> "Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas ..." telunjukku mengarah ke langit. > > "Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Tuhan yang menakjubkan," terang > Mama dengan sempurna sekaligus bijak. > > Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin > tahu segala hal dan mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang > baru kulihat. Dan Mama, dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya > itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu, bahwa Mama > segala tahu. > > Sejak malam itu, aku selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit > memandangi jutaan bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama > setia menemaniku. Aku ingat, mama cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku > bertanya, apakah bintang-bintang itu juga punya nama. Dengan cerdik, Mama > menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. Kalau > manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama. > > "Yang disebelah <?xml:namespace prefix = st1 ns = > "urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />sana, namanya siapa ma..." > > Keningnya berkerut, otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, > "ooh... yang itu mama tahu, ia adalah bintang mama, karena namanya sama > persis dengan nama anak mama ini..." dekapannya begitu hangat, tak ada yang > bisa melakukan semua itu kecuali mama. Waktu itu yang kutahu, mama sekedar > menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk menemani dan > membahagiakanku. > > Keesokkan harinya, setiap malam tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku > tiba, aku selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin > senang, sejak mama mengatakan bahwa bintang yang pernah kutunjuk itu adalah > aku. Tapi, hari ini mama membuatku kecewa, karena mama tak bisa menemaniku. > Mama sakit, begitu kata Papa. > > Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku > seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku > bintang-bintang itu dan membawanya ke rumah. Aku ingin mereka menjadi > temanku bermain hingga aku tak perlu bersedih setiap ketika larut mama > mengajakku masuk. > > Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku > bintang-bintang, sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan > angin yang lembut, dan menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas > lambaian sang bulan pun, mama tak kuat. Hingga malam berakhir, aku masih > kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang sedang sakitpun > harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur. > Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, > menyanyikan lagu pengantar tidur. > > Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa > jam di belakang rumah 'bermain-main' dengan bintang-bintang. Meski sedikit > cemas, mama tak pernah panik. Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus > ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak kunjung sembuh demamku. > Padahal mama sudah membawaku ke dokter. > > Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru > disaat mengigau itulah mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai > disini, aku masih beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah > sekedar kewajiban orangtua) ... > > Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku > terbangun, dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di > langit-langit kamarku. Bintang-bintang ... mama membuatkanku bintang-bintang > dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah, mungkin > ratusan. Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat > tidur dan lantai kamar. Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang > dari langit itu ke rumah. Dan mama benar, kulihat di masing-masing bintang > itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling bagus dan paling > besar, diberinya namaku. > > *** > > Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah > hidup mandiri. Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku > bahwa aku sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, > diantar papa dan salah seorang adikku, mama datang. Aku memang tetap > bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar dipeluknya, kurasakan > kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur. > > Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk > tinggal beberapa hari, tapi adikku berbisik, "Waktu abang telepon, mama > sebenarnya sedang sakit ..." > > Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. > Kini, sekali lagi kusadari. Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah > kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang takkan pernah > bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku.
--------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]