Assalammualaikum WR WB bpk Suheimi, bung Jepe, bung IJP dan dunsanak sapalanta 
yth.  Hari rabu kemaren hanifah ikut acara ceramah ttg penulisam kreatif. 
Disana hanifah bertemu editor sekaligus penulis. Hanifah minta beliau 
mengomentari tulisan2 hanifah yg tersimpan di blog. Beruntung rasanya dapat 
komentar dari editor. Untuk itu karena RN adalah sekolah maya bagi hanifah, 
maka komentarnya hanifah bagijan lg untuk RN. Hanifah mengharapkan saran dari 
pembaca RN semua. Terimakasih. Wass. Hanifah


----- Original Message -----
Subject: Sedikit komentar pada puisi ibu
Date: Fri, 4 Dec 2009 21:44:49
From: Anwar Holid <war...@yahoo.com>
To:  <iffa...@yahoo.com>

Salam takzim,

Ibu Iffah, saya baru bisa baca-baca puisi ibu hari ini. Sepulang dari Bengkulu 
kemarin saya memang sibuk, termasuk sibuk menemani keluarga yang merasa sudah 
ditinggalkan waktu ke Bengkulu, sementara saya sendiri kesulitan menyelesaikan 
pekerjaan yang harus beres. Ada beberapa kerjaan saya yang terbengkalai, dan 
itu harus diprioritaskan.

Harus saya bilang bahwa saya bukan kritikus, melainkan pembaca yang bersemangat 
terhadap puisi. Saya baru beberapa kali meresensi buku puisi dan membicarakan 
puisi, sementara saya lebih sering menyandarkan pada kenikmatan baca daripada 
menganalisisnya secara sangat serius.

Saya cukup menikmati puisi-puisi ibu yang bertema sederhana, tapi saya sulit 
menikmati puisi ibu yang terkait dengan peristiwa sosial-politik aktual, 
misalnya ketika ibu merespons kejadian Bibit-Chandra, skandal Antasari, dll. 
Menurut saya karya ibu kuat ketika melibatkan kedalaman batin, seperti pada MAU 
MENGHINDAR KEMANA?, UNDANGAN DARI SOLO, MENABUNG UNTUK QURBAN, MAKAN SOP 
BERSAMA, MABUK DUREN, NASI RAMAS. Dengan pernyataan sederhana dan mudah 
dipahami, ungkapan ibu rasanya mengungkapkan keintiman terhadap sesama manusia, 
menyiratkan kasih sayang pada sesama manusia. 

Tapi saya kurang bisa menikmati puisi ibu yang mengenai politik atau hal yang 
sangat personal, misalnya TERIMA KASIH BAPAK REKTOR, Prof.Dr.Ir.Nanik 
Setyowati,M.Sc, HIDUP TPF 8, MARI KITA DUKUNG GF. Saya sulit "nyambung" dengan 
puisi seperti itu, mungkin karena saya juga enggak tertarik pada persoalan 
politik, atau dalam kasus tema yang personal, saya enggak punya kedekatan 
dengan isu atau orang tersebut. Terhadap tema seperti itu, saya hanya bisa 
bertanya sendiri, "Apa menariknya tema itu diangkat jadi puisi?" Mungkin kalau 
ibu bisa mengaitkannya dengan pengalaman batin yang lebih universal, puisi itu 
jadi lebih menarik.

Sekadar berkomentar, menurut saya komentar Prof. Suheini terhadap karya ibu 
lebih bersifat sebagai dukungan. Tapi kurang mengkritik misalnya dalam hal apa 
ibu sebaiknya menulis puisi. Kalau Prof. Suheini bisa mengomentari soal 
kekaryaan ibu, dari segi artistik dan kedalaman puisinya---bukan dari 
efeknya---mungkin akan menjadi masukan kritik yang bagus. 

Karena saya editor, sebagai masukan, mula-mula saya sangat menyarankan agar ibu 
lebih tertib dan rapi dalam menulis puisi, perhatikan penggunaan tanda baca, 
huruf kapital, usahakan jangan sampai ada salah ketik atau penulisannya harus 
benar-benar akurat. (Standar tentang penulisan ini ada dalam buku EYD atau 
kamus-kamus yang bagus). Bagi saya, salah eja itu menurunkan kredibilitas 
penulis. Disiplinlah menulis sesuai kaidah bahasa yang umum. 

Contoh:
di tulis --> mestinya ditulis (karena bersatu dengan kata kerja)
kedepan --> mestinya ke depan (karena menyatakan tempat)
kerumah --> mestinya ke rumah
" Kami ... --> mestinya "Kami ... (tanda baca nempel pada huruf)

Konsistensi juga penting, misalnya apa kita akan tetap menggunakan "rame-rame" 
atau "ramai-ramai"?

Ini komentar saya tentang puisi, semoga bermanfaat:
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apa yang membuat puisi jadi berarti? Apa yang paling berharga dari puisi? 

Menurut saya ialah pesan dan kekuatan bahasa/kata. Sejauh pengalaman membaca 
puisi, saya biasanya kesulitan  menikmati puisi bila ungkapan atau pesannya 
kabur, apalagi bila dibungkus dengan bahasa yang sulit. Saya lebih bisa  
menikmati puisi yang ungkapannya jelas maupun permainan (eksplorasi) bahasanya 
kuat. Karena itu saya lebih bisa menikmati puisi "terang" misalnya karya Joko 
Pinurbo, Soni Farid Maulana, daripada puisi "gelap" karya Afrizal Malna. 

Puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam Jantung Lebah Ratu (GPU, 2008) yang pada 
dasarnya bukan puisi gelap juga amat  sulit saya nikmati, karena menurut saya 
dia sengaja menyembunyikan makna sedemikian rupa menggunakan  ungkapan atau 
perlambang yang sulit. Jadi begitu tetap kesulitan meraba-raba apa maksud 
sebuah puisi, apalagi  setelah berusaha membicarakannya baik-baik, biasanya 
saya nyerah untuk terus berusaha menikmatinya. Buat saya,  keterbacaan puisi 
itu penting.

Saya masih bisa menerima ambiguitas dalam puisi, asal puisi itu menawarkan 
keunikan, mengedepankan naluri,  menarik-narik pembaca ke batas samar antara 
makna tersirat dan harfiah---jadi mengarah pada permainan tafsir dan  berbagai 
kemungkinan.

Bisa jadi keengganan saya pada puisi yang sulit dipicu oleh kemalasan 
menebak-nebak pesan penyair, yang bisa jadi  terlalu absurd atau subtil. Hasan 
Aspahani---seorang penyair & kritikus---menyatakan bahwa perburuan terhadap 
maksud puisi yang tampak sia-sia akan melelahkan pembaca. Apalagi di zaman 
kini, ketika puisi bisa dinikmati setiap  hari atau mudah dicari di mana-mana, 
terutama di ruang maya. Melimpah-ruahnya puisi di satu sisi membuat pembaca  
seperti saya kesulitan untuk benar-benar menikmati puisi dengan tenang, tidak 
seperti zaman dulu ketika tampaknya  puisi masih seperti barang langka yang 
baru bisa dinikmati berkat seleksi yang ketat dari para penerbit.

Tapi di sisi lain ini juga memudahkan kita mendapatkan puisi dari manapun, yang 
seperti apa pun, oleh siapa pun.  Sebab sekarang tampaknya setiap orang merdeka 
menciptakan puisi dan bisa menerbitkannya bila mampu. Dalam situasi seperti 
ini, mungkin penting memperhatikan pendapat Joko Pinurbo terhadap karir sebagai 
penyair:  "Kepenyairan dan kepengarangan membutuhkan tidak hanya bakat tapi 
ketajaman nalar dan daya tahan mental.  Jangan bernafsu ingin cepat terkenal 
atau jadi 'tokoh'."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang pertanyaan ibu, "Sebenarnya tulisan saya layak enggak untuk dibukukan 
dan dijual? Kalau tidak layak apa yang harus saya lakukan agar bernilai jual?" 

Pertanyaan ini sangat sulit saya jawab, karena saya bukan penerbit; sebab 
profesi saya penyunting & penulis. Yang bisa saya katakan ialah: jangan terlalu 
terburu-buru ingin menerbitkan karya. Sebagian penyair hebat, seperti Emily 
Dickinson (Amerika Serikat), hanya menerbitkan 5-6 buah puisi di media massa, 
tapi dia konsisten menulis puisi di buku harian, dan itulah yang diterbitkan 
setelah dia meninggalkan, dan setelah itu puisinya dinilai puisi yang amat 
berpengaruh.

Mungkin meminta komentar dari penyair yang bukunya pernah diterbitkan lebih 
bisa memberi gambaran akurat. Mungkin minta bantuan mbak Melvi berguna, sebab 
dia berteman dengan Joko Pinurbo yang puisi-puisinya sudah diterbitkan dan 
cukup laku di pasar.

Kalau yang dikumpulkan merupakan karya-karya terbaik ibu, yang bisa dinikmati 
pembaca umum, bersifat universal, tentu layak dibukukan dan punya nilai jual. 
Dalam penerbitan, salah satu hal yang paling penting ialah menjawab pertanyaan: 
siapa yang mau beli buku ini, berapa banyak, apa manfaatnya baik bagi penerbit 
dan pembaca? Bila ini terjawab, biasanya buku bisa terbit.

Terima kasih atas perhatian ibu. Semoga bermanfaat. Maaf bila ada kata-kata 
saya yang kurang berkenan di hati ibu.

Wasalam,


Wartax


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones






      

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
.
Posting yg berasal dari Palanta RantauNet ini, jika dipublikasikan ditempat 
lain wajib mencantumkan sumbernya: ~dari Palanta r...@ntaunet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan disini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi pada setiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tidak dengan mereply email lama 
===========================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: rantaunet-unsubscr...@googlegroups.com 
Untuk melakukan konfigurasi keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke