin lebih tepat kalau memusatkan gerakan untuk mendobrak satu sasaran saja. Atau konsentrasi pada isu yang paling penting saja. Bagaimana Anda mengamati kemampuan berpikir strategis, atau kemampuan untuk memilih prioritas sasaran, dalam gerakan reformasi sekarang ini? J: Memang gerakan mahasiswa terlihat "disorganized," terlihat semrawut, tidak punya prioritas dalam aksi-aksinya, tidak terorganisir rapih. Berbeda dengan gerakan mahasiswa di Korea, misalnya. Tapi kesemrawutan ini bisa jadi kelemahan dan sekaligus juga kekuatan. Kekuatan karena kemudian gerakan mahasiswa itu menjadi semacam aktivitas "gerilya." Akan sukar sekali pemerintah dan militer menghadapi aksi-aksi gerilya mahasiswa seperti sekarang ini. Kelemahannya persis yang Anda katakan itu, tidak ada fokus dan strategi. Yah, memang sukar sekali untuk mengorganisir gerakan yang terorganisir rapih. Tapi, sekali lagi mengulang yang sudah kita bicarakan tadi, elitisme mahasiswa ini juga akibat kesalahan dari para pemimpin oposisi yang seakan-akan lumpuh, lalu membiarkan mahasiswa berjuang sendiri. Saya juga harus bilang ini juga akibat dari sikap sebagian besar kelas menengah Indonesia, yaitu kelompok profesional, pekerja kantoran, dll yang ada di kota-kota besar itu. Selama aksi-aksi reformasi tahun 1998 ini mereka hanya berdiri di pinggir jalan, menjadi penonton. Sikap ini berbeda sekali dengan sikap kelas menengah Pilipina dan juga Thailand. People Power di Pilipina pada tahun 80-an dan yang di Thailand pada awal 90-an -- yang berhasil menggulingkan rejim Marcos di Manila dan rejim militer di Bangkok -- itu termasuk "Gerakan BMW dan Handphone." Itu belum kita lihat di kota-kota besar Indonesia. Sikap umumnya kelas menengah itu masih "cari selamet" dan "cari aman." Mereka tidak mau ikut berjuang tapi selalu siap untuk ikut yang menang. T: Gerakan reformasi seperti apa yang Anda bayangkan tahun depan? J: Bagaimana perkembangan selanjutnya, itu saya tidak tahu. Tapi berdasarkan bukti-bukti yang saya lihat, gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998 ini masih semacam pertarungan antara dua kelompok elite: Elite pro status quo dan elite yang pro reformasi. Rakyatnya sendiri masih disingkirkan. Dalam situasi seperti ini, elite yang pro reformasi hanya bisa menang kalau mereka menggalang kekuatan rakyat. Bagaimana menggalang People Power yang kuat dan meluas, dengan aksi-aksi damai? Menurut saya itulah persoalan paling penting yang harus dipikirkan oleh aktivis gerakan reformasi (Habis, wawancara 14 Desember 1998). To unsubscribe send a message to [EMAIL PROTECTED] with in the message body the line: unsubscribe demi-demokrasi