-FYI- This story from www.kompas.com Realita: Demi Anak Dua Kali Hampir Mati..!
· Saat itulah, tim dokter melakukan tindakan yang sungguh mengagetkan Krishna. Para dokter sibuk membalikkan tubuh Dinna, sehingga kepala ada di bawah dan kakinya di atas. Hal itu bertujuan mengalirkan darah yang masih ada ke bagian otak. Dua kali hamil, Dinna Erwinn (38) selalu mengalami perdarahan hebat. Anak pertamanya, hanya sesaat menghirup udara kehidupan. Ketika melahirkan kedua kali, bayinya selamat tapi Dinna dua kali koma. Apa yang sesungguhnya terjadi? Kegembiraan menyelimuti Dinna dan Krishna Erwinn, ketika di tahun kelima perkawinan mereka, Dinna hamil yang pertama kali. Namun, kondisi kesehatannya ternyata tidak mulus. Ia mesti keluar masuk rumah sakit, karena perdarahan. Menurut dokter, ia mengalami plasenta previa. Di bulan keenam ia bahkan harus total istirahat di rumahsakit. Oleh Dr. Maryunani yang merawatnya di RS Pondok Indah disarankan supaya bayi yang dilahirkan ketika usia kehamilannya 7 bulan. Sebelum tiba waktu operasi dokter harus memberikan beberapa kali suntikan untuk menguatkan paru-paru bayi. Tapi, baru sekali diberi suntikan penguat, malamnya mengalami perdarahan lagi. Akhirnya waktu itu juga dokter memutuskan tindakan operasi cesar. Si mungil pun lahir dengan berat hanya 1,3 kg. Karena paru-parunya belum kuat, meski sudah dibantu dengan beragai peralatan, bayi laki-laki itu hanya bertahan hidup selama 1,5 hari. Betapa sedih hati Dinna dan Krishna menghadapi kenyataan itu. Buah hati yang telah lama ditunggu harus mereka lepaskan lagi dalam waktu yang terlalu singkat. Tapi layakkah jika meerka mempertanyakan keadilan Ilahi? Maka Dinna dan suami pun segera bangkit kembali dari kedukaan dan segala perasaan yang berkecamuk dalam diri mereka. Dinna segera pulih kembali dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Hamil lagi · Seperti sebelumnya, pasangan ini tidak berusaha mencari pengobatan untuk bisa hamil lagi. Mereka ingin kehamilan itu berjalan secara alami, meski harus menunggu lama. Dan Tuhan memang penuh kasih. Enam tahun kemudian tepatnya tahun 2000, Dinna hamil lagi. Ia pun merasa mendapat keajaiban, karena saat itu bersama suaminya ia sudah bisa menerima seandainya tidak dikaruniai momongan. Maka seluruh keluarga menyambut kehadiran janin itu dengan penuh kegembiraan. Dokter Sumanadi yang menanganinya kali ini bersikap sangat hati-hati, mengingat riwayat perdarahan pada pasiennya. Baru sekitar 3 minggu usia kehamilan, perdarahan itu benar-benar terjadi. "Itu membuat saya betul-betul stres dan down. Saya pikir ini pasti bakal nggak jadi lagi," kisah Managing Director Templar International Consultants ini. Untunglah perdarahan itu bisa diatasi dan Dinna harus istirahat total sekitar 2 minggu di rumahsakit. Kali ini dokter juga mendiagnosa terjadi plasenta previa. Selanjutnya, Dinna boleh bekerja lagi, asal tidak menyetir sendiri, tidak naik tangga, dan tidak boleh kelelahan. Akan lebih baik jika ia bersikap santai selama menjalani kehamilan itu. Tentu Dinna tidak keberatan menjalani semua anjuran itu. Namun, ketika semuanya telah berjalan baik hingga dua bulan kemudian, tiba-tiba perdarahan itu terjadi lagi. Dinna pun harus masuk rumasakit lagi. Sejak saat itu hingga usai kehamilannya mencapai bulan keenam, bolak-balik ia dirawat di rumahsakit. Ia pun memutuskan untuk tidak aktif dulu di kantor dan hanya sesekali datang untuk menandatangani surat penting. Dokter memang mengkhawatirkan, jika janinnya bertambah besar dan mulai bergerak akan menyebabkan perdarahan. Maka, ia dianjurkan untuk melahirkan di usia kandungan tujuh bulan. Dan supaya berat bayi lebih cepat bertambah besar, si ibu disarankan banyak makan. "Saya lalu rajin minum jus alpukat, makan cokelat dan es krim," ujarnya. Kebetulan ia tidak mengalami masalah seperti mual, muntah, ngidam, ataupun pusing-pusing selama hamil. Apa saja ia doyan, sampi bobot tubuhnya naik sampai 20 kg. Banjir Darah · Suatu kali Dinna harus pergi ke kantor di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta. Menjelang Bendungan Hilir jalanan macet dan begitu banyak orang memenuhi jalanan, karena ada demonstrasi. Mendadak Dinna dicekam ketakutan, apalagi ada demonstran yang berusaha mengintip ke dalam mobilnya. Ia memang bisa selamat melewati kerumunan itu, tapi tak urung merasa stres juga. Mungkin karena menekan rasa takut, malamnya ia merasa lelah sekali. Ketika sedang tiduran sekitar pukul 21.00, Dinna merasa ada perdarahan. Tapi, kali ini agak berbeda. Perdarahan itu terasa begitu banyaknya. Tanpa menunggu lagi, Dinna lalu menghubungi dokter dan menceriterakan semua yang ia rasakan. Karena sudah berpengalaman, tas berisi perlengkapan menginap di rumahsakit, termasuk kartu darah dan hasil pemeriksaan laboratorium, sudah disiapkan. Oleh Dr. Sumanadi ia dianjurkan pergi ke RS International Bintaro yang lebih dekat dari rumahnya, karena untuk bisa mencapai RS Pondok Indah sudah tak mungkin lagi. Dinna tidak berani bergerak sama sekali supaya perdarahannya tidak bertambah buruk. Dokter sempat mengkhawatirkan akan terjadi kontraksi seperti saat kehamilan pertama , karena bayi di perutnya sudah memasuki usia enam bulan dan sudah melakukan pergerakan. Saat itu, tempat tidurnya sudah dibanjiri darah. Saking banyaknya darah yang keluar Dinna merasa mau pingsan saja. Dengan perlahan, Krishna suaminya berusaha mengangkatnya ke mobil. Sepanjang jalan ke mobil itu darah Dinna membuat jejak tetesan di lantai yang putih. Melihat itu pembantunya pingsan. Bahkan belum sampai ke mobil sang suami merasa lututnya lemas, melihat darah yang mengalir begitu banyak. Hampir saja Krishna terjatuh saat menggendong isterinya. Untung saja, saat itu adik Dinna dan sumainya sudah tiba di rumah mereka, sehingga bisa membantu mengangkat Dinna ke mobil. Berusaha Tetap Sadar · Dinna ingat pesan dokter agar ia berusaha tetap sadar, bila mengalami perdarahan. Waktu itu pun ia berusaha keras untuk tidak pingsan. Dipegangnya tangan adiknya dan meminta tolong perawat untuk terus menepuk-nepuk pipinya. "Saya lakukan itu karena saya belum mau mati," ungkapnya. Malam itu juga ia dipersiapkan untuk menjalani operasi meskipun bayi di rahimnya masih sangat kecil. Karena hingga pukul 03.00 dini hari tak terjadi kondisi darurat, maka pembedahan itu pun batal dilakukan. Pada pengalaman kedua ini Dinna sudah tahu bagaimana harus bersikap. Ia lebih tenang dan tidak stres, bahkan merasa aman karena sudah berada di bawah pengawasan dokter. Ia tetap tidak boleh bergerak, dan terus mendapatkan transfusi darah. Supaya pemeriksaan oleh Dr Sumanadi bisa lebih intensif, ia kemudian dipindahkan ke RS Pondok Indah. Proses pemindahan dilakukan dengan sangat hati-hati dan diusahakan tidak terjadi pergerakan yang bisa membahayakan. Kondisi Dinna membaik dan tidak terjadi perdarahan, kecuali sedikit flek. Selanjutnya, selain Dr. Sumanadi, Dinna juga ditangani oleh Dr Karno. Ia masih belum boleh turun dari tempat tidur dan dilarang banyak bergerak, sehingga otomatis selama 2 bulan Dinna menjalani kehidupannya di atas ranjang rumahsakit itu. "Saya tidak merasa tersiksa dengan kehidupan seperti itu, karena ada anugerah terbesar yang tengah kami nantikan," ujarnya. Pada usia kandungan delapan bulan, berat bayi sudah mencapai 2,5 kg. Berat yang aman dan baik menurut dokter, sehingga bisa kapan saja dilahirkan. Dokter akhirnya memutuskan tidak perlu menunggu sampai bulan kesembilan untuk melahirkan. Lebih cepat akan lebih baik, karena Dinna juga dalam keadaan sehat. Akhirnya diputuskanlah tanggal 21 Desember 2000 sebagai hari kelahiran jabang bayi itu. Sebelumnya, keluarga diminta mengusahakan darah sebanyak 4 labu (1000 cc). Kebetulan saat itu tepat bulan puasa, sehingga akan sulit mencari darah ke PMI dan donor pun tidak ada@ Endang Saptorini. HB-nya Cuma 1,7 · Sekitar pukul 07.00 tim dokter dan calon ibu itu siap di kamar operasi. Dinna masih sempat membawa kamera digital dan minta tolong seseorang mengambil gambar. Ia juga sempat bercanda dan minta dokter melakukan operasi dengan hati-hati. Pembedahan berlangsung dengan baik. Dinna masih sempat mendengar bayinya menangis dan memastikan kalau anaknya laki-laki. Tapi tak lama kemudian, ketika belum sempat melihat bayinya, Dinna merasa hendak pingsan. Dan memang ia betul-betul kehilangan kesadaran. Rupanya Dinna mengalami perdarahan hebat lagi, sehingga dokter melakukan pembiusan total dan segera menutup luka operasi. Kondisinya terus memburuk hingga ke titik yang paling rendah. Pada monitor garis detak jantungnya sudah datar. Melihat keadaan itu, Dr Sumanadi segera keluar ruangan dan minta ijin Krishna untuk mengangkat rahim Dinna. Ia juga minta disiapkan darah lagi. Tentu suaminya mengijinkan, karena menurut dokter itulah jalan terbaik yang bisa ditempuh dalam kondisi kritis itu. Tindakan bedah pun dilakukan kembali. Ternyata benar, setelah pengangkatan rahim, tampak lagi adanya detak jantung di layar monitor. Dinna sudah memperoleh kehidupannya kembali. Beberapa jam kemudian ia dipindah ke runag ICU. Waktu itu empat jam dari saat melahirkan. Tim dokter belum berani meninggalkannya, karena keadaan Dinna memang belum stabil benar. Dugaan dokter tepat, tiba-tiba kondisi Dinna mengalami kemunduran lagi. Kali ini lebih kritis, karena Hb-nya cuma 1,7 padahal untuk perempuan normal, kadar HB mestinya 12. Dan berdasarkan pengalaman para dokter itu, pasien dengan Hb- 4 saja jarang yang bisa bertahan hidup. Karena keadaan makin payah, dokter memanggil Krishna masuk supaya sempat melihat isterinya. Memang tidak diharapkan, namun keadaan terburuk sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Krishna melihat bahwa di layar monitor itu tak ada lagi grafik kehidupan isterinya.Yang tampak hanya garis datar. Saat itulah, tim dokter melakukan tindakan yang sungguh mengagetkan Krishna. Para dokter sibuk membalikkan tubuh Dinna, sehingga kepala ada di bawah dan kakinya di atas. Hal itu bertujuan untuk mengalirkan darah yang masih ada di tubuh pasien, ke bagian otak. Setelah itu, Krishna memutuskan keluar ruangan. Ia kemudian menunggu sambil berdoa, 10 menit, 15, hingga 30 menit. Tak ada dokter yang keluar dan memberi pernyataan apa pun. Situasi ini membuat Krishna sedikit lega, karena berarti ada tanda-tanda baik yang tengah diupayakan dokter. Donor Langsung · Apa yang sedang terjadi di ruangan pasien? Proses pengambilan darah para donor belum selesai, padahal pasien tak bisa menunggu untuk ditransfusi. Entah kekuatan apa yang menggerakkan Dr Karno, Dr Sumanadi, serta 4 perawat di ruang itu. Mereka sepakat mendonorkan darah mereka secara langsung ke tubuh pasien. Kebetulan golongan darah mereka B, cocok dengan darah pasien. Tanpa melalui labu penampungan, tanpa melalui pemeriksaan silang, darah pun mengalir dari lengan para donor itu ke selang yang dipasang di leher pasien. Lengan Dr Karno sampai mengalami biru lebam, setelah proses penyaluran darah selesai. Tindakan tim dokter yang dramatis itu membuahkan hasil. Mukjizat itu pun terjadi. Tanda denyut jantung di layar monitor kembali muncul, dan Dinna sekali lagi diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mendapatkan kehidupannya. Semangat untuk hidup, rupanya itulah yang dilihat oleh tim dokter, sehingga mereka tergerak melakukan upaya keras itu. Sore harinya Dinna mulai sadar. Ia ingat baru melahirkan, tapi merasa tangannya diikat, dan di mulutnya terpasang alat pernapasan. Ia bisa mendengar semua yang terjadi di ruang itu, tapi belum bisa bicara dan matanya belum bisa dibuka. Sebentar ia tertidur, kemudian tersadar, begitu terus beberapa kali. Ketika adik dan sahabat Dinna datang, mereka menangis. Mereka melihat sekujur tubuh Dinna seperti mayat yang membengkak. Ada sekitar 5 selang yang terpasang di tubuhnya yang menghubungkannya dengan kantung darah, infus, albumin, dan cairan lain untuk membantu memelihara kehidupannya. "Mereka bilang supaya saya pegang tanggannya, jadi saya pegang tangannya. Dari situ mereka tahu kalau saya masih hidup," kenangnya. Bahkan setelah Dinna tersadar, para dokter pun menanyakan beberapa hal yang menurutnya konyol. Misalnya, "Dinna tahu nggak tadi habis apa? Tahu nggak ini siapa?" Tentu saja, ia tahu betul bahwa yang ditunjuk itu suami tercinta. Melalui pertanyaan-pertanyaan itu dokter ingin mengecek kondisi daya ingat Dinna, yang ternyata tidak mengalami gangguan sedikit pun. Sewaktu, ia merasa haus dan belum boleh minum, bibirnya diolesi dengan air zam-zam yang dibawa adik dan sahabatnya. Air itu pula yang ia reguk ketika pertama kali boleh minum. Kondisi Dinna cepat sekali membaik. Pada hari keempat ia sudah boleh pindah ke kamar perawatan biasa dan bisa melihat anaknya. Ia ingin sekali menyusui buah hatinya saat itu. Sayang, masih ada infus yang mengalirkan obat-obatan ke tubuhnya. Ia pun cuma bisa memeluk dan memandangi wajah mungil yang membuatnya luar biasa bahagia. Rasa sakit di tubuhnya terhapus oleh kehadiran bayi yang amat ia harapkan. Dinna merasa sangat bersyukur karena anaknya ternyata sempat mendapat kolostrum berkat donor ASI. Seorang ibu di kamar sebelah yang juga melahirkan bersimpati atas peristiwa yang menimpanya, dan kemudian menyumbangkan ASI-nya yang keluar berlimpah. "Jadi saya dapat donor darah, bayi saya dapat donor ASI. Benar-benar anugerah Tuhan ini 'kan," katanya dengan mata berbinar.@ Thank you and regards, Ella email address: [EMAIL PROTECTED]