Ada yang pernah spekulasi ini ga buat Adam Air?????

Jalan Lurus walau Kokpit Buta

Pilot Adam Air tak jarang menerbangkan pesawat dengan deretan instrumen
di kokpit yang rusak. Ada yang nyasar, yang lain memilih mundur.

Perhatian Kapten Pilot Sutan Solahu-din terhenti saat membaca satu
bagian pada catatan yang baru diterimanya. Laporan itu menyebut, Boeing
737-300 yang akan diterbangkannya sejam lagi mengalami kerusakan pada
sistem navigasinya. Catatan itu dibolak-balik, tetapi ia tak juga
menemukan surat keterangan dari bagian teknik bahwa pesawat layak
terbang. Sutan menolak menerbangkan pesawat milik maskapai Adam Air itu
dari Jakarta ke Padang.
"Tapi saya ditekan pihak owner (pemilik) melalui telepon agar
menerbangkan pesawat itu," katanya.

Sutan akhirnya menyerah dan menerbangkan pesawat tanpa alat navigasi
itu. 
Pesawat itu terbang seperti orang berjalan dengan mata tertutup saja.
Selama penerbangan ia mengkhawatirkan keselamatan sekitar seratus
penumpang yang dibawa-nya. Dia harus memakai insting untuk mencari arah
Kota Padang. 
Untunglah, pengalaman terbang Sutan membuat pesawat tidak nyasar.

Setelah insiden itu, Sutan merasa tidak nyaman dan aman bekerja di
maskapai Adam Air. Saat dia berbagi cerita dengan kawan-kawannya sesama
pilot, ternyata peristiwa serupa pernah mereka alami. Akhirnya Sutan
bersama 16 pilot lainnya memutuskan mengundurkan diri dari Adam Air, Mei
2005.

Ternyata keputusan mundur itu berbuntut panjang. Pihak Adam Air menuding
rombongan pilot itu menyalahi kontrak kerja. Perusahaan membawa kasus
ini ke pengadilan perdata. Mereka harus membayar semua biaya yang sudah
dikeluarkan perusahaan, plus ganti rugi imateriil. Rata-rata setiap
pilot harus membayar Rp 3,6 miliar. "Terus terang saya tidak sanggup
membayar uang sebesar itu,"
kata Sutan saat mengadukan nasibnya ke Komisi V DPR, Maret tahun lalu.

Kasus ini mestinya putus Kamis pekan lalu. Tetapi Pengadilan Negeri
Jakarta Barat menundanya karena kuasa hukum Adam Air tidak hadir.
Rumusan fakta-fakta putusan juga belum selesai, salah satu anggota
majelis hakim sedang cuti. "Sidang ditunda selama dua minggu," kata
ketua majelis hakim, Zaenal Arifin.Penyelesaian melalui pengadilan
tinggal menunggu waktu. Tetapi pemogokan 17 pilot Adam Air dengan alasan
keamanan dalam penerbangan harusnya menjadi perhatian Direktorat
Sertifikasi Kelaikan Udara di Departemen Perhubungan sebagai otoritas
penerbangan. Jika tudingan Sutan dan kawan-kawannya benar, ratusan nyawa
penumpang dan awak pesawat dalam setiap kali penerbangan menjadi
taruhan.

Mungkin saja kecelakaan pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan KI 574
di atas langit Sulawesi juga berkaitan dengan sistem navigasi.
Percakapan terakhir yang terekam antara pilot Refri Agustian Widodo dan
petugas air traffic controller (ATC) atau pemandu lalu-lintas udara di
Bandara Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, menyangkut soal posisi
pesawat.
Setelah pesawat bermanuver menghindari empasan angin, pilot bertanya di
mana posisinya. Padahal, sistem navigasi di kokpit pesawat cukup memberi
informasi itu-kalau alat itu bekerja baik.

Terbang buta tanpa navigasi bukan kali ini saja dilakukan pilot Adam
Air.
Pesawat Adam Air yang berangkat dari Jakarta dengan tujuan Bandara
Hasanuddin juga pernah nyasar, Februari tahun lalu. Pesawat tiba-tiba
meminta mendarat di Bandara Tambolaka, Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Padahal jarak bandara kecil itu dengan Kota Makassar lebih jauh
dibanding jarak Jakarta-Semarang.

Saat itu Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) meminta Kepala
Bandara Tambolaka menahan pesawat nyasar itu. Tetapi Adam Air justru
menerbangkan lagi pesawat menuju Makassar dengan mengganti pilot dan
kopilotnya. Keputusan memindahkan pesawat yang rusak dari lokasi
kejadian, memperbaiki, dan menerbangkan kembali tanpa izin merupakan
pelanggaran berat. Sebab, penerbangan lanjutan itu menghapus semua
rekaman data dalam kotak hitam yang bisa membongkar kejadian buruk yang
terjadi sebelumnya. 
Akibat kejadian itu, polisi menahan Kapten Tri Nusiyogo dan Kopilot
Ahmad Deni Syaifuddin.

Seorang mantan pilot Adam Air, yang menolak disebut namanya, mengaku
campur tangan manajemen cukup besar. Padahal pihak manajemen tidak paham
masalah pengoperasian pesawat. Dia menceritakan pengalamannya saat
transit di Juanda Surabaya, Jawa Timur, sebelum meneruskan perjalanan ke
Ngurah Rai Denpasar, Bali. Baru sepuluh menit penumpang meninggalkan
pesawat, pilot dikagetkan dengan penumpang yang sudah kembali masuk
pesawat. Padahal saat itu pramugari masih sibuk memeriksa perlengkapan
dalam kabin, sementara pilot sedang mengecek instrumen di kokpit. "Kok,
penumpang sudah naik?" sang pilot bertanya heran.

Seharusnya ramp atau petugas di darat menunggu pilot menyatakan pesawat
siap terbang. Setelah itu, mereka baru boleh memasukkan penumpang.
Insiden itu tampak sepele, tetapi bisa membahayakan penerbangan. Saat
transit, harusnya mesin dan rem pesawat diberi kesempatan melakukan
pendinginan. "Paling tidak pesawat butuh waktu 40 menit untuk transit,"
kata sang kapten. Tapi apa boleh buat, pihak manajemen di Jakarta
memerintahkan pesawat segera berangkat.

Ada contoh lain. Dalam penerbangan dikenal istilah hold item list. Jika
terjadi gangguan pada instrumen tertentu, pesawat masih bisa terbang
asalkan perbaikan harus segera dilakukan. Misalnya ada gangguan sistem
navigasi, pesawat masih bisa terbang asalkan ada langkah-langkah teknik
tertentu.
Biasanya pilot masih berani terbang jika jumlah gangguan dalam daftar
ini hanya terjadi pada satu atau dua instrumen. "Tapi kalau sampai lima
item, ngapain harus terbang. Kita kan lama-lama jadi takut setiap mau
terbang,"
kata mantan pilot Adam Air ini.

Kalau saja maskapai penerbangan mengikuti aturan keselamatan penerbangan
atau CASR (Civil Aviation Safety Regulation) yang ditetapkan pemerintah,
keamanan pesawat lumayan terjamin. Mantan pilot Adam ini tak menampik
kenyataan bahwa maskapai yang pesawat pertamanya terbang pada Desember
2003 ini masih memperhatikan faktor keamanan. "Tetapi batas toleransinya
diturunkan," katanya. Toleransi penggunaan bahan bakar juga minim.
Manajemen menuntut pesawat terbang lurus ke bandara tujuan untuk
menghemat bahan bakar. Akibatnya, pilot tidak berani terlalu banyak
bermanuver. Kalau pesawat terus digeber seperti itu, "Saya punya insting
maskapai ini menjelang titik kritis." Dia akhirnya memutuskan ikut
rombongan untuk keluar.

Artinya, pemerintah perlu pasang mata lebih baik di era penerbangan
murah ini. Pemerintah tak boleh bertindak setelah kecelakaan terjadi
seperti selama ini. Pada September 2005, pesawat Mandala gagal terbang
dari bandara Medan. Pesawat ambruk dan menelan korban 101 penumpang
tewas, bersama 42 penduduk setempat. Menteri Perhubungan kemudian
melakukan inspeksi mendadak ke Bandara Soekarno-Hatta, lima hari
kemudian.

Hasil inspeksi mendadak itu mengagetkan. Saat itu ditemukan lima pesawat
yang tidak siap terbang dari maskapai Adam Air, Batavia, dan Mandala
Airlines. Itu pun yang dicek hanya pesawat Boeing 737-200 yang serinya
sama dengan pesawat Mandala yang terbakar. "Lima pesawat dikandangkan
sampai item yang rusak diperbaiki sesuai dengan standar," kata Hatta. Di
depan Komisi V DPR, Hatta berjanji stafnya akan melakukan pengecekan
lebih sering, setidaknya setiap dua bulan sekali.

Bagaimana keamanan Adam Air? Dihubungi Tempo, Direktur Komersial Adam
Air, Gugi Pringwa Saputra, mengakui maskapainya menerapkan efisiensi
konsumsi bahan bakar karena mengunyah 60 persen dari total pendapatan.
"Kami bukan mengurangi jatah, tapi memperpendek jarak tempuh," katanya.
Misalnya rute antarkota berbelok-belok, Adam Air meminta pihak pemandu
lalu-lintas penerbangan agar bisa menempuh rute yang lebih lurus.
Hasilnya, mereka bisa menghemat belanja sampai sepuluh persen. "Ini
penghematan yang luar biasa,"
katanya.

Gugi menampik tudingan maskapainya menyepelekan keselamatan penumpang. 
Menurut dia, sertifikat kelaikan penerbangan masih mentoleransi waktu
transit pesawat hanya 20 menit. Bahkan tidak transit pun bisa, langsung
terbang lagi asalkan tidak ada masalah dari segi mesin atau teknis.
"Penumpang sendiri kan ingin cepat," katanya. Soal intervensi pihak
manajemen kepada pilot? "Itu cerita lama dari seseorang yang tidak puas
dengan manajemen," kata Gugi.

Agung Rulianto, Wahyu Dhyatmika, 



 

Kirim email ke