dari blog "guru nulis" saya http://jonru.multiply.com

Film Ayat-Ayat Cinta <http://www.ayatayatcintathemovie.com/> - katanya -
baru akan beredar 19 Desember 2007 nanti. Namun komentar demi komentar mulai
bermunculan di sana-sini. Banyak orang yang menyatakan kekecewaannya,
padahal asli mereka belum menonton film ini. Baru lihat poster atau
thriller-nya doang.

Saya tak akan ikut-ikutan mengomentari film ini, karena asli saya juga belum
menonton. Jadi tak ada gunanya berkoar-koar saat ini, bukan?

Tapi kalau banyak orang yang sangat antusias untuk membicarakan film ini, ya
sangat wajar. Novel Ayat Ayat Cinta begitu fenomenal, best seller nasional,
dan berjuta-juta orang telah jatuh cinta pada cerita fiksi yang satu ini.

Nah, inilah poin yang "membahayakan" dari film Ayat-ayat Cinta. Sudah sering
terjadi, banyak orang yang kecewa setelah menonton film yang diadaptasi dari
novel terkenal. Apa yang mereka tonton sangat jauh dari "bayangan" mereka.
Tragisnya, mereka asyik membanding-bandingkan antara si novel yang - menurut
mereka - "sangat bagus dan sempurna" dengan si film yang - masih menurut
mereka - "sangat mengecewakan".

Maka, sebelum anda menjadi "korban kekecewaan" dari film Ayat-Ayat Cinta
(AAC), coba bekali dulu diri Anda dengan tiga bekal berikut:

Bekal 1:
Ingatlah, bahwa yang akan anda tonton adalah FILM, bukan NOVEL. Film dan
novel itu sangat jauh berbeda. Adalah hal yang mustahil untuk memindahkan
isi sebuah novel ke dalam film SECARA UTUH. Novel adalah sebuah bacaan,
sedangkan film adalah tontonan. Ada begitu banyak perbedaan antara novel
dengan film, sehingga sangat tidak mungkin bila film AAC akan sama persis
dengan novelnya.


Bekal 2:
Novel AAC adakah karya Habiburrahmah EL Shirazy, sedangkan film AAC adalah
karya Hanung Bramantyo. Nah, ini sangat penting. Bila Anda beranggapan bahwa
film AAC adalah karya Habiburrahmah EL Shirazy, ini bisa menjadi salah satu
penyebab utama kekecewaan tersebut.

Karena ini karya Hanung Bramantyo, maka yang paling banyak berperan di film
AAC adalah subjektivitas dia juga. Jika Anda masih berharap untuk
"menemukan" Habiburrahmah EL Shirazy di film AAC, maka ini bisa menjadi awal
dari sebuah kekecewaan besar.

Selain Hanung Bramantyo, pihak lainnya yang berperan cukup besar di film AAC
adalah si produser MD Pictures. Mereka tentu punya wewenang yang sangat
besar untuk "menerjemahkan" novel AAC ke dalam film AAC dengan cara yang
mereka sukai. Pertimbangan bisnis, efisiensi biaya produksi, kendala-kendala
teknis, adalah segelintir dari berbagai macam pertimbangan yang sangat
mempengaruhi kualitas dan isi dari film AAC.

Intinya: Walau belum menonton film AAC, namun sudah dapat dipastikan bahwa
hasil akhir film ini TIDAK MUNGKIN SAMA PERSIS dengan novelnya.

Pada novel, subjektivitas dan gaya Habiburrahmah EL Shirazy mencapai nyaris
100 persen, sebab AAC adalah karya personal beliau. Adapun film AAC adakah
karya bersama dari sebuah tim, yang terdiri dari sutradara, produser,
penulis naskah, penata musik, penata kamera, dan masih banyak lagi. Ada
begitu banyak subjektivitas yang berperan. Dan subjektivitas
sutradara/produser adalah yang paling mewarnai film ini.

Lantas di mana posisi Habiburrahmah EL Shirazy? Apakah kita masih bisa
"melihat" beliau di film ini? Sayangnyat, tidak bisa. Kalaupun beliau ikut
mewarnai, porsinya sangat kecil.

Bekal 3:
Sebelum berangkat ke bioskop untuk menonton film AAC, sebaiknya anda
meng-amnesia-kan diri dulu dari novel AAC. Lupakanlah bahwa anda pernah
membacanya. Bila novel ini masih bertengger di pikiran dan perasaan anda
ketika menyaksikan film AAC, maka ini bisa menjadi salah satu penyebab
kekecewaan besar lainnya.

Ok, selamat menunggu film AAC. Kalau anda tidak bisa menyiapkan ketiga bekal
di atas, saran saya sebaiknya tak usahlah ikut-ikutan menonton film ini.

Cipete, 3 Desember 2007

Jonru

Kirim email ke