Iing, ditunggu kedatanggannya di gorontalo. Syam, Icky dan Sofyan Uli, banyak yang perlu digali dan dikembalikan lagi ke makna "tumbilo tohe". Rahman Dako (Aga) dkk, pernah mencoba di kampung untuk membuat lampu alternatif, seperti yang digunakan pada masa lalu. Mungkin Aga bisa cerita lagi bagaimana mengkampanyekan lampu alternatif tersebut.
Dibawah ini terlampir tulisan lain tumbilo tohe (tahun 2001). Salam, verri =========== Koran Tempo, Sabtu 15 Desember 2001 Tumbilo Tohe, Menyambut Lailatul Qadar ala Gorontalo Bila akhir Ramadhan orang sibuk mudik, membuat kue dan keperluan Lebaran, penduduk Gorontalo mempunyai cara sendiri. Warga setempat sibuk menyiapkan lampu pada malam 27 Ramadhan. Inilah saat-saat yang dipercaya sebagai malam lailatul qadar. Tradisi yang disebut tumbilo tohe (pasang lampu) ini mulai berkembang sejak agama Islam dipeluk warga Gorontalo. Islam dikembangkan di Gorontalo oleh Sultan Amay sekitar abad 15. Pada 1589 semakin berkembang saat pemerintahan dipegang Raja Tilahunga. Jazirah Gorontalo terbentuk sekitar 400 tahun lalu, dan termasuk empat kota tua di Sulawesi (Makassar, Pare-pare, Gorontalo dan Manado). Kota-kota inilah yang menjadi poros penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan Bone. Posisi Kota Gorontalo yang diapit Sulawesi Utara dan Tengah, serta laut yang menghadap Teluk Tomini di selatan dan Laut Sulawesi di utara memberi peluang ulama di sana untuk mengembangkan Islam kemana-mana. Dulunya, warga Gorontalo hidup dalam kelompok-kelompok yang disebut linula, jumlahnya satu sampai sepuluh kepala keluarga. Kondisi demikian menyulitkan untuk melaksanakan ibadah tarawih bersama bagi warga yang hidup berkelompok dan kediamannya dikelilingi hutan belukar. Para pedagang rempah-rempah yang menyiarkan Islam kemudian memutar akal. Muncullah ide ini: membuat lampu di jalan setapak menuju tempat ibadah yang sudah ditentukan. Lalu tujuan pemberian lampu ini pun berkembang. Selain menyimbolkan sebagai penyambutan malam lailatul qadar, menerangi orang yang akan ibadah tarawih juga memberikan rasa aman mereka yang akan membayar zakat fitrah. Zakat fitrah bagi orang Gorontalo diberikan pada malam 27 Ramadhan. "Kebanyakan ulama di Gorontalo waktu itu percaya pada 27 Ramadhan sebagai malam lailatul qadar," kata Ketua adat Hulontalo D.K. Usman. Lampu Ramadhan ini awalnya tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau energi listrik. "Orang Gorontalo menggunakan tohe tutu, bahan alam yang diambil dari pohon damar," tutur Usman. Tohe tutu ini baunya harum. Jika disulut akan menyala dan apinya tahan beberapa jam. Belakangan berkembang, bahan bakarnya menggunakan minyak kelapa kampung dicampur dengan air, wadahnya buah pepaya muda. Sementara warga pesisir memanfaatkan cangkang moluska sebagai wadah dengan dilubangi untuk tempat kapas. Bersamaan dengan perkembangan Islam dan adat, lampu-lampu yang dipasang diberi makna. Setiap 27 Ramadhan lampu-lampu disulut mulai bervariasi. Mulanya bentuk palang dengan lima lampu, lalu berkembang menjadi gapura. Tiang-tiangnya bahkan dihiasai bunga. Artsitik dan indah. Ketika orang Portugis, pedagangan Gujarat dan orang Ternate mengajarkan pola bangunan dan hiasan janur, bentuknya berkembang lagi. Bahan hasil kreasi ini lalu berkembang beraneka ragam. Ada yang disebut lampu janur, lampu lima dan 17, bentuk, bunga polohungo, bentuk modu atau bunga berwarna merah, patodu (tebu) dan lambi (pisang). Masing-masing bahan itu memiliki makna. Janur melambangkan kebesaran adat, polohungo sebagai hiasan yang disukai bidadari, dan patodu perlembang rezeki dan tumbuhan yang manis. Ada pun lambi perlembang rezeki dan makanan kemakmuran. Ada juga jumlah lampu yang terdiri dari 27 susunan dengan formasi 11-9-7. Sebelas lampu melambangkan rukun Islam dan rukun Iman, sembilan lampu melambangkan jumlah khalifah awal, dan tujuh lampu simbol kehidupan dari Ahad sampai Sabtu. Jumlah lampu di tiap rumah, biasanya, disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Ketika menyulut lampu di malam 27 Ramadhan, selalu disertai bacaan Surat At Qadr (Surat Kemuliaan). Tradisi pasang lampu ini sempat juga mengundang kritik. Sebab, tumbilo tohe dianggap pemborosan. Bayangkan, selama tiga malam warga menyiapkan lampu dengan bahan bakar minyak tanah, seperti sekarang ini, dengan jumlah mencapai ratusan ribu lampu. "Turunnya Jibril bersama malaikat-malaikat lain dengan segala urusan di malam Lailatul Qadar tak memerlukan gelap atau terang," ujar seorang ulama di Gorontalo. Tapi, tentu saja tak mudah untuk mengubah tradisi. Alasannya sederhana, di situ ada kegembiraan, kebersamaan dan nilai-nilai lain yang tak bisa diukur dengan uang. verrianto madjowa --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, iing iing <aja_klalen_...@...> wrote: > > artikel dari om verry ini menarik sekali. bukti bahwa sekarang banyak orang > gorontalo yg tidak tahu atau melupakan makna dari malam pasang lampu itu. > para pemimpin, wakil rakyat, media massa, guru, harusnya berlomba untuk > menyadarkan mereka kembali. atau memang sengaja membiarkan utk menarik > wisatawan?? > > salam rindu gtlo > > iing > > > --- On Sun, 9/5/10, v_madjowa <v_madj...@...> wrote: > > From: v_madjowa <v_madj...@...> > Subject: [GM2020] Memasang Lampu Menangkap âLailatul Qadarâ > To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com > Date: Sunday, September 5, 2010, 10:25 AM > > > > > > > > Â > > > > > > > > > > Harian Republika, Sabtu 3 April 1993 > > > > Memasang Lampu, Menangkap `Lailatul Qadar' > > > > Percaya atau tidak, masyarakat Gorontalo (sekitar 400 kilometer barat daya > Manado) meyakini malam lailatul qadar, jatuh 27 Ramadhan. Ini sudah > berlangsung ratusan tahun. Sejak agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di > Gorontalo sekitar abad ke-15. Karena itulah, untuk menyambut malam yang > berharga ini, masyarakat setempat menyambutnya dengan kegiatan malam "tumbilo > tohe" atau "pasang lampu". > > > > Menurut Deni K Usman, pemangku adat Gorontalo, pada awalnya, malam pasang > lampu di Gorontalo belum dikenal minyak tanah. Mereka mencari getah kayu yang > harum, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan yang biasa > disebut "tohe tutu" ini mampu bertahan beberapa jam. > > > > "Selain tohe tutu, ada juga penerang jenis lain. Yakni, dengan bahan baku > dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi pini > (kapas). Dan yang menjadi bahan bakarnya adalah minyak kelapa," tandas Usman > yang juga Lurah di Limba ini. > > > > Sedangkan masyarakat pesisir pantai menggunakan bahan dari laut untuk membuat > penerangan ini. Yakni sejenis kima atau bia (moluska). Kima ini menggunakan > bahan bakar minyak kelapa bercampur air. > > > > Sementara itu, Yusuf Bumulo (94 tahun) yang diminta komentarnya tentang > tumbilo tohe mengatakan tradisi ini memang merupakan kebudayaan kerajaan di > Gorontalo. "27 Ramadan merupakan hari yang paling ramai di Gorontalo," > katanya. > > > > Lampu-lampu yang dipasang di depan rumah itu mempunyai makna tersendiri. > Tidak hanya sekadar memasang lampu, namun dari jumlah lampu yang dipasang itu > melambangkan 27 susunan dengan formasi 11-9-7. 11 lampu melambangkan rukun > Islam dan Iman, 9 lampu Khulafaul Rasyidin. Lampu-lampu ini menggunakan > variasi warna: merah, hijau, kuning, ungu dan putih. Warna-warni ini dibuat > dari berbagai jenis daun yang tumbuh di daerah itu. Kemudian, 7 lampu > melambangkan kehidupan, yakni hari Ahad sampai Sabtu. Ada juga lampu yang > dipasang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. > > > > Amay dan Putri Palasa > > > > Agama Islam resmi menjadi agama kerajaan di Gorontalo, saat Sultan Amay > menjadi raja. Waktu itu, sekitar tahun 1523, Raja Amay melamar Putri Owutango > di Palasa (Teluk Tomini). Kerajaan Palasa sudah memeluk Islam. Karenanya, > ketika Raja Amay datang melamar putri, syarat yang diberikan Owutango, Raja > Amay harus masuk Islam terlebih dahulu. Demikian halnya dengan seluruh warga > Gorontalo. Syarat tersebut diterima Raja Amay. Dia masuk Islam, bersama > seluruh warganya. > > > > Selain lampu, masyarakat juga membuat "alikusu" atau gapura adat. Alikusu > mempunyai dua bentuk â" satu atau dua tingkatâ"yang menandakan strata > sosial seseorang. Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan baku bambu ini, > dihiasi lambi (pisang), patodu (tebu) dan polohungo (bunga). Gapura dua > tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja dan > pembantunya. Sedangkan yang satu susun untuk rakyat. > > > > Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa tumbilo tohe ini hanya > merupakan penerangan bagi mereka yang akan ke masjid atau akan membayar zakat > fitrah. Dan merupakan peringatan bahwa puasa tinggal tiga hari lagi. Karena, > rumah-rumah penduduk di Gorontalo berkelompok-kelompok atau linula. > Masing-masing kelompok relatif berjauhan. Karenanya sangat diperlukan lampu > penerang jalan. > > > > Hura-hura > > > > Tradisi masyarakat Gorontalo memasang lampu sudah menyebar sampai Bolaang > Mongondow, Manado, palu atau daerah lain yang ada warga Gorontalo. Bahkan di > Manado, pada tanggal 27 Ramadhan, di beberapa kelurahan juga mengadakan malam > pasang lampu. Antara lain, di Komo Dalam, Wawonasa dan kampung Islam. > Sementara di sepanjang jalan Trans Sulawesi, lampu-lampu seperti di > Gorontalo. Misalnya, di Amurang, Inobonto sampai di Kecamatan Bolaang Itang. > > > > Di Gorontalo â" yang dikenal dengan kerajinan kerawang â" aktivitas malam > tumbilo tohe, makin marak. Tiap tahun bermcam-macam lampu warna-warni terus > bermunculan dengan berbagai variasi. Bahkan, jumlah lampu yang dibuat sampai > ratusan per rumah, antara lain yang berlokasi di jalan Andalas dan Tanggidaa. > > > > Selain lampu-lampu yang ada di rumah-rumah penduduk ini, di sepanjang jalan, > tampak lampu yang berjejer rapi yang diikat pada bambu. Atau yang ada di > "alikusu". Jika dibandingkan dengan tahun lalu, sekarang ini variasi malam > pasang lampu bertambah lagi dengan pembuatan jembatan penyeberangan yang > dihiasi dengan warna-warni lampu listrik. > > > > "Sangat sulit menemukan bahan penerangan seperti yang dilakukan orang-orang > tua dulu," tandas Usman. Kecuali, katanya, di desa-desa yang belum dialiri > listrik, kalau di Kotamadya Gorontalo model semacam itu jarang sekali > ditemukan. > > > > Dan pada bulan Ramadhan tahun ini, sejak Sabtu malam (20/3) sampai malam > takbiran, berbagai variasi lampu dapat ditemui. Dari sekian banyak kelurahan > yang ada di Kotamadya Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo, tampak keunggulan > atau memberikan ciri khas tersendiri. Di Kelurahan Heledulaa, misalnya, ada > sepeda yang sengaja digantung di depan halaman rumah. Sepeda itu lantas > dihiasi dengan warna-warni lampu. Tak lupa juga ada patung di sepeda tersebut. > > > > Sementara di kelurahan lainnya, yang paling menonjol adalah gapura adat dan > jembatan penyeberangan. Untuk jembatan penyeberangan memang baru kali ini > dibuat. Di sana mereka yang tinggal di sekitar tempat itu, atau darang dari > kampung lain bisa menikmati berbagai lampu di sepanjang jalan. Juga ada musik > dangdut atau irama lainnya. > > > > "Inilah yang sangat disayangkan sekarang ini. Tradisi tumbilo tohe yang > secara turun-temurun dilakukan mulai condong ke makna hura-hura," tandas > Soeleman Kakoe, tokoh masyarakat di daerah itu. Memang, diakuinya tradisi ini > sangat menarik, terutama bagi pendatang. Atau untuk melihat aktivitas > generasi muda antarkampung. > > > > Pasalnya, generasi sekarang mendekati malam tumbilo tohe lebih terfokus > fisiknya, bukan mencari makna spritualnya. Sampai-sampai ada yang tidak lagi > berpuasa hanya karena ingin membuat model lampu yang unik dan lain dari yang > lain, dengan berbagai corak dan variasinya. Apalagi, pasang lampu ini > dipertandingkan antarkampung. Sementara untuk menarik supaya pendatang > melihat sebuah tempat, ada juga yang sampai joget, antara lain di atas > jembatan penyeberangan. > > > > Padahal, pada waktu dulu, saat pertama memasang lampu saja, ada yang harus > dibaca. Yakni, surat At Qadr: Inna anzalnaahu fii lailatul qadr. Wa maa > adraaka maa lailatul qadr. Lailatul qadri khairum min alfisyahr. Tanazzalul > malaaikatu war ruuhu fiiha bi idzni rabbihim min kulli amr. Salaamun hiya > hattaa mathla'il fajr. verrianto madjowa >