Dear Mbak Riris, Wah, sebetulnya Pak Taufan Surana punya tulisan bagus banget nih mengenai hal ini.. saya tunggu2 postingan beliau menanggapi postingan mbak Riris, hehe.. Soalnya sebagai orangtua yang sudah beberapa tahun mengalami masalah punya anak yg dilabel 'agresif' oleh lingkungan.. tulisan Pak Taufan itu sangat membantu.. kalau boleh dari beliau nanti saya posting di sini. Sementara saya aja dulu sharing ya mbak Ris.. Pernah denger istilah "terrible two" kan? Walaupun bagi saya harus diperpanjang jadi terrible two, three, four.. hehe.. tapi ini betul2 menunjukkan bahwa lewat masa 'bayi' anak kita ini mulai ada di periode transisi.. pingin kaya anak gede, yet kemampuannya dalam banyak hal belum sampe. Nah ini mengakibatkan dia frustrasi.. lalu dia ekspresikan sejauh yang mudah dia lakukan.. mungkin ada anak yang njerit, mungkin juga ndorong, mukul dll. Yang paliiiiing penting mbak Riris ketahui, ini fase.. proses yang normal dilalui. Dan anak jangan dilarang marah lho mbak.. tapi harus diajarkan marah secara benar. Kenapa anak kita begitu? Pertama semua faktor harus dirunut ya mbak.. Kita liat ke lingkungan, apa ada yang dia tiru? Entah itu orang di lingkungan yang memang cara mengekspresikan marahnya begitu, atau tontonan, buku, dll? Yang paling gampang dilakukan anak seumuran Aradi adalah meniru, jadi seluruh lingkungan harus alert akan hal ini.. jangan sampai dia ter-ekspose pada adegan marah dengan cara salah. Kalau faktor lingkungan sudah berhasil dieliminir, kita musti amati tiap kejadian. Apakah anak ini jadi agresif karena ada pemicunya? Mungkin ada temannya yang kalau main selalu nyerobot, sehingga dia menganggap bahwa kalau mau dapat giliran, dia harus dorong temannya supaya tidak keserobot duluan. Apa ada teman yang juga punya kecenderungan memukul? Apa mungkin anak lain ada yang tidak agresif tetapi iseng dan jahil sehingga Aradi terpancing? Ini perlu didiskusikan dengan para guru juga, karena mungkin ada kejadian di kelas yang luput dari perhatian guru, yang tampak cuma adegan Aradi being agressive. Setelah itu kita musti bikin strategi secara kompak dengan semua pihak terkait.. hehe. Di sini maksud saya ya orang rumah, ya guru di sekolah, ya sesama orgtua murid, ya mbak pengasuh Aradi maupun pengasuh teman2nya Aradi. Saya ini orang yang sangat percaya bahwa kerjasama membawa hasil lebih signifikan. Minta bantuan semua pihak untuk konsisten pada strategi mbak Riris. Misalnya, mbak Riris kasih tau Aradi sebelum pergi ke sekolah "Aradi, kalau dipukul dan didorong itu sakit lho.. jadi nanti di sekolah Aradi jangan pukul dan dorong teman ya" Diulang-ulang (tentunya jangan sampai seperti kaset rusak lho ya.. hehe) kalau perlu minta supaya Aradi mengulanginya bersama. Nanti sampai di sekolah, misal dia mau menuju suatu permainan, beri penekanan "Aradi mau main itu? Main sama-sama teman-teman ya? Jangan pukul dan dorong" Begitu dia mulai memukul atau mendorong, langsung angkat. Biarpun dia lebih marah, langsung angkat. Peluk dia dan tanya "Kenapa Aradi pukul teman? Kalau main sama teman-teman, Aradi tidak boleh pukul". Sama-sama dulu liat permainan itu, jangan dilepas dulu Aradinya. Tanyakan lagi "Aradi mau main lagi?" Kalau dia jawab iya, tekankan sekali lagi "Aradi main sama teman-teman, tidak boleh pukul dan dorong". Lakukan ini terus menerus sampai dia mengerti bahwa konsekwensinya dia memukul atau mendorong adalah dia tidak bisa bermain. Proses ini ngga 1-2 hari lho Mbak.. Tapi percayalah, kalau kita dan lingkungan sekitarnya konsisten, dia akan mengerti bahwa tindakan memukul punya konsekwensi yang ngga enak buat dia. Masalahnya kita sering tergoda untuk ngga konsisten; misalnya karena capek atau sedang mengerjakan sesuatu, kita jadi ngga konsentrasi dan luput melihat bagaimana dia berinteraksi dgn teman2nya. Sekali saja dia berhasil memukul dan tidak mendapat konsekwensi, dia akan belajar bahwa ada peluang di mana dia bisa memukul... yaitu kalau Mama sedang tidak liat! Yang paling utama dari menjalankan strategi ini adalah kesabaran kita. Kalau anak sudah 'nakal' di mata kita.. apalagi kalau dia berulah di hadapan umum, biasanya tanduk kita langsung tumbuh panjaaaaaaaang sekali! Hati-hati.. ingat kata konsisten tadi. Kita bisa mengajarkan anak untuk marah secara benar, selama kita juga mampu marah secara benar. Ada istilah 'anak cari perhatian'.. Jadi kadang kalau kita bertanduk dan ngomel, kita harus bisa mengerti bahwa inilah yang anak maui. Jadi kita harus cool.. biarpun dipelototi para orangtua dan pengasuh, tetap ambil anak saat dia memukul.. suruh dia minta maaf pada anak yang dipukul, peluk dan kasih pengertian. Begitu terus berulang-ulang. Minta gurunya melakukan hal yang sama mbak di kelas. Atau mungkin gurunya bisa membantu mbak Riris mencari strategi yang paling tepat untuk Aradi, pokoknya ini harus menjadi keputusan dan strategi bersama deh. Kalau saya, terus terang tidak setuju Aradi menjadi dibatasi sosialisasinya, karena ini tidak akan membuat dia berhenti memukul. Ini justru punya dampak psikologis, membuat dia lama-lama merasa ada yang salah pada dirinya, kemudian jadi tidak PD untuk masuk ke lingkungan. PAdahal ini bukan kesalahan lho mbak Riris.. ini proses belajar! Ada anak yang super pemalu, harus belajar berani.. ada anak yang terlalu berani harus belajar mengerem sendikit, ada anak yang suaranya melengking, harus belajar bahwa orang bisa sakit mendengar suaranya, dst..dst.. Sesungguhnya tiap anak itu istimewa! Sukses ya mbak Riris... mudah-mudahan tidak stress dan cepat bisa tersenyum lagi melihat Aradi semakin pintar dalam pelajaran "berteman"-nya.. Salam, Aida
Riris Priyanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Dear netters, sebulan terakhir ini saya agak kewalahan dalam menghadapi putra saya, Aradi (25bln). sejak ulangtahunnya yang ke-2 bulan Agustus lalu, saya perhatikan Aradi jadi cenderung sangat keras kepala dan agresif. ini ditunjukkan misalnya dengan dia tidak mau berbagi mainan dengan teman2nya dan lalu diakhiri dengan tindakan mendorong/memukul temannya hingga menangis. --------------------------------- Do you Yahoo!? The New Yahoo! Shopping - with improved product search