Dari milis tetangga...

Oh David! (Sebuah catatan wajah pendidikan)

*IHT - Somewhere around the corner***



*Teruntuk Ayah dan Ibunda ....*

*Dear Zev dan KoKiers, semoga  berbahagia selalu.*

*Saya tersentak mendengar berita kematian David Hartanto Widjaja, Mahasiswa
Nanyang Technological University (NTU) Singapura asal Indonesia. Rasa kesal,
marah dan menangis menjadi satu. Ada suatu kemiripan antara saya dan David.
Ah, David… David. Kau masih sangat muda. Jalanmu pun masih sangatlah
panjang. Sayang, harus berakhir tragis. *

David adalah alumni SMUK 1 BPK Penabur Jakarta yang notabenenya merupakan
salah satu SMU prestisius di Indonesia. Banyak sekali siswa dari SMU ini
yang mewakili Indonesia diajang kompetisi seperti Olimpiade Fisika,
matematika maupun Olimpidiade Komputer dan Kimia. David sendiri adalah satu
diantara lima belas siswa Indonesia yang mengikuti padepokan pelatihan team
olimpiade matematika Indonesia. A science prodigy.

Terlepas dari apa yang David alami di Singapura, terlepas dari pro-kontra
apakah David benar bunuh diri atau tidak, ada beberapa hal yang ingin saya
cermati terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Tidak perlu jauh-jauh untuk
mencermati system pendidikan di Singapura. Sebenarnya, ini masalah usang.
Namun sayangnya, seperti yang sudah-sudah, kita di Indonesia selalu
kebakaran jengot sesudah mengetahuinya dalam keadaan yang parah.

Sistem pendidikan di Indonesia terlalu banyak menuntut siswanya. Sistem
ranking membuat sang siswa selalu ingin menjadi yang terbaik. Menjadi nomor
satu.  Dan sering kali, orangtua pun menjadikan anak tidak lebih sebagai
komoditas buat masa depan. Guru-guru pun juga tidaklah berbeda. Siswa pun
digenjot habis-habisan. Siswa dituntut berprestasi sebanyak mungkin demi
mengharumkan nama sekolah. Bermain? Jangan ditanya!.

Saya tidak tahu bagaimana situasi keluarga David. Bisa jadi, David merasakan
tekanan dan tuntutan yang luar biasa beratnya. Hal ini sedikit banyak
tidaklah berbeda dengan apa yang pernah saya alami. Tekanan yang luar
biasanya beratnya dari orangtua, sedari SD sampai SMU pun saya alami.
Banyak teman-teman yang saya kenal, selalu bilang betapa beruntungnya saya.
Sekolah terbaik, dan orang tua yang mendukung pendidikan saya. Namun
sayangnya, yang mereka tahu hanya di permukaan saja, tanpa pernah tahu apa
yang sebenarnya di dalam diri saya.

Orang tua selalu menuntut agar saya selalu menjadi yang terbaik di kelas,
bahkan di sekolah. Les-les di luar sekolahpun saya nikmati sejak sedari SD
sampai SMU. Bermain kelereng bersama teman? Selalu dilarang. Terlebih di
saat saya SMU.

Ibunda saya, sangat rajin sekali menjemput saya sepulang sekolah. SMU saya
pun termasuk SMU papan atas di Indonesia. Sampai saat ini, selalu ada wakil
Indonesia dalam kompetisi olimpiade yang berasal dari SMU saya ini. Ketika
saya lolos untuk masuk tim olimpiade fisika Indonesia, praktis, tidak ada
lagi waktu bermain bagi saya. Orang tua saya benar-benar habis-habisan untuk
mempersiapkan saya untuk menjadi bagian dari the chosen ones.

Sepulang  sekolah saya pun langsung mengikuti bimbingan belajar. Bahkan
untuk bimbingan belajar pun, orangtua saya sengaja memilih primagama, yang
bayaran per semesternya pun hampir dua kali lebih mahal dari SPP per
semester universitas negeri prestisius di ibukota. Tampaknya, Ayah saya yang
notabenenya masuk sebagai sebagai kategori pejabat dan ibu saya yang
berprofesi sebagai dokter spesialis, lebih mementingkan status mereka
ketimbang melihat perkembangan jiwa anaknya sendiri. Semakin berprestasi
sang anak, semakin tinggi mereka bisa menegakkan dagu di antara para
koleganya.

Gagal? Tidak ada kata gagal dalam kamus orang tua saya. Toh, anak mereka ini
kan sudah bukan manusia. Namun, sepotong mesin, sepotong robot dengan seribu
bakat dan kemampuan yang diharapkan. Yang ingin didengar oleh orang tua
saya, cuma cerita-cerita sukses anaknya.

Namun, saya beruntung. Orang tua saya akhirnya berubah. Tidak pernah lagi
menuntut terlalu banyak.  Namun, itu bukan tanpa sebab. Saat diakhir SMU,
saya merasa semuanya sudah terlampau diluar batas kemampuan saya. Saya lari
dari rumah selama berhari-hari. Saya meninggalkan surat kepada ibunda saya,
bahwa saya sudah tidak tahan lagi. Saya ingin mati dan saya tidak ingin
dicari kemana saya pergi. Orangtua saya semenjak itu benar-benar berubah.

Lulus SMU, saya pun belum genap berusia 17 tahun. Saat itu, saya pun
mendapatkan beasiswa dari NTU Singapore. Saya ingin sekali berangkat ke
Singapura, seperti rekan-rekan olimpiade lainnya. Beruntung, orangtua saya,
belajar dari pengalaman yang ada, melarang saya untuk berangkat ke
Singapura. Saya masih terlalu muda dan mental saya pasti tidak kuat, ujar
ayah. Saat itu, saya memang marah. Saya memimpikan kuliah di Singapura,
tidak di Indonesia. Orang tua saya bersikeras. Akhirnya, kuliah bachelor
saya lalui di jakarta. Ada paman dan bibi yang bisa selalu menjaga saya,
ujar ibunda.

Melihat ke belakang, saya tidak pernah menyesal apa yang terjadi pada saya.
Saya bersyukur, orang tua saya bisa berubah. Dan sayapun merasa bersyukur
atas keputusan ayah saya untuk tidak mengizinkan saya ke Singapura . Benar
sekali, hidup di jakarta telah mematangkan diri saya, baik secara fisik
maupun mental. Walaupun saya harus mengakui, saya merasa kurang akan sense
of social life dan kurang akan sense of social sensitiveness. Namun saya
masih muda. Dan saya tetap berusaha untuk memperbaiki diri saya.

Saya hanya berharap, tidak akan ada lagi David-david lainnya yang harus
menderita. Tidak akan ada lagi cerita tragis tentang dunia pendidikan kita.
Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan dan menyelamatkan
anak-anak muda dari bangsa yang sedang terpuruk ini.

Dan tidak ada lagi orang tua yang menjadikan anaknya hanya sebagai komoditas
masa depan. Biarkanlah anak-anak bermain, menikmati masa kecilnya, tumbuh
dan berkembang, menikmati masa mudanya.

Hakekat pendidikan adalah untuk menciptakan manusia setuhnya bukan hanya
mengejar nilai dan prestasi. Bukan untuk mengejar dan menjadi bangga akan
dimana jurnal-jurnal kita dipublikasikan. Bukan hanya selembar kertas
penghargaan honorable mention atau selempeng medali emas, perak dan perunggu
olimpiade pengetahuan, tetapi juga untuk menjadi manusia-manusia jujur yang
kelak bisa berguna untuk masyarakat.

*Teriring salam,*

*Somewhere around the corner*

*P.*

Kirim email ke