DAMAY.....Oke Deh..........WAHYU.....Cape Deh......Kawan....Duduk Manis Deh.........
v_madjowa <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Om Henk, Kak Rosyid dan teman-teman.... Maaf baru balas, ternyata ada topik menarik soal wartawan menjadi tim sukses. menurut saya bila ada wartawan yang ingin menjadi tim sukses, sebaiknya cuti dulu dari media tempat dia bekerja. Om Henk, mungkin pernah ada anggota AJI yang pernah menjadi tim sukses kandidat di jakarta atau medan, kemudian mundur sebagai pengurus dan keanggotaan. masih perlu saya cek lagi. kalau di Gorontalo, hingga kini masih AJI persiapan, belum resmi (karena Iing telah berlayar he he :). jadi belum ada yang resmi sebagai anggota (ini juga masih akan dicek lagi ke AJI Indonesia). Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Ichlasus Amal mengatakan keterlibatan wartawan dalam tim sukses akan menimbulkan citra negatif bagi kalangan wartawan secara umum. Wartawan yang menjadi tim sukses akan gampang menyebarkan isu negatif atau menjelek-jelekan calon lain melalui black-campaign. Akhirnya masyarakat mendapatkan informasi yang menyesatkan. wartawan yang menjadi tim sukses calon walikota di gorontalo perlu menjadi perhatian. Apalagi bila sudah ada kolaborasi antara kandidat, preman dan wartawan. Ini membahayakan dan memprihatinkan. solidaritas antar wartawan dan masyarakat yang peduli perlu ditumbuhkan bersama agar nilai-nilai demokrasi tetap dijaga. itu dulu, verri NB: dibawah ini ada dua artikel tentang wartawan menjadi tim sukses. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0505/27/opi02.html Wartawan Jadi Tim Sukses Pilkada Oleh Harry Ganda Asi Saat ini kita sedang menghadapi musim pilkada (pemilihan kepala daerah) secara langsung. Musim di mana para calon bupati, wali kota, dan gubernur jadi begitu bermurah hati dan superbaik kepada wartawan. Para kontestan pilkada itu berusaha mendekati pers (bahkan mengajak menjadi tim sukses), dan tim sukses atau public relations mereka berusaha memiliki kontak khusus dengan media-media. Ini juga musim yang subur bagi perusahaan public relations. Para kandidat tidak ingin gagal, kehilangan uang, dan kalah dalam momentum pilkada kali ini. Bayangkan saja, para pengamat memperkirakan seorang calon bupati/wali kota bila ingin menang harus merogoh koceknya rata-rata Rp 20 miliar. Para kandidat pun sudah sadar kompetisi dalam pilkada bukan lagi perang fisik (kekuatan) tetapi perang persepsi. Kunci kemenangan dalam persepsi ini terletak dalam strategi memenangkan mind-share (pangsa benak) pemilih, termasuk dalam strategi dalam pemilihan media yang cocok (media selection) untuk menyampaikan pesan positif kepada publik melalui media masa. Para kandidat pun sudah mafhum, strategi untuk memenangkan pilkada tidak saja sekadar melakukan kampanye massal, cetak brosur, dan pasang spanduk serta baliho, tetapi peran media massa cetak dan elektronik justru dianggap paling cepat dapat membentuk persepsi dengan pembentukan public opinion yang diharapkan. Sadar akan pengaruh pemberitaan media massa, maka banyak kandidat yang belanja iklan di media massa cetak dan elektronik. Ada pula kandidat yang mengambil inisiatif menerbitkan media cetak dan TV komunitas untuk kepentingan kampanyenya. Pers dianggap menjadi dewa dalam pilkada ini. Juga jangan heran bila banyak wartawan di daerah yang tergoda menjadi tim sukses kandidat. Citra Negatif Prof. Dr. Ichlasus Amal, Ketua Dewan Pers meminta agar wartawan tidak menjadi tim sukses salah satu pasangan calon bupati/wali kota dalam pelaksanaan pilkada. Keterlibatan wartawan dalam tim sukses akan menimbulkan citra negatif bagi kalangan wartawan secara umum, katanya. Independensi wartawan menjadi sangat disorot bila mereka terlibat dalam tim sukses. Wartawan yang menjadi tim sukses akan gampang menyebarkan isu negatif atau menjelek-jelekan calon lain melalui black-campaign. Akhirnya masyarakat mendapatkan informasi yang menyesatkan. Namun seruan Ichlasus Amal secara praktik sangat sulit dilaksanakan. Mengapa? Karena banyaknya bermunculan penerbitan pers pasca-reformasi. Mereka muncul dengan berbagai kepentingan dan maksud. Jadi, bila pun ada wartawan yang menjadi tim sukses satu kandidat, sangat susah menjatuhkan hukuman. Hanya ada sanksi moral. Pasal 6 UU 40/1999 tentang Pers disebutkan pers nasional melaksanakan peranannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Pers mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; serta melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Pers memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Menurut Novel Ali, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Semarang ada peran positif dan negatif media massa. Peran positif media massa, pertama, pers mewakili kepentingan publik media dalam pembentukan wacana untuk berbagai kepentingan, terutama guna mengangkat isu (informasi) di bawah permukaan/covert menjadi terbuka (overt). Kedua, memacu publik mampu mengaktualisasikan aspirasinya secara terbuka di media massa. Ketiga, menjaga gawang demokrasi, di mana pemberitaan media massa memantapkan bukan hanya mekanisme dari atas ke bawah, tetapi juga dari bawah ke atas (bottom-up). Keempat, lewat teknik pemberitaan pers dimungkinkan terjadinya kontrol publik, sekaligus pengendalian masyarakat terhadap kepentingan tertentu, baik di sektor pemerintahan maupun masyarakat. Kelima, mengendalikan seseorang, kelompok, golongan, atau lembaga berbuat sewenang-wenang, akibat kuatnya kontrol publik lewat pers. Keenam, melalui (jasa) pemberitaan media massa kesadaran publik terhadap persoalan sosial, politik, dan lain-lain di lingkungannya terbangun secara intens. Di samping menguatnya posisi tawar-menawar publik terhadap pemerintah, partai politik, dan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Ketujuh, gagasan kepentingan umum yang sering dinyatakan birokrat negara, politikus, negarawan, cendekiawan, dan lain-lain tidak terus-menerus berada "di atas angin". Sebab, pejabat pemerintah, tokoh parpol, pemuka masyarakat, cendekiawan, pengusaha, dan lain sebagainya, tidak berani cuma berjanji tanpa realisasi, sebagai akibat kontrol pers. Bersifat Negatif Di sisi lain, peran pers juga ada yang bersifat negatif. Pertama, pemberitaan media massa mereduksi fakta tertentu sehingga menghasilkan kenyataan semu (false reality), yang dapat berakibat menguntungkan kepentingan tertentu, tetapi merugikan kepentingan lain. Kedua, kinerja pemberitaan pers merenggangkan hubungan ketergantungan publik dengan lembaga media massa. Akibatnya, pemberitaan pers makin jauh dari kepentingan sejati publiknya. Ketiga, sebagai akibat kesalahan pers memilih atau mempergunakan cara pandang atau perspektif yang salah dalam pemberitaan dan bentuk-bentuk sajiannya yang lain, peran pers terjebak pada pembelaan kepentingan kelompok yang tertindas terhadap yang mapan. Atau sebaliknya, pers membela kelompok mapan, menghadapi kaum lemah. Keempat, pers terlalu sering mengangkat realitas faktual hanya melalui pernyataan tokoh atau expert tertentu. Misalnya karena mereka dianggap memiliki nilai berita (news value) walau hasilnya justru menjebak pemberitaan pers kepada kepentingan politis atau ekonomis semata. Saya tetap berpendapat sangat susah bagi seorang wartawan untuk netral. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang, pengalaman, like and dislike dan pendidikan seorang wartawan yang akan mempengaruhi isi dan gaya tulisannya. Apalagi penulisan berita yang dicampur dengan opini wartawan. Soal akurasi menjadi persoalan dalam kualitas penulisan. Tidak ada standar presisi dalam penulisan soal pilkada. Penulis mantan wartawan, memimpin perusahaan PR, tinggal di Jakarta. http://www.ajiindonesia.org/index.php?fa=article.read&id=MTMz Pers Lokal dan Pilkadal 12 Feb 2005 Jumat, 11 Februari 2005 Kompas Cyber Media Oleh: Ignatius Haryanto APA yang bisa direnungkan pada Hari Pers Nasional tahun 2005 yang dirayakan tanggal 9 Februari kemarin? Pentingkah buat kita sekarang ini kembali membicarakan soal peran pers sebagai salah satu agen demokrasi dalam kerangka proses demokratisasi dan pemerintahan baru yang tengah berlangsung sekarang ini? Sudah kita ketahui bahwa sejak Mei 1998 pascatumbangnya pemerintah Soeharto, pers di Indonesia mengalami masa liberalisasi. Salah satu indikasinya adalah makin maraknya penerbitan di Indonesia dan makin merambah ke berbagai wilayah di Indonesia. Seiring dengan otonomi daerah yang dilangsungkan sejak awal tahun 2001, pers di tingkat lokal makin menunjukkan peran yang besar. Kita tak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa banyak pihak mencoba untuk mendirikan pers di berbagai tempat, namun tak sedikit pula yang akhirnya menutup penerbitannya karena berbagai persoalan. Masalah keuangan menjadi faktor utama tutupnya berbagai surat kabar di daerah. Namun kekecualian terjadi pada surat kabar atau terbitan lain yang memiliki afiliasi dengan grup penerbitan besar. Dalam catatan tahunan Aliansi Jurnalis Independen pada tahun 2004 (Kembalinya Otoritarianisme? AJI, 2004) terlihat bahwa sebuah grup penerbitan paling luas di Indonesia memiliki jumlah penerbitan empat kali lipat dibandingkan pada masa akhir Soeharto. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada grup penerbitan lain, dan pada waktu yang sama juga banyak media-media lain di berbagai wilayah Indonesia yang mencoba terbit secara independen. Jack Snyder, guru besar ilmu politik dari Columbia University, dalam bukunya From Voting to Violence (Dari Pemilihan Umum ke Pertumpahan Darah, terj 2003) menunjukkan bahwa media massa memiliki peran yang besar dalam proses transisi politik dari zaman otoritarianisme menuju arah demokratisasi. Patut dicatat bahwa Snyder menunjukkan proses transisi ini tak berjalan dengan mudah karena ada banyak jebakan untuk sampai pada situasi demokratis, dan salah satunya adalah kondisi di mana para elite politik menjalankan politik nasionalisme sempit atau nasionalisme kesukuan (ethno-nationalism). Arah menuju ethno-nationalism di Indonesia dan sejumlah diskusi atas masalah konflik sosial dikemukakan oleh sejumlah peneliti, misalnya dalam buku Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation (Edward Aspinall & Greg Fealy, eds, 2003); juga pada Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Dewi Fortuna Anwar, Helene Bouvier, Glen Smith, & Roger Tol, eds, Jakarta: 2004), juga dalam kajian berbagai peneliti dalam jurnal Indonesia milik Cornell University edisi 72 (Oktober 2001) dan edisi 73 (April 2002). Snyder sangat menekankan bagaimana peran dari media sebagai pembuat opini publik yang bisa menyokong kepentingan para nasionalis sempit tadi. Mereka bisa mengobarkan kepentingannya yang sangat terbuka, terutama karena pada masa awal demokratisasi terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan posisinya. Namun jika media massa cukup profesional, mereka bisa jadi pengimbang atas kepentingan-kepentingan para elite politik, dan media tak perlu jatuh menjadi corong kepentingan elite politik tadi. Di sini lalu muncul pertanyaan kepada para pengelola pers di berbagai wilayah: seberapa kontribusi yang telah (juga 'sedang' dan 'akan') diberikan oleh para pembuat opini publik tersebut untuk menyokong proses demokratisasi di berbagai daerah, terutama dengan momen pemilihan langsung kepala daerah ini. Apakah pers ini menunjukkan peran yang signifikan untuk mendorong proses demokratisasi; di mana masyarakat sebagai konstituen politik utama diberi informasi yang wajar dan berimbang atas berbagai kandidat politik tersebut-lepas dari berbagai perbedaannya dengan kontestan lain? Ataukah pers akan jatuh pada suatu pemihakan kepada salah satu calon dengan berbagai alasan di belakangnya? Pers lokal dan politik lokal Penulis justru merasa khawatir jika jurnalis dan media akan masuk dalam medan pertarungan antarpara kontestan politik dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal) yang bakal amat banyak dilakukan mulai pertengahan tahun ini. Kekhawatiran ini bukannya tanpa dasar karena penulis mendasarkannya pada pengamatan dari penelitian yang telah dan sedang dilakukan oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), juga dengan pengamatan penulis ketika berkunjung ke berbagai wilayah untuk acara pelatihan para jurnalis lokal. Menjadi suatu praktik umum di mana media massa di berbagai wilayah tak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang sehat, tidak profesional, dan menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada dinamika yang terjadi dalam politik lokal (mulai dari soal langganan koran oleh kantor-kantor pemerintah, iklan ucapan selamat kepada pejabat, hingga berbagai bentuk suap lainnya). Tak mudah bagi masyarakat luas untuk mengetahui praktik macam ini, namun masyarakat inilah yang pertama kali akan merasakan dampaknya, dalam rupa pemberitaan yang bias pada salah satu tokoh politik, dan jika berbagai kontestan juga berkompetisi untuk memengaruhi isi media lokal, maka media dan jurnalis mau tak mau masuk dalam panggung pertarungan politik pula. Adalah suatu kewajiban moral bagi para penanggung jawab media di berbagai wilayah untuk menjadikan netralitas, sikap independen terhadap kontestan politik, sebagai suatu keutamaan (virtue) yang harus terus diperjuangkan. Pengutamaan salah satu kandidat politik-entah apa pun dasarnya (kesamaan suku, agama, ras, tingkat ekonomi, dan lain-lain)-daripada yang lain adalah mengingkari tugas dasar media untuk tampil sebagai pewarta informasi yang tak memihak bagi publik. Sekali tugas ini dilanggar, dan media jatuh dalam favoritisme terhadap salah satu kandidat, media itu telah mudah dituding sebagai pengikut salah satu kandidat dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat atas liputan-liputannya. Dengan kata lain, pers justru ikut dalam proses membodohi masyarakat dengan keberpihakannya tersebut. Belajar berdemokrasi memang tak mudah dan juga memerlukan waktu yang panjang. Waktu pendek dalam masa transisi perlu terus dilihat sebagai proses belajar berdemokrasi itu tadi agar Indonesia dalam keluasan wilayah, dan keragaman budaya yang ada di Tanah Air ini terus menuju arah yang tepat untuk menuju demokrasi sejati di negeri, dan pers pun punya peluang besar untuk turut dalam proses yang satu ini. *** Peneliti dan Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) (www.ajiindonesia.org) ------------------------------------ Majulah Gorontalo kita!Yahoo! Groups Links --------------------------------- Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers