[Ida-Krisna Show] Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Pasal PHK Dalam UU Ketenagakerjaan

2005-11-21 Terurut Topik DMP Advocates



  Pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan putusan perkara Nomor: 012/PUU-1/2003 tentang permohonan pengujian UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam
 salah satu putusannya MK menyatakanbahwa pasal 158 dan pasal 159 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan ini, MK juga membatalkan bunyi anak kalimat yang terkait di dalam pasal 160 (1), pasal 170 dan pasal 171 UU Ketenagakerjaan.Jika dilihat bunyi pasal 158 Undang-Undang
 Ketenagakerjaan, mengatur tentang pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti, mencuri, penggelapan barang, mabuk, perbuatan asusila, membocorkan rahasia perusahaan dan sebagainya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti tertangkap tangan, ada pengakuan dan bukti lain dari pihak yang berwenang di perusahaan dengan didukung 2 orang saksi. Sedangkan pasal 159 mengatur apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian hubungan industrial. Majelis Hakim MK mempertimbangkan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 158 ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipandang sebagai perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap ketentuan pasal 159, Majelis Hakim MK beranggapan bahwa ketentuan tersebut disamping melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, pasal 159 ini juga telah menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan perkara perdata secara tidak pada tempatnya. Mencermati putusan itu muncul beberapa pertanyaan, apa implikasi yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut? Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan MK. Apa landasan hukum yang bisa digunakan pengusaha jika ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur sebelumnya dalam pasal 158 (1) UU Ketenagakerjaan. Apakah putusan MK itu merugikan kepentingan pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya? Atau justru keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat.Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, kami Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Kantor Advokat Dewi Mulyaraharjani  Partners (DMP Advocates) akan mengadakan kegiatan Seminar Nasional “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan”. Seminar ini sebagai upaya untuk melihat dan mengkaji lebih jauh akan putusan MK dan implikasi yang ditimbulkan. Sekaligus merupakan upaya sosialisasi kepada pengusaha dan pekerja/buruh/karyawan atas putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat betapa pentingnya putusan MK ini untuk diketahui oleh masyarakat, khususnya bagi kalangan dunia usaha, pekerja/buruh dan praktisi hukum (advokat).Seminar Nasional tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja
 oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan ini akan diselenggarakan pada:Hari / Tanggal  : Rabu / 14 Desember 2005  Jam  : 08.30 – 16.00
 WIB  Tempat : Hotel Le Meridien, Jl. Jend. Sudirman Kav.18- 20 Jakarta PusatDalam
 Seminar ini akan menghadirkan 6 orang narasumber (pakar) yang kompeten dan akan membahas putusan MK dari berbagai perspektif :  1. Prof. Dr. Sri Soemantri, S.H., (Pakar Hukum Tata Negara)  Topic : Perkembangan Dunia Usaha dan Pembangunan Ketenagakerjaan dalam pandangan UUD 1945  2. Dr. Muzni Tambusai, Msc (Dirjen Perselisihan Hubungan Industrial)  Topic : Langkah-Langkah dan Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi Putusan MK tentang UU Ketenagakerjaan  3.Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH (Advokat/Pemerhati Hukum) *  Topic : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Putusan MK dari Tinjauan HAM  4.Prof. Dr. Uwiyono S.H. (Akademisi/Pengajar Hukum Perburuhan Pasca 

[Ida-Krisna Show] Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Pasal PHK Dalam UU Ketenagakerjaan

2005-11-21 Terurut Topik DMP Advocates



  Pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan putusan perkara Nomor: 012/PUU-1/2003 tentang permohonan pengujian UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam salah satu putusannya MK
 menyatakanbahwa pasal 158 dan pasal 159 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan ini, MK juga membatalkan bunyi anak kalimat yang terkait di dalam pasal 160 (1), pasal 170 dan pasal 171 UU Ketenagakerjaan.Jika dilihat bunyi pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengatur tentang pemutusan hubungan
 kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti, mencuri, penggelapan barang, mabuk, perbuatan asusila, membocorkan rahasia perusahaan dan sebagainya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti tertangkap tangan, ada pengakuan dan bukti lain dari pihak yang berwenang di perusahaan dengan didukung 2 orang saksi. Sedangkan pasal 159 mengatur apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian hubungan industrial. Majelis Hakim MK
 mempertimbangkan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 158 ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipandang sebagai perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap ketentuan pasal 159, Majelis Hakim MK beranggapan bahwa ketentuan tersebut disamping melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, pasal 159 ini juga telah menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan perkara perdata secara tidak pada tempatnya. Mencermati putusan itu muncul beberapa pertanyaan, apa implikasi yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut? Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan MK. Apa landasan hukum yang bisa digunakan pengusaha jika ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur sebelumnya dalam pasal 158 (1) UU Ketenagakerjaan. Apakah putusan MK itu merugikan kepentingan pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya? Atau justru keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat.Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, kami Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Kantor Advokat Dewi Mulyaraharjani  Partners (DMP Advocates) akan mengadakan kegiatan Seminar Nasional “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan”. Seminar ini sebagai upaya untuk melihat dan mengkaji lebih jauh akan putusan MK dan implikasi yang ditimbulkan. Sekaligus merupakan upaya sosialisasi kepada pengusaha dan pekerja/buruh/karyawan atas putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat betapa pentingnya putusan MK ini untuk diketahui oleh masyarakat, khususnya bagi kalangan dunia usaha, pekerja/buruh dan praktisi hukum (advokat).Seminar Nasional tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Dalam UU
 Ketenagakerjaan ini akan diselenggarakan pada:Hari / Tanggal  : Rabu / 14 Desember 2005  Jam  : 08.30 – 16.00 WIB
  Tempat : Hotel Le Meridien, Jl. Jend. Sudirman Kav.18- 20 Jakarta PusatDalam Seminar ini akan
 menghadirkan 6 orang narasumber (pakar) yang kompeten dan akan membahas putusan MK dari berbagai perspektif :  1. Prof. Dr. Sri Soemantri, S.H., (Pakar Hukum Tata Negara)  Topic : Perkembangan Dunia Usaha dan Pembangunan Ketenagakerjaan dalam pandangan UUD 1945  2. Dr. Muzni Tambusai, Msc (Dirjen Perselisihan Hubungan Industrial)  Topic : Langkah-Langkah dan Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi Putusan MK tentang UU Ketenagakerjaan  3.Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH (Advokat/Pemerhati Hukum) *  Topic
 : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Putusan MK dari Tinjauan HAM  4.Prof. Dr. Uwiyono S.H. (Akademisi/Pengajar Hukum Perburuhan Pasca 

[Ida-Krisna Show] Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Pasal PHK Dalam UU Ketenagakerjaan

2005-11-21 Terurut Topik DMP Advocates



Pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan putusan perkara Nomor: 012/PUU-1/2003 tentang permohonan pengujian UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam salah satu
 putusannya MK menyatakanbahwa pasal 158 dan pasal 159 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan ini, MK juga membatalkan bunyi anak kalimat yang terkait di dalam pasal 160 (1), pasal 170 dan pasal 171 UU Ketenagakerjaan.Jika dilihat bunyi pasal 158 Undang-Undang
 Ketenagakerjaan, mengatur tentang pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti, mencuri, penggelapan barang, mabuk, perbuatan asusila, membocorkan rahasia perusahaan dan sebagainya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti tertangkap tangan, ada pengakuan dan bukti lain dari pihak yang berwenang di perusahaan dengan didukung 2 orang saksi. Sedangkan pasal 159 mengatur apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian hubungan industrial. Majelis Hakim MK mempertimbangkan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 158 ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipandang sebagai perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap ketentuan pasal 159, Majelis Hakim MK beranggapan bahwa ketentuan tersebut disamping melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, pasal 159 ini juga telah menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan perkara perdata secara tidak pada tempatnya. Mencermati putusan itu muncul beberapa pertanyaan, apa implikasi yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut? Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan MK. Apa landasan hukum yang bisa digunakan pengusaha jika ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur sebelumnya dalam pasal 158 (1) UU Ketenagakerjaan. Apakah putusan MK itu merugikan kepentingan pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya? Atau justru keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat.Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, kami Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Kantor Advokat Dewi Mulyaraharjani  Partners (DMP Advocates) akan mengadakan kegiatan Seminar Nasional “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan”. Seminar ini sebagai upaya untuk melihat dan mengkaji lebih jauh akan putusan MK dan implikasi yang ditimbulkan. Sekaligus merupakan upaya sosialisasi kepada pengusaha dan pekerja/buruh/karyawan atas putusan Mahkamah Konstitusi. Mengingat betapa pentingnya putusan MK ini untuk diketahui oleh masyarakat, khususnya bagi kalangan dunia usaha, pekerja/buruh dan praktisi hukum (advokat).Seminar Nasional tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja
 oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan ini akan diselenggarakan pada:Hari / Tanggal  : Rabu / 14 Desember 2005  Jam  : 08.30 – 16.00
 WIB  Tempat : Hotel Le Meridien, Jl. Jend. Sudirman Kav.18- 20 Jakarta PusatDalam
 Seminar ini akan menghadirkan 6 orang narasumber (pakar) yang kompeten dan akan membahas putusan MK dari berbagai perspektif :  1. Prof. Dr. Sri Soemantri, S.H., (Pakar Hukum Tata Negara)  Topic : Perkembangan Dunia Usaha dan Pembangunan Ketenagakerjaan dalam pandangan UUD 1945  2. Dr. Muzni Tambusai, Msc (Dirjen Perselisihan Hubungan Industrial)  Topic : Langkah-Langkah dan Kebijakan Pemerintah dalam Menyikapi Putusan MK tentang UU Ketenagakerjaan  3.Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH (Advokat/Pemerhati Hukum) *  Topic : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam Putusan MK dari Tinjauan HAM  4.Prof. Dr. Uwiyono S.H. (Akademisi/Pengajar Hukum Perburuhan Pasca