> 
> glibc boleh sama versinya, tapi kalo gcc-nya beda & compile-flagnya beda
> sama saja bo[kh]ong, ;-)
> 

jadi dependensi yang sedemikian itu memang perlu kita terima apa adanya ya pak 
:-)

>> 
>> Point saya, pertama hardware semakin murah. Prosesor juga semakin kenceng, 
>> semakin murah. Memory juga sama. Bahkan konon katanya Java yang dikenal 
>> sangat haus (baca: boros *grin*) sumber daya itu, tetap dipelihara bahkan 
>> dikembangkan terus, agar perusahaan prosesor bisa tetap hidup. Artinya orang 
>> dipaksa untuk upgrade hardware terus..
> [citation needed]
> 

Makanya saya tulis konon, karena hanya saya baca di sebuah milis.. :-) 

> yang saya tahu, supaya performance Java dapat optimal, maka H/W harus
> dioptimize untuk running Java apps.
> 
> dari mana anda dapat menyimpulkan h/w semakin murah? pengalaman sy
> harga h/w dari jaman dulu (1990-an) sampe sekarang nggak berubah banyak
> (sekitar 6-8jt-an). memang benar kita dapat memiliki sistem dengan
> harga mulai dari 2jt-an, tapi apakah sesuai dengan kebutuhan kita?
> 

Kalau yang ini, kita sama-sama tahu kayaknya. Coba bandingkan harga memory, 
prosesor atau hard disk hari ini dan 4 tahun yang lalu.

> 
> sejak sy menggunakan sistem Linux tahun 1994 smp sekarang belum pernah
> menerima kiriman .deb ataw .rpm tapi proaktif mengunduhnya dari sumber
> kalo memang diperlukan. dan ada alien dan rpm2cpio yang dapat saya
> andalkan.
> 

Mungkin karena Anda akademisi di bidang informatika pak, dengan koneksi 
Internet yang baik.. hal-hal seperti dependensi tidak akan menjadi masalah 
untuk bapak. 

> apakah yang anda maksud "koneksi ke repositori" adalah internet?
> repositori tidak cuma internet, bisa server lokal, bisa dvd/cd-set.
> saya beli Mandriva Powerpack 2006 dapat 2dvd+10cd+dokumentasi digunakan
> di Merauke yang koneksi internetnya un-reliable tidak ada masalah.
> 

Justru karena kondisi dependensi yang seperti ini, membuat kita harus membawa 
DVD kemana-mana. Dan jika ada teman yang mau instal aplikasi, harus memastikan 
distronya sama dengan DVD yang kita bawa. Kalau beda, tidak bisa diinstal.
 
>> 
>> Kesimpulannya, aplikasi2 user space perlu dikompilasi statik agar 
>> independen, multi distro. Memudahkan pengguna.
> 
> kesimpulan yang menyesatkan ;-(
> 

Sesat di mananya ya? Kesimpulan tersebut tidak mengharuskan, tapi '_perlu_'. 
Atau saya ralat: aplikasi desktop _harus_ dikompilasi statik, sehingga menjadi 
aplikasi portabel yang bisa diinstal tanpa dependensi aplikasi lain (kalau ini 
mengharuskan, biar fasis sekalian :-)) Gimana pak, apakah saya masih 
menyesatkan? :-)

> sistem kita "already has library required," baik yang disediakan oleh
> glibc, libgcc, maupun desktop-environment+X11. "Most of the time, your
> application only need those library" jadi ngapain lagi maksain pake
> library statik/privat.
> 

Karena bapak lihat sendiri di visualisasi grafik awal thread ini, bahwa 
aplikasi di Linux tidak hanya butuh glibc, libgcc maupun library X11 saja. Tapi 
juga library antar aplikasi yang sering overkill. Kalau ada pengalaman maintain 
beberapa paket (atau mungkin satu distro), akan paham betapa ribetnya. Apalagi 
jika satu tar-ball menjadi banyak rpm atau deb.

> pengguna hanya perlu mengandalkan pada distro-nya, ngapain juga pusing
> mikirin distro lain, developer melepas kodenya dalam bentuk tarbal,
> tugas distro-lah yang mengemasnya apakah .rpm atau .deb atau yang lain.
> 
> itulah keindahan free-software.

Iya pak.. sayangnya keindahan itu satu paket dengan kelemahan. Sesama pemakai 
blankOn yang beda versi aja sulit untuk tuker-tukeran aplikasi.

--
Ahmad Sofyan
--
Berhenti langganan: linux-aktivis-unsubscr...@linux.or.id
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis

Kirim email ke