Fyi.. Mempertanyakan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia
Oleh: Lies Marcoes Natsir AWAL Januari, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan kampanye zero tolerance atas praktik sunat perempuan. Kampanye ini sangat penting mengingat lebih dari 150 juta perempuan, terutama remaja dan anak-anak, mengalami penderitaan akibat praktik melukai atau memotong alat kelamin perempuan ini. Bahkan, di beberapa negara, tak sedikit yang mempraktikkan infibulasi, yaitu praktik memotong klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan sedikit lubang untuk buang air dan haid. Dalam laporan PBB, Indonesia termasuk negara yang masih mempraktikkan sunat perempuan. BERTEPATAN dengan kegiatan itu, Radio Hilversum Belanda mewawancarai saya. Sebagai pemerhati isu kesehatan reproduksi dan pernah melakukan penelitian praktik sunat perempuan di Indonesia, barangkali cukup alasan bagi saya untuk diwawancarai. Namun, saya sempat dibuat tertegun ketika ditanya sikap Indonesia yang adem-ayem menghadapi kegiatan internasional itu jika memang praktik serupa ada di sini. Tulisan ini mengelaborasi praktik sunat perempuan (selanjutnya disingkat SP) di Indonesia dan jika memang ada, mengapa dianggap angin lalu. Sikap itu ternyata berbeda dengan, misalnya, upaya negara-negara Afrika. Penelitian Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada (PPK UGM) (Muhajir Darwin dkk, 2002) tentang praktik SP di Madura dan Yogyakarta membuktikan, praktik SP dilakukan keluarga Jawa di kedua wilayah itu, terlepas dari agama dan tingkatan sosialnya. Penelitian ini mendukung temuan sebelumnya (Anita Rahman, PKW UI, 1997) di wilayah Jawa Barat dan Jakarta. Dari kajian historis, Feillard mencatat praktik ini terdokumentasi dalam laporan Pemerintah Hindia Belanda, terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi (Feillard dan Marcoes, Female Circumcision in Indonesia: To Islamize in Ceremony or Secrecy, 1998: 337-365). Hal yang membedakan antara SP di Indonesia dan Afrika adalah cara pelaksanaannya. Di Indonesia, SP umumnya dilakukan sangat sederhana: melukai sebagian kecil alat kelamin bagian dalam, bahkan kadang-kadang simbolis saja. Misalnya, sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak. Namun, tak sedikit yang melakukannya dengan memakai pisau, gunting, dan jarum jahit. Bahkan, di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak. Dengan demikian, tak dapat disangkal SP di Indonesia memang dipraktikkan. Pertanyaannya, seberapa jauh perlukaan akibat praktik itu secara medis dan psikologis mengganggu kesehatan perempuan. Studi yang memadai di bidang kesehatan medis masih perlu dilakukan. Persoalan ideologis Yang menarik, di Indonesia praktik SP meningkat mengiringi munculnya kecenderungan formalisasi ritual keagamaan belakangan ini. Banyak keluarga muda, yang orangtuanya sendiri tidak menerapkan SP dengan alasan bukan kewajiban agama, kini justru mempraktikkan pada anak perempuan mereka dengan alasan memenuhi anjuran agama. Mengapa praktik sunat perempuan di Indonesia tidak dianggap masalah, dan bahkan cenderung disangkal, meskipun hampir setiap keluarga mempraktikkan? Jawaban secara harfiah, sunat perempuan disangkal karena sunat dalam arti harfiah, seperti memotong klitoris, tidak pernah ada laporannya. Kita hampir tidak pernah mendapat laporan tentang praktik sunat dengan tingkat kebrutalan tertentu, serta meninggalkan dampak negatif yang secara medis membahayakan kesehatan perempuan. Jadi, apabila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Afrika, praktik sunat di Indonesia memang "tidak ada apa-apanya". Akan tetapi, jika dianalisis dengan pendekatan ideologis, betapapun simbolisnya, alasan di balik praktik itu ternyata sama persis dengan alasan pemotongan kelamin yang terjadi di Afrika. Lebih dari sekadar proses inisiasi menuju kedewasaan (Turner, 1967), atau purifikasi (Muhajir, 2002), SP dilakukan dengan tujuan mengontrol dorongan seksual perempuan. Dasarnya anggapan kolektif bahwa kotoran yang menempel pada klitoris dapat membuat libido seks perempuan tak terkendali. Argumen serupa itu jelas sangat ideologis, sebab: pertama, tidak ada bukti medis yang membenarkan libido seks perempuan bisa tak terkendali lantaran tak disunat. Kedua, argumen ini didasarkan pada adanya kecurigaan kolektif atas seksualitas perempuan yang bahkan sejak bayi pun telah dituduh memiliki kecenderungan seks tak terkendali. Di titik inilah sebenarnya kita wajib menolak praktik SP dan karena itu negara wajib mempertimbangkan kembali adem-ayemnya terhadap praktik sunat perempuan ini. Persoalan kedua, penolakan atas realitas sunat perempuan ini terletak pada locus di mana praktik itu dilakukan. Praktik SP umumnya dilakukan di rumah dan sering kali secara diam-diam, sehingga sulit ditengarai karena orang sering menganggap sebagai urusan pribadi. Ini akan terasa lebih sulit karena praktik itu sering dilakukan atas sepengetahuan kalangan yang sangat terbatas, seperti ibu si anak, dukun sunat, atau bidan. Bahkan, begitu rahasianya praktik ini sehingga , banyak laki-laki sama sekali tidak tahu apakah anak perempuannya itu disunat atau tidak. Aksi kolektif menolak SP Bagaimana aksi Indonesia menyambut kampanye PBB ini? Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama, pendekatan konvensional, yaitu melalui pengungkapan angka. Itu berarti kita harus mengakui praktik itu-betapapun simbolisnya-memang dikenal di Indonesia. Pengakuan itu memang sering kali terbentur data karena pada dasarnya kita memang tidak punya angka tentang praktik itu, karena memang tidak dilaporkan. Namun, tidak adanya angka bukan berarti praktik SP tidak ada. Sebagai analogi, barangkali kita bisa menengok bagaimana pemerintah Orde Baru terus menyangkal adanya praktik kekerasan negara terhadap perempuan. Baru belakangan setelah rezim itu runtuh, bermunculan kasus yang membuktikan bagaimana kekerasan itu terjadi di depan mata. Untuk kebutuhan itu harus ditemukan metodologi yang dapat menampung dan menilai pengalaman dan perasaan perempuan. Metode ini diharapkan dapat mengartikulasikan rekaman ingatan kaum perempuan, baik sebagai pelaku (misalnya ibu korban, dukun sunat, bidan) maupun rekaman memory of pain yang dialami korban sendiri, misalnya perasaan takut, cemas, sakit, dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan metodologi ini sangat mendasar justru karena praktik SP umumnya dilakukan saat masa anak-anak, sehingga besar kemungkinan yang tersisa adalah trauma psikologis. Lebih dari itu, karena praktik SP dilakukan diam-diam, maka tingkat kecemasan dan kesakitannya menjadi sangat personal dan bahkan cenderung bisu. Kebutuhan mencari metodologi yang sanggup mengungkap kebisuan ini merupakan dasar upaya mengungkap praktik SP di Indonesia dan dampaknya terhadap perempuan. Pendataan juga dapat dilakukan melalui rumah sakit bersalin, bidan, bidan desa, dan paraji (dukun beranak) atau sensus keluarga. Sekali lagi, betapapun simbolisnya praktik itu harus dihitung sebagai kegiatan penyunatan justru karena mempertimbangkan alasan di balik praktik SP itu. Pendekatan kedua adalah mengabaikan angka. Kesakitan yang dialami satu perempuan akibat adanya sistem keyakinan masyarakat, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk penistaan terhadap perempuan harus diterima sebagai tindakan yang berlaku umum terhadap semua perempuan. Ini sama halnya dengan tindakan pelarangan penggunaan atribut keagamaan tertentu kepada satu orang yang dapat direspons atau diprotes seluruh penganut agama itu, meskipun tidak semua penganut agama menggunakan atribut itu. Tahap berikutnya, melakukan penyadaran tentang ketiadaan manfaat SP. Penyadaran dilakukan kepada masyarakat yang melakukan koersi terhadap cara berpikir perempuan sehingga mereka melakukan tindakan SP. Penyadaran dapat dilakukan juga pada dukun sunat, dukun manten, paraji, bidan, dan rumah sakit yang memperoleh keuntungan dari praktik SP. Dibutuhkan pula pengetahuan medis yang dapat meyakinkan publik bahwa SP sama sekali tak ada manfaatnya dari segi kesehatan. Memang benar dalam tradisi Islam ada sejumlah kalangan yang meyakini SP merupakan anjuran. Dasarnya, hadis yang menyatakan khitan bagi laki-laki adalah sunat, sementara bagi perempuan adalah karamah (kemuliaan). Tetapi, tidak ada kejelasan itu merupakan sesuatu yang dianjurkan apalagi diharuskan. Mazhab tertentu malah sama sekali tak menganjurkannya. Lies Marcoes Natsir Pemerhati isu jender dan Islam, program officer Islam and Civil Society The Asia Foundation sumber: Harian Kompas, Senin, 24 Februari 2003 -- Best regards, Mama Angina mailto:[EMAIL PROTECTED] --------------------------------------------------------------------- >> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]