http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/08/1739470/boom.autisme.terus.meningkat

Boom! Autisme Terus Meningkat


                                                  
                                  
                                                
                        
            
            
                                    
                                                        
                                        Minggu, 8 Juni 2008 | 17:39 WIB
Oleh : Elok Dyah Messwati dan Evy Rachmawati


                                                
                        
                        
                                                                
        
        




PERKEMBANGAN
autisme yang terjadi sekarang ini kian mengkhawatirkan. Mulai dari
tahun 1990-an, terjadi boom autisme. Anak-anak yang mengalami gangguan
autistik makin bertambah dari tahun ke tahun.Di Amerika Serikat
saat ini perbandingan antara anak normal dan autis 1:150, di Inggris
1:100, sementara Indonesia belum punya data tentang itu. Belum pernah
ada survei mengenai data anak autis di Indonesia, kata Ketua Yayasan
Autisme Indonesia dr Melly Budhiman SpKJ saat diskusi mengenai autisme
di harian Kompas, 5 Mei 2008.Melly Budhiman memaparkan, autisme
adalah suatu gangguan neurobiologis yang terjadi pada anak di bawah
umur 3 tahun. Gejala yang tampak adalah gangguan dalam bidang
perkembangan: perkembangan interaksi dua arah, perkembangan interaksi
timbal balik, dan perkembangan perilaku.Autisme bisa terjadi
kepada siapa saja, tidak mengenal etnis, bangsa, keadaan sosial
ekonomi, dan keadaan intelektualitas orangtua. Perbandingan antara anak
laki-laki dan perempuan yang mengalami gangguan autistik adalah 4:1.
Kecerdasan anak-anak autis sangat bervariasi, dari yang sangat cerdas
sampai yang sangat kurang cerdas.”Jadi kalau dulu dikatakan
kalau anak autis pasti anak-anak cerdas itu tidak benar, atau anak
autis itu kebanyakan retardasi mental itu juga tidak benar,” kata Melly
Budhiman.Diagnosa ditegakkan secara murni secara klinis tanpa
dengan alat pemeriksaan atau bantuan apa pun. ”Jadi kalau kita
mendiagnosa anak autis murni secara klinis dengan anamnese, dengan
tanya jawab itu harus sangat cermat: mulai dari kehamilan, kelahiran,
dan masa kecilnya,” kata Melly Budhiman.Sebelum 3 tahunUntuk
bisa melakukan diagnosa yang tepat, tentu saja dibutuhkan ketajaman dan
pengalaman klinis. Harus benar-benar diperhatikan kriteria diagnostik
yang sudah disepakati oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Jadi untuk
mendiagnosa autis itu sudah ada kriterianya.”Apakah ada gangguan
dalam bidang komunikasi, interaksi, juga perilaku. Kriterianya
sebenarnya sudah jelas,” tegas Melly Budhiman.Menurut Melly
Budhiman, diagnosa itu harus sudah ditegakkan sebelum anak mencapai
usia tiga tahun. Sering kali orangtua datang ke dokter dan dokter
menyatakan sebaiknya menunggu hingga usia anak sudah tiga tahun, itu
artinya sudah terlambat.Sebelum tiga tahun diagnosa sudah harus
ditegakkan. Deteksi dari permulaan gejala sudah bisa dilakukan jauh
sebelum umur tiga tahun. Ada anak yang sudah menunjukkan gejala autisme
sejak lahir, tetapi ada anak yang sudah berkembang secara normal namun
kemudian berhenti berkembang, kehilangan kepandaian yang telah
dicapainya dan timbul gejala-gejala autisme.”Bila terdeteksi
adanya gejala autisme pada umur berapa pun, mulailah dengan melakukan
interaksi yang intensif dan pantau terus anak tersebut setiap bulan.
Misalkan enam bulan, kok, anak ini tidak mau menatap mata, umur tujuh
bulan juga harus terus dipantau,” kata Melly Budhiman.Dalam hal
ini semua pemeriksaan adalah untuk mencari kemungkinan pencetus. Jika
si ibu waktu hamil mengalami rubela, maka sebaiknya dilakukan city scan
MRI, mencarinya ke arah otak apakah ada kelainan. Jika seandainya waktu
lahir si anak terlilit tali pusar sehingga kekurangan O2, bisa
dilakukan MRI dan kemudian EEG.”Jika ibu menyatakan kalau
setelah divaksinasi, kondisi si anak kemudian makin mundur, kita cari
apakah anak ini keracunan merkuri. Darahnya harus diperiksa untuk
mencari tahu berapa kadar logam berat, logam merkuri, diperiksa
rambutnya, apakah merkurinya sudah lama menumpuk di tubuh dan tidak
bisa keluar, misalnya,” papar Melly Budhiman.Setelah anak
terdiagnosa, langkah berikutnya adalah melakukan assessment yang
dilakukan oleh satu tim psikolog, speech therapist untuk menentukan
kemampuan si anak sebenarnya di bidang apa.”Misalnya speech-nya
terbelakang, tetapi keseimbangannya bagus, bisa lari, bisa lompat. Jadi
lebih penting ke speech therapy. Jika perilakunya enggak karuan, maka
diberi terapi perilaku,” kata Melly Budhiman.Terapi okupasi juga
bisa diberikan untuk melatih motorik halus. ”Anak-anak ini biasanya
tenaganya kuat. Jika memukul orang bisa keras sekali, tetapi kalau
disuruh memegang pensil tidak bisa, maka dia perlu terapi okupasi,”
kata Melly Budhiman. Yang terpenting penanganan terpadu harus diberikan
kepada anak-anak autis ini.Kecurigaan pada vaksinSejauh
ini, belum diketahui pasti penyebab autisme. Namun, faktor genetik
berperan penting pada tercetusnya gejala. Bila tidak ada kelemahan
genetik, kemungkinan gejala-gejala autisme tidak tercetus. Konsep baru
mengatakan, gejala autisme timbul akibat racun-racun dari lingkungan
yang tidak bisa dibersihkan lantaran anak memiliki kelemahan genetik.”Faktor
pemicu autisme itu banyak, tidak mungkin satu pemicu saja. Selain
keracunan logam berat, anak-anak penyandang autisme biasanya juga
mengalami alergi, kondisi pencernaannya juga jelek,” kata Melly. Ada
kecurigaan, salah satu faktor pencetus autisme adalah logam berat
merkuri.Di Palangkaraya, misalnya, ada pusat terapi autisme yang
muridnya berjumlah hampir 200 anak. Padahal, jumlah penduduknya hanya
sekitar 250.000 jiwa. Jadi, prevalensi autisme di daerah itu satu per
250 penduduk. Setelah ditelusuri, warga setempat sehari-hari
mengonsumsi ikan dari Sungai Kahayan, padahal sungai itu jadi lokasi
pertambangan liar emas sekaligus pembuangan merkurinya.Repotnya,
menurut Melly, banyak vaksin yang beredar di pasaran mengandung
merkuri. Satu suntikan vaksin dari luar negeri biasanya merkuri yang
dikandung 25 mikrogram. Bahkan, ada vaksin yang kandungan merkurinya
lebih dari itu. ”Keterkaitan vaksin sebagai pencetus autisme masih jadi
perdebatan di dunia internasional. Ini tentunya perlu penelitian lebih
lanjut,” ujarnya.Saat ini seorang anak hanya boleh menerima
merkuri 0,1 mikrogram per kilogram berat badan. Jadi, anak Indonesia
yang rata-rata memiliki bobot lahir 2,5-3 kilogram hanya boleh menerima
0,3 mikrogram. Akan tetapi, kenyataannya, sebagian bayi diimunisasi
dengan vaksin yang mengandung merkuri sebanyak 25 mikrogram. ”Sekarang
ada vaksin yang bebas merkuri, tapi harganya mahal,” kata Melly.Terkait
dengan isu bahwa vaksin MMR merupakan salah satu faktor pencetus
terjadinya autisme pada anak, Menteri Kesehatan Siti Fadilah tidak
bersedia berkomentar mengenai masalah itu. ”Ini masih perlu pengkajian
lebih mendalam lagi. Kami perlu mengecek apakah memang benar vaksin itu
terkait dengan autis,” katanya menambahkan.Dukungan pemerintahSejauh
ini, pemerintah dinilai kurang memberi perhatian terhadap masalah
autisme yang kian merebak di sejumlah daerah. Pelayanan terapi bagi
penyandang autisme masih sangat terbatas dan biayanya relatif mahal
sehingga sulit dijangkau para orangtua dari anak penyandang autisme.Banyak
orangtua yang kesulitan membesarkan dan memberikan terapi terbaik bagi
anak mereka yang menyandang autisme. Jika tidak dideteksi dan diterapi
dengan tepat sejak dini, gangguan perkembangan itu akan membuat
anak-anak penyandang autisme itu tidak bisa mandiri, sulit
berkomunikasi dan berkarya di lingkungan masyarakat.Pada
kesempatan terpisah, Siti Fadilah menegaskan, pemerintah mendukung
layanan kesehatan bagi anak-anak yang menyandang autisme. Salah satunya
dengan memberi penyuluhan dan menyediakan pelayanan kesehatan dasar di
puskesmas-puskesmas. Selain itu, pemerintah akan mengalokasikan dana
untuk penanganan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk autisme.Namun
diakui, penanganan kesehatan bagi para penyandang autisma masih belum
jadi prioritas pembangunan bidang kesehatan. ”Indonesia masih
disibukkan dengan pengendalian penyakit menular. Penanganan autisma
masih belum jadi prioritas utama,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik
Depkes Lily S Sulistyowati.Sejauh ini, pemerintah belum mampu
menyediakan pusat-pusat terapi bagi penyandang autisma. Tempat-tempat
pelayanan terapi masih dikelola pihak swasta dengan biaya cukup mahal.
Padahal, sebagian besar penyandang autisma butuh sejumlah terapi untuk
mengatasi gangguan perkembangan, terutama kemampuan komunikasi.Mengingat
meningkatnya angka kasus autisma di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir ini, Sekretaris Jenderal Depkes Sjafii Ahmad menyatakan,
Depkes berencana mendirikan Pusat Inteligensia yang menangani masalah
terkait gangguan inteligensia dan perkembangan termasuk autisma.
”Nantinya, pusat inteligensia juga akan didirikan di tiap provinsi,”
ujarnya.Tentunya, janji pemerintah untuk lebih serius menangani
masalah autisme ditunggu realisasinya. Bagaimanapun, para penyandang
autisme merupakan anak-anak bangsa yang ikut menentukan masa depan
Indonesia. Jangan sampai mereka kelak jadi generasi yang hilang.


          
        hasEML = false;
    
        
    
        
     
                    
        
        
        
        
        
        
        


      

Kirim email ke