Oleh: Amran Nasution

Harga bahan bakar minyak (BBM) naik akhir Mei 2008. Itu sudah keputusan 
Pemerintah SBY-YK. Mahasiswa bisa saja menolak dan melakukan demonstrasi 
merata hampir di seluruh Indonesia, dari Padang sampai Kendari, dari Jakarta 
sampai Ternate. Tapi harga bensin tetap harus naik.
Para ekonom atau pengamat bisa saja protes. Kwik Kian Gie siap dengan 
hitung-hitungan bahwa tak betul rakyat disubsidi lewat harga BBM. Pemerintah 
ternyata sudah memperoleh keuntungan berlipat-lipat selama ini, dengan 
menjual bensin Rp 4500/liter. ''Mau debat dengan siapa saja, di mana saja, 
dari dulu saya siap. Tapi mereka diam saja,'' kata mantan Kepala Bappenas 
itu.

Ekonom dan anggota DPR Drajat Wibowo bisa saja bersikukuh tak ada mashalat 
dengan APBN sekali pun harga BBM tak naik. Ia ajari cara menyusun APBN, 
antara lain, dengan menunda pembayaran cicilan utang.

Dengan itu Drajat ingin menunjukkan adalah bohong pernyataan yang 
menyebutkan APBN akan jebol kalau harga minyak tak dinaikkan. Ia prihatin, 
begitu harga BBM naik harga semua kebutuhan pokok turut naik pula. Maka 
rakyat yang selama ini daya belinya sudah merosot, menjadi korban. 
Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, menunjukkan begitu.


Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah tak ada artinya, 
rakyat tetap saja bertambah miskin. BLT tampaknya memang sekadar proyek 
politik pencitraan - bahwa Presiden kita pemurah - guna menghadapi pemilihan 
umum.

Padahal rakyat sudah amat menderita. Percuma saja Biro Pusat Statistik (BPS) 
memilih-milih dan memilah-milah data untuk mendukung citra pemerintah. Semua 
orang tahu di mana-mana sekarang rakyat makan nasi aking. Berita radio, 
koran dan TV menunjukkan berapa banyak anak-anak kurang gizi dan kelaparan. 
Di Makasar, seorang ibu hamil meninggal dunia karena berhari-hari tak 
tersentuh makanan. Mereka tak mungkin diselamatkan hanya dengan data BPS.

Lagi pula, apa pun data BPS, faktanya Indonesia masuk indeks 60 negara gagal 
2007 (failed state index 2007) yang disusun Majalah Foreign Policy bekerja 
sama dengan lembaga think-tank, The Fund for Peace. Majalah itu amat 
berwibawa, milik The Carnegie Endowment, think-tank dengan jaringan 
internasional paling luas di Amerika Serikat. Salah satu pendiri majalah itu 
adalah Profesor Samuel Huntington, ahli ilmu politik senior dari Harvard 
University.

Yang hendak dikatakan, Foreign Policy bukan majalah yang diterbitkan dari 
pinggir got. Indonesia memang betul-betul negara gagal, satu kelompok dengan 
Sudan, Somalia, Iraq, Afghanistan, Zimbabwe, Ethiopia, atau Haiti. Salah 
satu ukurannya: pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan 
umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Nah, 
kalau mau jujur, memang begitulah persis potret negeri kita sekarang.

Data indeks pembangunan manusia (human development index) dari badan PBB, 
UNDP, memberikan indikator serupa. Indonesia menduduki peringkat 107 dari 
177 negara, jauh di bawah Singapore, Arab Saudi, Malaysia, atau Thailand. 
Malah kita di bawah Filipina, Vietnam, Palestina, atau Srilangka. Padahal 
Srilangka itu negeri rusuh karena pemberontakan Macan Tamil dan Palestina 
lebih rusuh lagi akibat penjajahan Israel.

Begitu pun kenyataannya tetap saja harga minyak harus naik. Apakah rakyat 
tambah menderita seperti dikhawatirkan Kwik Kian Gie atau Drajat Wibowo dan 
kawan-kawan, tak ada mashalat bagi pemerintah. Soalnya, ini sudah tak bisa 
ditawar. Ini sebetulnya untuk kepentingan ideologi.

Ideologi? Barang siapa membaca buku terlaris dari Naomi Klein, The Shock 
Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (The Penguin Group, September 
2007), akan terang-benderanglah motif sebenarnya di balik langkah pemerintah 
menaikkan harga BBM atau mengobral 37 perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik 
Negara) kepada asing. Itu semata-mata untuk menegakkan ideologi 
kapitalisme-laissez-faire, atau di sini dikenal sebagai sistem ekonomi 
liberal, yang dianut pemerintah kita.

Inilah sistem ekonomi pasar yang menyerahkan urusan ekonomi kepada 
perusahaan swasta dengan campur tangan pemerintah sebisa mungkin 
dihilangkan. Sistem ini menginginkan pemerintah tidur saja. Pemerintah tetap 
tak boleh mencampuri urusan ekonomi, sekali pun hanya untuk meningkatkan 
taraf hidup orang miskin.

Dalam pandangan ideologi ini, jika pemerintah mengurusi perekonomian orang 
miskin, itu sama artinya melakukan redistribusi kekayaan, menyebabkan orang 
menjadi malas dan kehilangan kreativitas. Kalau orang jadi miskin, biarkan 
saja miskin. Karenanya dia disebut sistem laissez-faire, dari bahasa 
Perancis: biarkan terjadi.

Ciri khasnya: deregulasi, pajak rendah (terutama untuk pengusaha kaya, agar 
mereka lebih cepat melakukan akumulasi modal untuk meningkatkan kemampuan 
bersaing), swastaisasi/privatisasi, anti-subsidi, anti-pengaturan upah buruh 
minimal, dan semacamnya.

Tentang upah buruh, misalnya, serahkan saja kepada mekanisme pasar, jangan 
diatur-atur pemerintah atau serikat buruh. Mekanisme pasar akan bekerja 
menentukan upah yang pantas untuk buruh. Artinya, semua terserah pengusaha. 
Karena itu belum bisa terlaksana, dunia perburuhan kita memakai sistem buruh 
terputus (off-sourcing), sehingga posisi tawar pengusaha kuat ketika 
berhadapan dengan serikat buruh.

Ideologi ini pertama kali dirumuskan ekonom Skotlandia, Adam Smith, di akhir 
abad ke-18. Tapi setelah ekonomi dunia dilanda krisiss dahsyat (great 
depression) di akhir 1920-an, mulai banyak negara meninggalkannya. Ideologi 
ini dituduh sebagai biang keladi kehancuran ekonomi, meski para pendukungnya 
selalu membela diri.

Ia kembali berkibar di awal 1980-an, ketika Presiden Amerika Serikat Ronald 
Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Teatcher mengkampanyekannya, 
terutama untuk menghadapi sistem ekonomi komunisme Uni Soviet, dalam perang 
dingin. Maka ambruknya Uni Soviet, dengan simbol rubuhnya Tembok Berlin, 
1989, diklaim sebagai kehebatan sistem ini.

Dalam prakteknya sistem ini menyebabkan orang kaya bertambah kaya, orang 
miskin bertambah miskin. Dunia pun terus-menerus dilanda krisis ekonomi, 
mulai great depression sampai krisis yang melanda Asia 1997, atau Amerika 
Serikat sekarang.

Banyak para ahli berpendapat, multi-krisis yang melanda Amerika saat ini 
karena laissez-faire. George Soros, investor sukses pasar modal, termasuk 
berpendapat begitu. Padahal Soros justru dianggap simbol sukses kapitalisme 
global di tahun 1990-an.

Naomi Klein, 38 tahun, aktivis, penulis dan wartawati terkemuka Kanada, 
lulusan London School of Economics, berhasil mengungkap sebuah metode dari 
sistem kapitalisme laissez-faire. Itu dikembangkan pemenang nobel ekonomi 
1976, Profesor Milton Friedman, dan pengikutnya di Chicago School of 
Economics, University of Chicago.

Klein menyebutnya Doktrin Kejut (The Shock Doctrine) dan itu yang ia jadikan 
judul buku setebal 558 halaman, dan banyak mendapat pujian. Sebuah artikel 
di Dow Jones Business News, Oktober 2007, menyebut The Shock Doctrine, The 
Rise of Disaster Capitalism (Doktrin Kejut, Bangkitnya Kapitalisme Bencana) 
sebagai buku terpenting tentang ekonomi di abad 21.

The Chicago Boys
Begini. Pada 2005, badai Katrina diikuti gelombang pasang meluluh-lantakkan 
New Orleans, kota berpenduduk 500.000 jiwa di tepi Sungai Mississippi, di 
tenggara Negara Bagian Louisiana. Hampir 2000 penduduk meninggal, rumah, 
jembatan, dan berbagai infrastruktur hancur. Inilah bencana alam dengan 
korban material terbesar di Amerika.

Paman Miltie - begitu Milton Friedman dipanggil hormat pengikutnya - 
ternyata punya pendapat tersendiri atas bencana itu. Melalui kolom di koran 
The Wall Street Journal, 3 bulan setelah bencana, Paman Miltie menulis, 
''Banyak 
sekolah di New Orleans rusak. Begitu juga rumah tempat anak-anak berteduh. 
Anak-anak terpencar di seluruh negeri. Ini adalah sebuah tragedi. Ini juga 
sebuah peluang.''

Bagaimana bencana begitu dahsyat disebut Profesor Friedman sebagai peluang? 
Ternyata itu beralasan. Hanya dalam tempo 19 bulan, ketika banyak penduduk 
masih tinggal di pengungsian, sebuah kompleks sekolah telah berdiri di bekas 
sekolah negeri (public school) yang dihanyutkan badai. Sekolah itu 
dilengkapi berbagai fasilitas dan guru. Tapi ia bukan lagi sekolah negeri 
melainkan sekolah swasta yang didirikan pemodal. Reformasi pendidikan telah 
terjadi dengan gampang. Tanpa badai Katrina tak mudah memprivatisasi sekolah 
publik itu.

Para bekas guru menyebut apa yang terjadi pada sekolah mereka sebagai 
perampasan lahan pendidikan. Naomi Klein menyebutnya aksi kapitalisme 
bencana (disaster capitalism). Ternyata sudah lebih tiga dekade Profesor 
Friedman dan pendukungnya yang biasa dijuluki The Chicago Boys, mentrapkan 
strategi itu: Menunggu datang krisis atau bencana lalu dengan cepat bergerak 
mereformasi status-quo.

Semua yang berbau pemerintah dijadikan swasta (swastaisasi/privatisasi), 
ketika orang-orang masih dirundung kaget. Krisis bisa saja terjadi karena 
perang, bencana alam, teror, ambruknya pasar modal, atau krisis ekonomi 
lainnya.

Dalam sebuah esei menarik, Friedman menulis bahwa hanya krisis - aktual atau 
hanya persepsi - yang bisa menghasilkan reformasi sesungguhnya untuk 
mengubah status-quo. Maka di New Orleans, orang bersiap-siap dengan stok 
makanan dan air minum, sementara para pendukung Friedman datang dengan 
ide-ide pasar bebas (free-market). Friedman meninggal dunia setahun 
kemudian, November 2006, dalam usia 94 tahun.

Dari riset Naomi Klein, diketahui bahwa pengalaman pertama Friedman 
mengeksploitasi krisis atau kejut (shock) terjadi pertengahan 1970-an, 
ketika Chili mengalami kudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet. Negeri di 
Amerika Latin itu juga terkena trauma inflasi yang amat tinggi 
(hyperinflation). Friedman datang menasehati Diktator Pinochet untuk 
melakukan reformasi ekonomi dengan cepat: deregulasi, pemotongan pajak, 
perdagangan bebas, privatisasi BUMN, pemotongan anggaran sosial, antara 
lain, pemangkasan subsidi untuk rakyat miskin.

Semua dijalankan Diktator Pinochet dengan tangan besi. Maka Chili mengalami 
reformasi sistem ekonomi menjadi kapitalisme laissez-faire paling ekstrim 
yang pernah terjadi, dan dijuluki sebagai revolusi The Chicago School. 
Kebetulan sejumlah penasehat ekonomi diktator itu adalah bekas mahasiswa 
Friedman di Chicago University.

Naomi Klein mulai melakukan riset tentang ketergantungan kapitalisme pasar 
pada situasi krisis atau shock ketika Amerika Serikat menduduki Iraq, 2003. 
Penyerbuan itu betul-betul menimbulkan shock yang luar biasa bagi rakyat 
Iraq mau pun dunia. Lalu apa yang kemudian terjadi di negeri sosialis itu?

Luar biasa: Privatisasi massif berbagai perusahaan pemerintah, penurunan 
pajak sampai tinggal 15%, deregulasi dan perampingan fungsi pemerintah 
secara dramatis, terutama menyangkut urusan ekonomi dan praktek perdagangan 
bebas, sebebas-bebasnya. Friedman dan The Chicago Boys berperan dari 
belakang. Ia diketahui berteman akrab dengan Donald Rumsfeld, Menteri 
Pertahanan Amerika waktu itu, dan sejumlah pemikir neo-konservatif yang 
mengelilingi Presiden George Bush.

Coba bayangkan, militer saja diprivatisasi di Iraq. Pemerintah mengontrak 
perusahaan Amerika, Blackwater Worldwide - yang sebelumnya sudah terancam 
bangkrut - untuk proyek jasa pengamanan para kontraktor minyak dan proyek 
bisnis lainnya. Termasuk untuk mengamankan Kedutaan Besar Amerika Serikat 
dan personalnya di kawasan zona hijau (Green-zone), Baghdad. Sekitar 30.000 
pasukan Blackwater betul-betul mirip tentara dengan persenjataan lengkap 
berkeliaran di Baghdad dan sekitarnya.

Pasukan bayaran itu berhak menembak dan membunuh orang tanpa bisa diadili. 
Dia tak tunduk pada hukum Iraq, tidak pula pada hukum Amerika Serikat. 
Oktober lalu, DPR Amerika membuat undang-undang, bahwa kontraktor yang 
bekerja pada Pemerintah Amerika di daerah konflik di luar negeri, 
bertanggung-jawab pada hukum Amerika. Tapi Gedung Putih menolaknya, dan 
sampai kini undang-undang itu terkatung-katung di Senat.

Padahal September lalu, sejumlah pasukan Blackwater, pengawal konvoi pejabat 
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berkunjung ke Baghdad, entah 
mengapa tiba-tiba menembaki kendaaran yang ada di jalan umum sekitarnya. 
Akibatnya, 17 orang meninggal, sejumlah lainnya luka-luka. Para pelaku 
penembakan sampai sekarang bebas tanpa diadili, dengan dalih belum ada 
undang-undangnya.

Serangan dahsyat tsunami akhir 2004 di Sri Langka, tak luput dari inceran 
kaum kapitalis. Penanam modal asing bekerjasama dengan bank internasional 
memanfaatkan situasi panik akibat bencana, untuk menguasai garis-garis 
pantai yang indah. Di sepanjang pantai dengan cepat berdiri resor wisata 
yang megah, hotel, villa, motel, dan sebagainya, menyebabkan ratusan ribu 
nelayan yang semula mendiami kawasan itu, kini tergusur.

Jelaslah sekarang bagaimana sistem kapitalisme global bekerja untuk mencapai 
tujuan: memanfaatkan momentum trauma kolektif dari suatu krisis, musibah 
atau bencana, untuk melaksanakan rekayasa sosial dan ekonomi di berbagai 
belahan bumi. [berlanjut....]

Barang siapa membaca buku terlaris dari Naomi Klein, The Shock Doctrine, The 
Rise of Disaster Capitalism (The Penguin Group, September 2007), akan 
terang-benderanglah motif sebenarnya di balik langkah pemerintah menaikkan 
harga BBM atau mengobral 37 perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) 
kepada asing. Itu semata-mata untuk menegakkan ideologi 
kapitalisme-laissez-faire, atau di sini dikenal sebagai sistem ekonomi 
liberal, yang dianut pemerintah kita. 

Kirim email ke