Pagi tadi saya melewati sebuah rumah dan melihat seorang isteri 
mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis 
loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap 
melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari 
dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek". 

"Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah 
lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat. 

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok 
beliin lengkeng ya Pa" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya 
Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan 
ini tak berjinjing buah kesukaannya itu. 

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang 
beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya 
bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke 
siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar 
sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. 
Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana 
jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi 
setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang 
belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak 
bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar 
tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering 
mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya 
terlamun. 

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya 
tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, 
nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan 
otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua 
gundah yang ia genggam. 

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali 
gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat 
lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang 
dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama 
menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak 
perlahan-lahan. 

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah 
sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi 
menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam 
penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu 
yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli. 

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu 
rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, 
atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-
anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang 
didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah 
gundah hari itu. 

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu 
kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. 
Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia 
menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, 
menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram 
oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela 
menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan. 

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan 
sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, 
membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, 
mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, 
hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang 
Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih 
ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan 
membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah 
yang tak pernah usai. 

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus 
menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan 
menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan 
berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan 
membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya 
yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet. 

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan 
senyum. 
Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan 
ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga. 



__._,_.___ .
 
__,_._,___ 

Kirim email ke