From: iskanda...@gmail.com
Date: Fri, 9 Mar 2012 11:18:47 +0700
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,

Kepada para asatidz ana ingin memperoleh penjelasan tentang istihalah 
yang zat aselinya berasal dari babi, yaitu tulang babi.

Sekarang ini banyak sekali dijual filter penyaring air rumah tangga yang 
dipasang di ujung kran, yang memakai bahan arang aktif (activated 
carbon). Pada labelnya dikatakan activated carbon tersebut bikinan luar 
negeri (Japan). Padahal, secara umum diketahui bahwa bahan pembuat 
activated carbon yang paling murah dan paling banyak dipakai diluar 
negeri adalah tulang babi atau tulang hewan lain (yang tentunya tidak 
disembelih secara Islami dan berarti termasuk bangkai).

Apakah karbon/arang aktif yang dihasilkan (sudah berubah nama, sifat dan 
wujud dari zat aselinya) bisa dikatakan sebagai telah mengalami istihalah?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan status air yang disaring dengan 
penyaring seperti itu? Halalkah atau najiskah? Atau suci?

Itulah makanya, bahkan AMDK (air minum dalam kemasan) pun juga 
perlu/harus diberi sertifikat / label halal, karena kalau tidak salah 
LPPOM-MUI mengharamkan air yang disaring dengan arang/karbon aktif yang 
asalnya dari tulang babi/bangkai.

Jazakumullahu khairan,
>>>>>>>>>>>>>>>>
 
Ustadz DR Erwandi Tarmidzi MA, memberikan contoh hukum istihalah (perubahan 
suatu wujud menjadi wujud lain) :
 
Hukum istihalah (perubahan suatu wujud menjadi wujud lain), seperti : wujud 
babi berubah menjadi garam, apakah garam tersebut hukumnya halal atau menjadi 
haram. Terdapat perbedaan pendapat para ulama mazhab dalam hal ini.

Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila seekor babi jatuh ke 
dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan berubah menjadi garam, maka garam 
tersebut hukumnya halal. Karena zat babi telah berubah menjadi garam dan garam 
hukumnya adalah halal.[2]

Al-Hashkafi (ulama mazhab Hanafi, wafat 1088H) berkata : “Tidak termasuk najis 
abu bekas pembakaran najis, juga garam yang berasal dari bangkai keledai 
ataupun babi…, karena wujudnya telah berubah. Ini yang difatwakan dalam mazhab” 
[3]

Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa garam yang berasal dari 
perubahan wujud babi hukumnya tetap haram, karena zat babi adalah najis 
sekalipun najis tersebut berubah bentuk menjadi zat lain hukumnya tetap najis.

Ar-Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat : 1004H) berkata : “Zat yang najis tidak 
berubah hukumnya secara mutlak …, dengan cara wujud najis berubah menjadi wujud 
lain, seperti ; bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam, kemudian berubah 
menjadi garam” [4]

Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat : 620H) berkata : “Pendapat yang 
terkuat dalam mazhab (Hanbali) bahwa najis tidak menjadi suci dengan cara 
perubahan wujud kecuali khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, adapun 
selain itu tidak menjadi suci, seperti ; najis yang dibakar sehingga menjadi 
abu, begitu juga bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam sehingga berubah 
wujud menjadi garam” [5]

Dari dua pendapat ulama tentang hukum garam yang berasal dari babi dapat 
di-takhrij hukum gelatin yang berasal dari kulit dan tulang babi.

Para ulama yang bermazhab Syafi’i dan Hanbali tentu akan mengharamkan gelatin 
yang diperoleh dari babi sekalipun zat gelatin tersebut berbeda bentuk fisik 
dan sifat kimianya dengan kolagen babi yang merupakan asal dari gelatin.

Adapun para ulama yang bermazhab Hanafi dan Maliki, atau yang mendukung 
pendapat bahwa perubahan wujud dari suatu zat menjadi zat lain hukumnya juga 
akan berubah, namun mereka juga berbeda pendapat tentang kehalalan gelatin yang 
diperoleh dari babi.

Pendapat Pertama.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya halal, pendapat ini merupakan hasil 
seminar Forum Fiqh dan Medis di Kuwait pada tanggal 25-5-1995, dan di dukung 
oleh DR.Nazih Hamad, DR.Muhammad Al-Harawy dan Basim Al-Qarafy. [6]

Penganut pendapat ini beralasan bahwa gelatin adalah zat baru yang tidak ada 
persamaan fisik dan sifat kimianya dengan kolagen yang berasal dari babi, 
sekalipun gelatin berasal dari kolagen babi, dan dalam kaidah fiqh bahwa zat 
baru hukumnya berbeda dengan hukum zat asalnya, bilamana hukum kolagen adalah 
haram maka hukum gelatin adalah halal.

Bukti bahwa gelatin berbeda dengan kolagen adalah : Gelatin berwarna bening, 
mudah larut di air dan mudah membeku, tidak demikian halnya dengan kolagen. 
Kemudian, gelatin yang diperoleh dari babi sama sekali tidak dapat dibedakan 
dengan gelatin dari hewan lainnya, berbeda dengan kolagen, yang sangat mudah 
dibedakan antara kolagen babi dan lainnya. [7]

Tanggapan.
Argumen pendapat ini tidak kuat, karena ternyata gelatin yang berasal dari babi 
sangat mudah untuk diketahui melalui tes kimia sederhana, ini menunjukan bahwa 
proses perubahan wujud tidak terjadi dengan sempurna. [8]

Pendapat Kedua.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya haram dan najis, pendapat ini merupakan 
keputusan berbagai Lembaga Fiqh internasional, diantaranya:

1. Majma Al-Fiqh Al-Islami (OKI) keputusan no: 23 (11/3) tahun 1986 sebagai 
jawaban atas pertanyaan dari Al-Ma’had Al-Alami Lil Fikri Islami di Washington 
yang berbunyi :

Soal ke-XII : Di sini (Amerika) terdapat ragi dan gelatin yang diekstrak dari 
babi dalam persentase yang sangat kecil, apakah boleh menggunakan ragi dan 
gelatin terebut?

Jawab : Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan ragi dan gelatin yang 
berasal dari babi, karena ragi dan gelatin (halal) yang diperoleh dari 
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang disembelih sesuai syariat mencukupi kebutuhan 
mereka” [9]

2. Keputusan Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy di bawah (Rabitah Alam Islami) yang 
berpusat di Mekkah (no. 3, rapat tahunan ke 15) tahun 1998, yang berbunyi:
“Himpunan Fiqh Islami yang bernaung di bawah Rabitah Alam Islami dalam rapat 
tahunan ke-15 setelah mendiskusikan dan mengkaji bahwa : “gelatin adalah sebuah 
zat yang banyak digunakan untuk pembuatan makanan dan obat-obatan, berasal dari 
kulit dan tulang hewan ; Memutuskan :

“Boleh menggunakan gelatin yang berasal dari sesuatu yang mubah, dari hewan 
yang disembelih dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dan tidak 
dibolehkan menggunakan gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram, seperti 
; gelatin dari kulit dan tulang babi dan dari benda haram lainnya”.

Himpunan Fiqh Islami menghimbau Negara-Negara Islam untuk memproduksi gelatin 
yang halal’. [10]

3. Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi (no fatwa : 8039), yang berbunyi 
: “Gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram seperti babi, hukumnya haram” 
[11]. 

Dan pendapat ini didukung oleh sebagian besar para ulama fiqh kontemporer

Para ulama ini beralasan bahwa gelatin bukanlah zat baru yang merupakan 
perubahan wujud dari kolagen, akan tetapi gelatin telah ada pada kolagen babi 
sebelum dipisahkan, ini menunjukkan bahwa proses yang terjadi hanyalah 
pemisahan dan sekedar pergantian nama dan bukan perubahan wujud secara mutlak.

Dari dua pendapat di atas sikap seorang muslim hendaklah memilih yang lebih 
baik untuk diri dan agamanya, yaitu menghindari segala produk yang menggunakan 
gelatin babi sebagai salah satu bahan bakunya, karena bagaimanapun juga, asal 
gelatin ini adalah babi dan babi telah diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an, 
adapun proses perubahan wujud menjadi zat lain masih diragukan maka hukumnya 
kembali kepada hukum asal babi yaitu haram, sesuai dengan kaidah hadits Nabi “ 
Tinggalkanlah yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan”.

Dengan demikian, menjual segala barang/produk yang salah satu bahan dasarnya 
adalah gelatin babi hukumnya haram, dan hasil keuntungannya merupakan harta 
haram, demikian juga diharamkan seorang dokter untuk memberikan resep 
obat-obatan yang mengandung gelatin babi.
 
Selengkapnya baca di http://almanhaj.or.id/content/3170/slash/0
Wallahu a'lam





                                          

Kirim email ke