Precedence: bulk SANG PASTOR PEJUANG ROMO MANGUN TELAH PERGI JAKARTA (SiaR, 10/2/99), Sang "Pastor-Pejuang" Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang akrab dipanggil dengan Romo Mangun meninggal dunia dalam usia menjelang 70 tahun, Rabu (10/2) siang, pukul 14.15 WIB, seusai menjadi pembicara dalam simposium "Buku dan Iptek" yang diselenggarakan Yayasan Obor di Hotel Le Meredienne, Jakarta Pusat. Menurut Ketua Panitia, Ny Kartini, ketika jedah istirahat makan, Romo Mangun yang berjalan menuju ruang Puri Asri merasa sesak di dada. Romo Mangun, lanjut Ny Kartini, segera mencari tempat duduk untuk beristirahat. Panitia segera memanggil dokter Hotel Le Meredienne untuk memeriksan kesehatan Romo Mangun. "Dua orang dokter yang memeriksa menyebutkan Romo Mangun telah meninggal dunia ketika diperiksa saat itu," ujar Ny Kartini, sekretaris Mochtar Lubis di Yayasan Obor. Pada saat-saat menjelang meninggal dunia, Romo Mangun masih berbicara dengan budayawan Mohamad Sobary yang juga menjadi pembicara dalam simposium tersebut. Romo Mangun sendiri membawakan makalah berjudul "Meningkatkan Peran Buku Dalam Membangun Masyarakat Baru Indonesia." Romo Mangun, pastor kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929 ini juga dikenal sebagai seorang arsitek dan sastrawan handal yang banyak menulis karya-karya tulis berbobot, fiksi maupun non-fiksi. Novel-novelnya yang terkenal antara lain "Burung-Burung Manyar" dan "Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa". Kecintaannya kepada kemanusiaan, menyebabkan Romo Mangun, menjadi pastor yang dikenal gigih membela kepentingan "wong cilik" yang menjadi korban pembangunan Orde Soeharto, seperti dalam kasus pembangunan waduk Kedungombo, tahun 1989. Pembelaannya kepada nasib penduduk Kedungombo yang tergusur menyebabkan presiden -- ketika itu -- Soeharto, menudingnya sebagai: "ada komunis yang ngaku-ngaku sebagai rohaniawan." Suatu tudingan stigma yang pada masa itu, bagi masyarakat Indonesia, mengerikan dan menakutkan. Simpati almarhum kepada para aktivis pro-demokrasi diperlihatkannya ketika Peristiwa 27 Juli 1996, dimana Romo Mangun menulis berbagai esai yang membela para aktivis muda Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang saat itu menjadi bulan-bulan-an pernyataan pejabat Orde Soeharto sebagai "kambing hitam" Peristiwa 27 Juli. Esainya yang membela para aktivis PRD dikirimkan ke harian "Kompas", tapi represifnya Orde Soeharto menyebabkan harian tersebut mengembalikan esai tersebut ke penulisnya, Romo Mangunwijaya. Romo Mangun juga dikenal concern terhadap perjuangan rakyat Timor Leste untuk lepas dari kolonialisme Indonesia. Sebagai penulis handal, Romo Mangun banyak menuliskan artikel atau kolom di berbagai media massa yang isinya mendukung perjuangan rakyat Timor Leste. Artikel terakhirnya mengenai Timor Leste dimuat Siar News Service berjudul: "Timor Timur dan Mukadimmah '45". Begitu besar rasa kemanusiaan dan kecintaan Romo Mangun terhadap ilmu pengetahuan sehingga, ia pernah mengatakan kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, agar jika dirinya meninggal tidak dikuburkan atau dikremasi, tapi seluruh organ tubuhnya diserahkan untuk kemajuan ilmu kedokteran. Romo Mangun juga memiliki hubungan yang erat dengan para mantan tapol Pulau Buru. Ia pernah bertugas sebagai pastor pada tahun 1974, yang memberi siraman rohani kepada para penghuni pulau tersebut. Peninggalan lain dari Romo Mangun bagi "warga" Pulau Buru adalah karya arsitekturnya, sebuah wisma berlantai dua di unit IV Savana Jaya yang diberi nama Wisma Savana Jaya, dengan atap dari alang-alang, kayu dan bambu. Juga rumah Arief Budiman di Salatiga dan tempat retreat di Salam. Romo Mangun sejak 1990 harus mengenakan alat pacu jantung yang saat itu di pasangnya di Belanda. Sejak 1994 ia menyatakan tekadnya untuk mengurangi tampil sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Ia lebih banyak menyembunyikan diri dalam aktivitas di Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Mrican, Yogya, atau di Sekolah Mangunan yang jadi obsesinya untuk mengubah secara drastis model pendidikan yang dasar yang "menganiaya" anak didik. "Saya akan bertapa dan menulis buku tentang Indonesia," ujar Romo Mangun yang mengaku belakangan "membenci" berbagai seminar dan diskusi yang menyita banyak waktu dan energinya. Tak banyak yang menyangka, bahwa akhirnya "pendekar wong cilik" ini akhirnya pergi dalam pilihan yang dibencinya: jadi pembicara seminar! Ketika para sejumlah sahabatnya tengah menyiapkan bunga rampai untuk peringatan ulang tahunnya ke-70.*** ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html