d: Kisah seorang pemeriksa pajakPosted by: "Morry Infra" morry.infra@gmail.comTue Feb 1, 2011 10:56 pm (PST) Subhanallah. ... Seneng banget kisah nyata ini terus bergulir sepanjang tahun.... Teruskan di-forward kemana2.... Mudah2an orang Indonesia tergugah hatinya sehingga makin banyak orang Indonesia yang kayak Pak Arif ini.... amien... Semoga Indonesia cepat bangkit.... amien.... Wassalam, Morry Infra 2011/2/2 Bambang Hadianto <> > Kisah yang sangat mengharukan dan mudah-mudahan bisa kita contoh! > > --- On *Wed, 2/2/11, Dwi Wahyu Budi Prasetyo <>* wrote: > > > From: Dwi Wahyu Budi Prasetyo <> > Subject: Kisah seorang pemeriksa pajak > Date: Wednesday, February 2, 2011, 6:46 AM > > Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalang > kabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat > Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan > belingsatan, kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu > sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, > tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya > rasakan langsung. > > Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di > Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan > selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya > ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang > mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. > Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip satu saja, > karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam > diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. > > Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak > yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, > prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian > keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa > saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai > Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya > sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak > mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen > kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita > konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka > Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi > kita. Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama > menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi > kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. > Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. > Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar > misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang > pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan > keluarga. Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan > imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga > sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka > berkunjung ke rumah saya di Medan, saat itulah mereka baru mengetahui dan > melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa > memahami. > > > Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau > pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir > saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya > paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru > Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima > uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak > cocok dengan atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin > ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh. > > Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara > lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa > pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka > lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada > orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka. > Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara > paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah > sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in > seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka > dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti > inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka > akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, > sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman. > > Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat > simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke > rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, > bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing > sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa > juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri > menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan > kepada anak-anak. Tidak terlalu saya perhatikan. Apalagi dalam proses > pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga > sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil > membawa anak-anak. Hingga satu saat saya mendapat surat perintah > pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya > menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu > itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia > mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu > bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek > pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi. Sementara > dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan > itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. > Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain. > > > Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika > lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan > dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, > karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya > terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan memintaagar > temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya juga sadar, kalau saya > tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi > saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama > seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling > tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan > disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, > bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang > direncanakan. > > > Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabat dan > seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, "Sudahlah, dik Arif > tidak usah munafik." Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak? Selama ini > saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi". Kemudian ia > sampaikan terus terang bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia > berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya > sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena > terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, > kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. > Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa > mereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. > > > > Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, > saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di > rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia > lalu mengatakan, "Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya > pakai," katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, > amplop-amplop itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk > keperluan apa pun. Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski > ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya > masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya > berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena > sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan. > > Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa > ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. > Dalam forum itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga > bertaburan di lantai. Saya katakan, "Makan uang itu, satu rupiah pun saya > tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya > satu pun perkataan kalian." Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta > obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok > harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya di auditor, lantas > saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa > pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu > saja ada saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga > saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya > tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. > > > > Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya > mengalami kondisi yang begitu mendesak. Misalnya, ketika anak kedua lahir. > Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. > Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa > isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun. Saya mau > bicara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan > depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya > keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat > dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya > kami lama sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa > isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahu > a'lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi > ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah > ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas. > Alhamdulillah. > > Adalagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada > lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena > pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak > saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah > Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya > lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? Ketika anak > harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali > menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan > kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di > rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah > lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar, dan saya ceritakan anak > saya sedang dioperasi. Dia katakan, "Kenapa tidak bilang-bilang" Saya > sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika ingin > menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi > oleh teman itu. Alhamdulillah. > > Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan > keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya > baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya > minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana > sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena > banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, saya berusaha > dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan > sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru. > > Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak > dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas > dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan pendekatan bercanda, > misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka > gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat > suap, lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang > yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu > takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, > "Uang setan ya dimakan hantu." Dari percakapan seperti itu ada juga yang > mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta > mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak > banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah > lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali. > Ada juga di antara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah > memeras dan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima > uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya > memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal > sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan > pernah bisa memberikan uang sebesar itu. Atasan yang memberikan itu > berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum'at atau > akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jum'atan. Atasan yang berikutnya > lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi > biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung > sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang > yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajin > sholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah. > > > > Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara > teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan > diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan > lain-lain. Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar > mapan. > > Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. > Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika > keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga > dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia > mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, > akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai > sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang > mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat > dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad > untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana > saja. Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan > dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil > rejeki yang haram. Saya berharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada > kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca) . > > >
Powered by Telkomsel BlackBerry®