Kajian Antropologi : Orang Mandailing Adalah Etnis Batak

Ditulis pada 14 Mei, 2008 oleh tobadreams 

MANDAILING = BATAK
Analisis Mandailing Adalah Bagian Batak (Suku-Bangsa) Secara Luas Dalam
Wacana Antropologi

 <http://avena-matondang.blogspot.com/> Oleh : IBNU AVENA MATONDANG 

WILAYAH dalam pandangan antropologi dilihat sebagai suatu kesatuan daerah
yang didiami oleh sebentuk komunitas atau suku, sehingga dalam suatu wilayah
bisa terdapat hanya satu komunitas atau suku maupun satu wilayah yang
didiami oleh beberapa komunitas atau suku.

Konsep wilayah dalam pandangan antropologi pertama kali dikemukakan oleh
antropolog Amerika , M.J. Herskovits[2]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn2>
Kemudian konsep wilayah kebudayaan dikenal dengan istilah culture area,
Antropolog G.P. Murdock menyusun suatu sistem terhadap daerah-daerah
kebudayaan di Afrika serta mengklasifikasikan daerah-daerah kebudayaan
tersebut melalui unsur perbedaan bahasa dan perbedaan sistem kekerabatan.

Melalui konsep culture area yang hendak didapatkan adalah untuk menarik satu
garis merah yang menjadi persamaan bagi penduduk suku-suku bangsa yang
mendiami wilayah tersebut. 

Tulisan ini ditujukan untuk turut memberikan jawaban atas satu pertanyaan
yang "menggelitik", yaitu : Mandailing Tidak Sama Dengan Batak, Ditujukan
kepada sebagian orang yang beranggapan bahwa Mandailing tidak sama dengan
Batak, 

Sebelumnya definisi tentang suku Batak[3]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn3>
adalah terdiri dari enam sub-group, yaitu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak,
Mandailing dan Angkola. Keenam sub-group tersebut terdistribusi di
sekeliling Danau Toba, kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif
jauh dari daerah Danau Toba; dekat ke perbatasan Sumatera Barat,

Di dalam kehidupan sehari-hari banyak orang mengasosiasikan kata "Batak"
dengan 'orang Batak Toba'. Sebaliknya grup yang lain lebih memilih
menggunakan nama sub-grupnya seperti Karo, Pakpak, Simalungun, Mandailing
dan Angkola.

Alasan perbedaan agama

ANGGGAPAN bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan keadaan dilapangan bahwa
pada umumnya etnis Mandailing memiliki agama yang berbeda dengan etnis
Batak, Dalam hal ini agama Islam dan Kristen-baik Protestan maupun Katolik.
Apabila anggapan tersebut yang menjadi dasar anggapan maka telah terjadi
pengkerdilan terhadap proses berfikir secara kritis . Karena sebagaimana
diketahui, agama muncul setelah kebudayaan muncul dari suatu masyarakat, dan
diadopsi dalam kehidupan masyarakat tersebut, 

Dalam kebudayaan Mandailing maupun Batak secara keseluruhan, kedua agama
tersebut muncul dan dianut setelah mengalami proses yang lama, Konsep agama
pada dahulunya didasarkan pada dinamisme dan animisme.

Perkembangan masyarakat Sipirok di Tapanuli Selatan diperkirakan baru muncul
lebih kurang sembilan abad setelah pengaruh Islam mulai berkembang di Barus
atau pantai barat Tapanuli Tengah[4]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn4> .
Secara geografis Tapanuli Selatan merupakan basis daerah Mandailing dan hal
ini dipertegas dengan pernyataan bahwa sejak sekitar abad ke-16 pengaruh
agama Islam belum masuk kedaerah Tapanuli Selatan[5]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn5>  

Hal ini kemudian didukung dengan tulisan oleh Parlindungan[6]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn6>  yang
menyatakan bahwa penyerbuan laskar Paderi dari Sumatera Barat ke Sipirok
terjadi sekitar tahun 1816. Sebelum laskar Paderi memasuki kawasan Sipirok,
mereka lebih dulu menaklukkan seluruh daerah Mandailing, Angkola dan Padang
Lawas. 

Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan : daerah Mandailing Tapanuli Selatan
telah ada sebelum pengaruh Islam, karena sampai sekarang tidak ditemukan
bukti-bukti peninggalan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan Islam
yang meluas baik di Tapanuli Tengah maupun di Tapanuli Selatan sejak abad
ke-7[7]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn7> ,
Sedangkan agama Kristen masuk kedaerah Sumatera Utara dimulai dengan
masuknya para misionaris yang ikut dengan rombongan penjajah Belanda. Salah
satunya adalah Nomensen.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->

Dari apa yang telah dipaparkan, pupus sudah anggapan yang menyatakan bahwa
Mandailing bukan Batak karena faktor agama.

Alasan perbedaan bahasa

HAL lain yang menganggap bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan karena
Mandaling memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa Batak, Anggapan ini runtuh
dengan jawaban bahwa bahasa atau linguistik pada awalnya sama namun karena
dipengaruhi faktor lingkungan, kebiasaan dan hal lain maka terjadi
pergeseran dari bahasa semula. Namun pergeseran ini tidak menimbulkan
perbedaan yang berarti, 

Sebagai bahan acuan adalah adanya perbandingan antara beberapa kosa kata
bahasa Sipirok dan bahasa Sansekerta[8]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn8> ,
Dalam perbandingan tersebut kata "huta" yang dalam bahasa Sansekerta "kota"
yang memiliki arti sebagai kampong dan kosa kata ini juga digunakan dalam
masyarakat Batak, Kosa kata lainnya adalah "debata" yang dalam bahasa
Sansekerta "devta" memiliki arti dewata, dalam masyarakat Batak dalam hal
ini Toba menyatakan Tuhan atau yang memiliki Kuasa dengan kata "debata",
Tuhan atau "debata" digunakan dalam "Somba Debata" yang berarti sembah/sujud
kepada Tuhan atau pencipta alam. 

Faktor bahasa yang menjadi pembeda antara Mandailing dan Batak juga bukanlah
faktor yang memiliki perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Perbedaan-perbedaan yang menjadi landasan anggapan bahwa Mandailing dan
Batak hilang dengan sendirinya apabila dikaji secara mendalam, Usaha-usaha
pembedaan yang mengarah pada pemisahan antara Mandailing dan Batak merupakan
taktik strategi bangsa penjajah (Belanda) untuk memecah persatuan dan
keutuhan Nusantara. 

Sampai saat ini masih ada orang, kelompok yang mempertahankan anggapan bahwa
Mandailing bukan bagian dari Batak secara luas.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Klasifikasi Van Vollenhoven dan Koentjaraningrat

DALAM suatu klasifikasi yang dilakukan Van Vollenhoven[9]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn9>
terhadap wilayah Indonesia yang mengklasifikasi berdasarkan dari aneka warna
suku-bangsa di Wilayah Indonesia biasanya masih berdasarkan sistem
lingkaran-lingkaran hukum adat, Dan pengklasifikasian ini, membagi wilayah
Indonesia kedalam 19 daerah, yaitu :

1. Aceh 11. Sulawesi Selatan
2. Gayo-Alas dan Batak 12. Ternate
2a. Nias dan Batu 13. Ambon Maluku
3. Minangkabau 13a. Kepulauan Baratdaya
3a. Mentawai 14. Irian
4. Sumatera Selatan 15. Timor
4a. Enggano 16. Bali dan Lombok
5. Melayu 17. Jawa Tengah dan Timur
6. Bangka dan Biliton 18. Surakarta dan Yogyakarta
7. Kalimantan 19. Jawa Barat
8a. Sangir-Talaud
9. Gorontalo
10. Toraja

klasifikasi yang dibuat oleh Van Vollenhoven ini kemudian diadopsi oleh
Koentjaraningrat walaupun karya Van Vollenhoven ini masih terdapat
keragu-raguan pada daerah Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur dan
Sumatera, Koentjaraningrat menyatakan, lokasi sesuatu suku-bangsa di
Indonesia biasanya ada selisih antara berbagai pengarang bahkan untuk
menyatakan batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh ada enam orang pengarang
yang memiliki perbedaan antara satu sama lain[10]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftn10> .
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Koentjaraningrat yang merupakan bapak antropologi Indonesia dalam bukunya
"Pengantar Antropologi 1, 1980) tidak menyinggung sama sekali tentang
perbedaan antara Mandailing dan Batak. Kalaupun ada hanyalah perbedaan
batas-batas wilayah suku-bangsa Aceh.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Batak itu satu, kenapa ingin pisah ?

Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak merupakan tindakan "kekonyolan
pemikiran" yang kemungkinan menyebabkan destruct knowledge, 

Menurut hemat penulis keinginan "anggota etnis Mandailing" untuk tidak
menyamakan Mandailing dengan Batak- karena Mandailing bukan bagian Batak,
merupakan strategi yang didasari rasa superior, primordialisme, dan emosi
keagamaan berlebih. 

Sejatinya seorang antropolog dilarang memasukkan unsur-unsur superior,
primordialisme dan emosi keagamaan berlebih dalam menyikapi satu masalah,
Mudah-mudahan tulisan ini dapat membuka cakrawala pemikiran terhadap
pandangan yang ada.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Mandailing masuk kedalam bagian Batak secara luas. Karena Batak secara luas
merupakan representasi suku-suku Batak, yang memiliki akar budaya dan
wilayah yang sama. 

Kerugian tidak timbul dari hanya sekedar peletakan Mandailing bagian dari
Batak, Pemikiran umum telah terdoktrin stereotipe Batak "kasar", "kurang
beradab". Namun, hal ini muncul dari pandangan orang-orang yang berada
diluar lingkaran kebudayaan Batak secara luas.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]--><!--[endif]-->

Kata akhir tulisan ini untuk membuka diri terhadap proses perkembangan namun
dengan memperhitungkan aspek perkembangan tersebut, marilah kita bersatu
dalam Batak secara luas dan tidak mengkotak-kotakkan diri dalam pemikiran
yang sempit.

Daftar Bacaan :

Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta. Aksara Baru
Koentjaraningrat (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta. UI-Press
Lubis Pangaduan. Z dan Zulkifli Lubis (1998). Sipirok Na Soli Bianglala
Kebudayaan Masyarakat Sipirok. Medan. Badan Pengkajian Pembangunan Sipirok
dan USU Press
Purba Mauly (2005). Pluralitas Musik Etnik : Batak-Toba, Mandailing, Melayu,
Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan. Pusat Dokumentasi Dan
Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen

NB : Tulisan ini diutamakan untuk membuka cakrawala terhadap etnis Batak
sebagai suatu kesatuan Holistik.

 <http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref1>
[1] Penulis adalah mahasiswa departemen Antropologi stambuk 2003 dan bagian
dari etnis Mandailing secara luas

[2]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref2>
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 299

[3]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref3>
Mauly Purba, Pluralitas Musik Etnik ; Batak-Toba, Mandailing, Melayu,
Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, 2005 : 50-51

[4]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref4>
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan
Masyarakat Sipirok, 1998 : 30

[5]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref5>
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan
Masyarakat Sipirok, 1998 : 31

[6]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref6>
Dalam Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala
Kebudayaan Masyarakat Sipirok, 1998 : 31

[7]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref7>
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan
Masyarakat Sipirok, 1998 : 31

[8]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref8>
Z. Pangaduan Lubis dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan
Masyarakat Sipirok, 1998 : 28

[9]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref9>
Dalam Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, 1980 : 315

[10]
<http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=480728992770367499#_ftnref10>
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, 1980 : 316- 318

 

Kirim email ke