``````````````````````````````` [EMAIL PROTECTED] A r t i k e l Lepas ^*^*^*^*^*^*^*^*^*^
Kejahatan, Hukum dan Krisis Peradaban `````````````````````````````````````````````````` Oleh: Augustinus S, S.H Kejahatan adalah problema manusia sepanjang jaman. Bahkan di jaman para Nabi/Rasul pun kejahatan itu sudah ada dalam kehidupan manusia. Kriminolog Frank Tannembaum mengatakan: "Crime is eternal - as eternal as society" (kejahatan adalah abadi, seabadi masyarakat). Jahat dimaksud di sini bukan sekedar jahat dalam arti yuridis, akan tetapi jahat dalam pengertian luas dan kompleks. Ragam kejahatan ini bisa dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, jahat karena melanggar norma hukum (semangat anti atas otoritas hukum). Misalnya melanggar norma yang diatur dalam KUHP. Perilaku jahat ini bisa dijangkau dalam 'law enforcement' oleh aparat penegak hukum. Sekaligus tindak kejahatan ini dikategorikan telah melanggar nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial. Kedua, jahat karena melanggar larangan agama (semangat anti otoritas nilai-nilai keagamaan) dan bisa sekaligus melanggar nilai-nilai sosial, namun belum tentu terjangkau oleh aturan hukum negara. Ketiga, jahat karena melanggar nilai-nilai kemasyarakatan (semangat anti nilai-nilai sosial) yang sekaligus bisa dikategorikan telah melanggar ajaran agama, namun belum tentu terjangkau oleh hukum negara. Jadi, tidak semua kategori kejahatan bisa dijangkau oleh hukum negara. Hukum hanya bisa menerobos perilaku jahat yang mencuat di permukaan, sedangkan yang tidak ketahuan menjadi persoalan etika pribadi, persoalan norma keagaman dan kemasyarakatan. Hubungan ketiga kategori jahat di atas bisa diibaratkan sebuah gunung es, dimana kejahatan yang dijangkau oleh hukum merupakan puncak dari berbagai bentuk perilaku jahat yang ringan dan tersembunyi dalam masyarakat. Misalnya kasus-kasus perkosaan dan VCD Pornografi merupakan akumulasi dari kian merebaknya ragam pornograf yang tak terjangkau hukum. Oleh karena itu, kekhawatiran atas meningkatnya angka kejahatan tidak hanya terfokus pada kejahatan yang telah dirumuskan dalam undang-undang (mala prohibita), akan tetapi juga bentuk-bentuk kejahatan yang belum dirumuskan ke dalam undang-undang (mala in se). Penanggulangan kejahatan ("mala prohibita") tidak akan bisa tercapai tanpa didahului oleh penanggulangan "mala in se". Sebab kebanyakan 'mala prohibita' muncul sebagai akumulasi dari 'mala in se'. Semangat anti otoritas (hukum, agama, nilai-nilai sosial) ini akan selalu muncul dalam masyarakat. Pengamat sosial dari Unair Nyoman Naya Sujana menyebutnya sebagai penyakit sosial. Penyakit sosial itu antara lain: 1) kriminalitas yang sangat luas; 2) pelacuran yang kurang terkendali; 3) peredaran minuman keras yang luas dan kurang terkendali; 4) penggunaan obat-obat terlarang; 5) perjudian yang melibatkan semua lapisan masyarakat dan kurang terkendali; 6) peredaran barang dan VCD pornografi; 7) pergaulan bebas dan hubungan seks pranikah yang semakin luas, dan sebagainya. Ketidakmampuan negara dalam menjangkau semua tindakan jahat yang sebenarnya melanggar norma hukum menimbulkan kesan seakan-akan beberapa ketentuan tak lagi berfungsi, karena apa yang semestinya dilarang sudah menjadi hal yang biasa. Taruhlah misalnya pasal 533 Angka 1 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan, seakan-akan tak lagi berdaya menghadapi spanduk-spanduk yang terpampang di gedung-gedung bioskop dan majalah-majalah yang memuat gambar maupun tulisan seronok yang jelas melanggar susila. Seandainya pun hukum mampu menjangkau semua perilaku jahat warga yang sebenarnya tetap dikategorikan sebagai kejahatan maka rumah tahanan dan penjara-penjara akan penuh. Polisi pun akan repot dibuatnya. Hal ini berarti bahwa hukum selama ini memang sudah sangat kompromistis. Kompromistis karena ketidakberdayaan penegak hukum itu sendiri dan kondisi warga yang memang cenderung bersemangat anti otoritas. Semakin berkembangnya semangat anti otoritas bisa mengarah pada kecenderungan warga menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri tanpa memperhatikan kepentingan lain yang lebih luas. Bahayanya ialah, bisa terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Dimana yang kuat menginjak yang lemah, yang kuat kian kuat dan yang lemah kian lemah. Semangat anti otoritas ini juga akan menimbulkan kian tidak jelasnya struktur peradaban bangsa kita. Sri Sultan HB X di Yogyakarta pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia yang sampai saat ini belum pulih dari krisis multi dimensi, ternyata juga mengalami krisis peradaban. Krisis peradaban tersebut telah mengubah perilaku bangsa Indonesia yang dulu sering dipahami penuh dengan keramahtamahan, solidaritas, dan "tepo sliro", sekarang yang muncul justru bentuk kekerasan, konflik SARA, mudah emosi sehingga terlalu banyak kasus-kasus di daerah di seluruh negeri ini didominasi bentuk-bentuk kekerasan (Antara, 22/11/01). Persoalannya sekarang ialah, bagaimana menanggulangi semangat anti otoritas atau ragam kejahatan ini. Sebelum membahas persoalan ini, sejalan dengan pandangan Frank Tannembaum di atas, terlebih dahulu disimak pandangan kriminolog Prof. Noach yang mengatakan bahwa tidak mungkin kejahatan itu bisa dihilangkan dari masyarakat, yang mungkin adalah mengurangi atau membatasinya. Pendekatan yang bisa dipakai guna menanggulangi kejahatan atau semangat anti otoritas dalam masyarakat adalah suatu pendekatan yang justru dipakai dalam menjelaskan kausa kejahatan. Yaitu pendekatan sobural (akronim dari nilai-nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural). Suatu pendekatan yang pertama kali dilontarkan oleh pakar hukum Prof. J.E Sahetapy. Pendekatan ini menyesuaikan dengan alam (kultur) Indonesia. Jadi, bila kausa kejahatan dianalisis dari pendekatan sobural maka penanggulangan kejahatan pun seyogyanya bisa dijelaskan dari pendekatan yang sama. Penanggulangan kejahatan melalui pendekatan sobural ialah bagaimana melahirkan kembali nilai-nilai sosial yang dinamis yang bisa sebagai standard bagi warga dalam menilai apakah suatu perbuatan itu bermoral atau tidak bermoral. Melalui pendekatan sobural diharapkan bisa tercipta suatu struktur kehidupan masyarakat yang adil dan beradab. Struktur masyarakat yang adil dan beradab tidak akan membiarkan kejahatan individu berkembang dengan bebas tanpa terkendali. Budaya atau struktur peradaban masyarakat yang baik akan berperan meluruskan semangat deviasi dalam masyarakat. Sehingga benih-benih kejahatan bisa diantisipasi sebelumnya agar tidak berkembang menjadi suatu kejahatan pada level yang melanggar hukum negara. Menurut Alfred North Whitehead, seorang tokoh filsafat proses, ada lima ciri utama masyarakat yang dikatakan beradab atau berbudaya, yaitu: kebenaran, keindahan, sikap bertualang (kreatif), seni/keindahan dan kedamaian bathin. Selain kelima ciri utama tersebut, whitehead juga menyebutkan beberapa hal sbb: a) sikap penghargaan pada individu; b) sikap toleran pada sesama warga masyarakat; c) lebih berperannya persuasi akal daripada kekuatan fisik dalam menyelesaikan masalah; d) terjaminnya pendidikaan bagi para warganya. Untuk mencapai apa yang dikemukakan oleh Whitehead maka, menurut hemat penulis, pembentukan struktur sosial yang adil dan beradab harus kembali pada sumber nilai-nilai otoritas yang sebenarnya ada dalam masyarakat itu sendiri namun belum tergali. Sumber nilai dimaksud terdiri dari: dimensi relasi manusia dengan Tuhan sebagai sumber otoritas tertinggi (nilai-nilai religius), dimensi interaksi manusia dengan sesamanya, dimensi hubungan manusia dengan dirinya sendiri lewat perenungan-perenungan, dan dimensi hubungan manusia dengan lingkungannya. Oleh karena itu, pembentukan struktur peradaban berangkat dari dua segi. Pertama, komitmen moral individu-individu untuk memberi sumbangsih nilai-nilai dalam rangka pembentukan suatu sistem nilai milik bersama. Kedua, membenahi struktur masyarakat dan pemerintahan dengan mengupayakan terbentuknya struktur yang dengan tegas membedakan apa yang benar dan apa yang salah. Suatu struktur yang dengan efektif, konsisten dan konsekwen mampu mencegah dan menindak penyelewengan. Upaya ini akan lebih efektif bila dimulai dari para pemimpin formal (eksekutif / legislatif) maupun pemimpin informal untuk memberi tauladan pada masyarakat. Prof J.E Sahetapy sering mengatakan: ikan busuk dimulai dari kepala, bukan dari ekornya, sehingga yang pertama dibereskan ialah bagian kepala. Biarlah 'bola salju' kejujuran dan keadilan itu menggelinding dari atas hingga semakin ke bawah semakin membesar dan meluas.** "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) *********************************************************************** Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED] Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772 atau BCA Cab. Darmo Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838 *********************************************************************** Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan: subscribe eskolnet-l ATAU unsubscribe eskolnet-l