Tolong dibaca aturan di footer dibawah
--------------------------------------

  



 
Republika, Opini
Sabtu, 02 Desember 2006

Mengenang Mundurnya Bung Hatta 


Israr Iskandar
Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang

Setengah abad lalu, Mohammad Hatta (Bung Hatta) mundur
dari kursi wakil presiden (wapres). Itulah momen
krusial dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia.
Momen 1 Desember 1956 bukan saja peristiwa mundurnya
seorang wapres dari kursi empuk kekuasaan, tetapi di
atas itu menandai sebuah perubahan penting dalam
perjalanan sejarah Republik Indonesia. 

Mundurnya Hatta dari kursi wapres merefleksikan
kekecewaannya dengan perkembangan yang mengarah pada
kemunduran pelaksanaan demokrasi dan cita-cita
kemerdekaan. Sekalipun menjabat wapres, tetapi Hatta
tak bisa melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan
tersebut, sementara ia sangat taat pada konstitusi
yang memosisikan jabatan wapres sebagai 'simbol'
belaka.

Fokus keprihatinan Hatta pada periode 1950-an
berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi parlementer
yang 'kebablasan', ancaman disintegrasi nasional, dan
bayangan otoriterianisme di depan mata. Sejarah
mencatat, pascapemilu demokratis 1955 Indonesia justru
berada dalam keadaan krisis politik yang dilematis.
Eksperimen demokrasi parlementer menghadapi ujian
terberatnya ketika terjadi pertengkaran antarelite dan
partai yang akhirnya bermuara pada kebuntuan di
Konstituante.

Sementara itu di daerah-daerah, tuntutan
desentralisasi serta keadilan ekonomi, sosial, dan
politik, mengeras. Tuntutan lokal tersebut bahkan
bermuara pada pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatera
dan Sulawesi dengan melibatkan sejumlah partai utama
dan tokoh politik. Pada bagian lain, Presiden Soekarno
yang sejak awal 1950-an kurang leluasa memainkan
peranan politiknya (karena penerapan demokrasi
parlementer) justru makin menunjukkan kecenderungan
otoriternya. Dia terus mengintroduksi sistem demokrasi
terpimpin dan mengusulkan 'penguburan' partai-partai.

Sejak semula Hatta mengritik Soekarno yang cenderung
menjalankan perannya ke arah sistem diktator. Ia tentu
tak hanya menyalahkan Soekarno, tetapi juga
partai-partai. Khusus terhadap kecenderungan egoisme
partai-partai, Hatta mengingatkan, "Demokrasi hanya
berjalan kalau disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada
demokrasi tanpa tanggungjawab. Dan demokrasi yang
melewati batasnya dan meluap menjadi anarkhi akan
menemui ajalnya dan digantikan sementara waktu oleh
diktator."

Dwitunggal ke dwitanggal
Apa yang dikhawatirkan Hatta itu menemukan realitasnya
ketika Presiden Soekarno yang didukung PKI dan militer
pelan-pelan merealisasikan konsepsi demokrasi
terpimpin memasuki paruh kedua 1950-an. Mundurnya
Hatta akhir 1956 malah makin memuluskan langkah
Soekarno menerapkan sistem yang antidemokrasi
tersebut. Didukung kekuatan retorikanya yang hebat,
Soekarno selalu mengobarkan slogan bahwa revolusi
belum selesai dan harus terus diperjuangkan. Dalam
berbagai kesempatan ia pun menyerang balik Hatta
sebagai sosok yang 'mengawang-awang'.

Namun Hatta berulang kali pula mengingatkan sahabat
seperjuanganya sejak masa muda itu. Terhadap ungkapan
revolusi belum selesai Hatta menyatakan, "Salah benar
orang yang mengatakan bahwa revolusi kita belum
selesai. Revolusi adalah letusan masyarakat
sekonyong-konyong yang melaksanakan Umwerung aller
Werte. Revolusi mengguncang lantai dan sendi; pasak
dan tiang longgar semuanya. Sebab itu saat revolusi
tidak dapat berlaku terlalu lama, tidak lebih dari
beberapa minggu atau beberapa bulan. Sesudah itu harus
dibendung, datang masa konsolidasi untuk merealisasi
hasil daripada revolusi itu. Yang belum selesai
bukanlah revolusi itu, melainkan usaha
menyelenggarakan cita-citanya di dalam waktu, setelah
fundamen dibentangkan."

Akibat kritik-kritiknya, hubungan politik Dwitunggal
pun retak. Dwitunggal akhirnya menjadi dwitanggal.
Sebenarnya tanda-tanda keretakan itu sudah terlihat
sejak awal paruh kedua 1950-an. Dalam pelbagai
kesempatan mereka saling kritik. Mundurnya Hatta dari
kursi wapres pada 1 Desember 1956 merupakan rangkaian
dari perbedaannya yang makin tajam dengan Soekarno.
Sejak mundur dari pemerintahan itulah Hatta mengambil
peran sebagai oposisi yang rajin melakukan kritik
kontruktif terhadap pemerintah, partai-partai, dan
perkembangan bangsa secara keseluruhan.

Sejarah mencatat, kritik dan prediksi Hatta terbukti
benar bahwa sistem otoriter akan menemui ajalnya
karena tidak memiliki legitimasi dari rakyat. Rezim
demokrasi terpimpin runtuh bersamaan dengan
berakhirnya kekuasaan Soekarno. Sayangnya, Orde Baru
yang diharapkan memperbaiki kondisi demokrasi malah
melanjutkan pola rezim demokrasi terpimpin. Sejarah
kemudian mencatat, Orde Baru pun runtuh karena
kehilangan basis legitimasinya dari rakyat.

Menariknya, sekalipun perbedaan karakter pemikiran
politik Soekarno dan Hatta begitu tajam, namun
persahabatan kedua pemimpin tetap lestari. Dalam
hubungan pribadi, mereka adalah dwitunggal dalam
pengertian sebenarnya. Hatta sangat sedih dengan upaya
desoekarnoisasi yang terjadi sejak Orde Baru. Hatta
pernah marah ketika di kemudian hari ada usaha
membelokkan sejarah kelahiran Pancasila sehingga
seolah-olah bukan Bung Karno yang mencetuskan
Pancasila pada 1 Juni 1945.

Teladan Hatta
Banyak pelajaran penting dari kasus mundurnya Hatta.
Tokoh ini tidak hanya seorang pemimpin yang cerdas dan
cakap, tetapi juga seorang demokrat-religius. Bagi
Hatta, jabatan dan kekuasaan bukanlah segala-galanya.
Pengabdian kepada bangsa dan rakyat merupakan yang
utama, dan itu bisa dilakukan di mana saja, termasuk
di luar pemerintahan.

Di atas itu, Hatta adalah tipe pemimpin yang satu kata
dengan perbuatan. Cucu Syekh Batuampar ini dikenal
sebagai sosok jujur, bersih, hemat, dan sekaligus
santun. Kejujuran Hatta sangat legendaris. Sejalan
dengan itu, ia dikenal sebagai pemimpin hemat dan
efisien dalam kehidupan pribadi maupun saat
menjalankan pemerintahan.

Hatta juga politisi santun dalam mengutarakan
pendapatnya. Setelah tidak menjabat sebagai wapres, ia
tampil sebagai oposisi yang rajin menyampaikan kritik
konstruktif terhadap pemerintahan Soekarno. Ia tak mau
mengerahkan massa, memprovokasi, memberontak, dan
sebagainya, karena Hatta bukanlah tipe agigator dan
haus kekuasaan. Hatta dikenal sebagai pemimpin yang
rajin mengampanyekan pentingnya mendidik rakyat secara
rasional.

Bagaimanakah dewasa ini? Dalam banyak hal, situasi
pasca-Orde Baru tak jauh berbeda dengan tahun 1950-an.
Reformasi berjalan tertatih-tatih. Demokrasi minus
demokrat. Egoisme partai, kelompok dan kedaerahan
menonjol. Kekuasaan digapai dan dipertahankan dengan
segala cara, termasuk politik uang dan kekerasan.
Kekuasaan bukan manifestasi amanah dan pengabdian bagi
kepentingan rakyat, melainkan pribadi dan kelompok.

Sikap ambivalen juga selalu menyertai elite masa kini.
Di mana-mana elite bicara atas nama kepentingan negara
dan publik, tetapi perilakunya sering tidak sesuai
dengan aspirasi umum. Ketika rakyat diminta
pengertiannya atas kebijakan pengurangan subsidi BBM,
misalnya, elite penyelenggara negara justru berusaha
menyiasati diri agar tidak terkena krisis. Kuatnya
tuntutan anggota DPR untuk menaikkan gaji dan
fasilitas menunjukkan bahwa mereka tak mau terkena
krisis. Krisis biarlah menjadi milik rakyat banyak.
Tipikal elite seperti itu tidak hanya terdapat di
pusat, tetapi juga di daerah.

Ikhtisar
- Pengunduran diri Bung Hatta dari kursi wapres
merupakan refleksi kekecewaan atas perkembangan yang
menunukkan terjadinya kemunduran demokrasi.
- Setelah mundur Bung Hatta menjadi oposisi yang
sering memberi kritik konstruktif pada Soekarno.
- Perubahan posisi itu tak membuat hubungan personal
Bung Hatta dengan Soekarno terganggu.
- Perjalanan Bung Hatta memberi banyak teladan bagi
para elite politik yang kini berkuasa.

( )  
 



 
____________________________________________________________________________________
Any questions? Get answers on any topic at www.Answers.yahoo.com.  Try it now.

--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
================================================

Kirim email ke