Saya sangat sedih membacanya ,sebab saya sendiri mengalami akhir bulan Juni 2003 pada anak saya Jane .Ceritanya persis banget sampe infus lewat leher kanan dan kiri, ,juga vena session sampe 5 kali gagal di kaki sehingga sampe saat ini masih ada bekasnya.juga perut yang makin membesar persis kaya orang hamil 9 bulan. kami bersyukur pada Tuhan akhirnya Jane bisa melewati masa kritis tsb. Semoga Mama Bima dan keluarga diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi semua cobaan ini amin....
Mama Jane > -----Original Message----- > From: Taufan Surana [SMTP:[EMAIL PROTECTED] > Sent: 17, 02, 2004 08:04 AM > To: [EMAIL PROTECTED] > Subject: [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS > > Mat pagi... > > Sebagai orang yg pernah terkena Demam Berdarah (DB), saya sangat sedih > membaca artikel di KCM di bawah ini. LAGI-LAGI, RS yg terkenal mahalpun > TIDAK MAMPU menunjukkan kualitasnya. > > Hati-hati untuk semuanya.... sayangnya, tuntutan hukum tidak pernah > dilakukan semaksimal mungkin. > > rgds, > > Taufan > --- > Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..." > > Jakarta, KCM > > Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, > Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata > wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 > tahun itu. > > Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang > menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan > dokter juga tidak maksimal. > > Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera > > Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi > tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 > sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih > mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima > menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih > mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah > Bima pulang ke rumah dijemput supir. > > "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. > Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, > jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, > ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. > > Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah > disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa > disuruh Bima mengerjakan PR-nya. > > "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal > sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR > atau shalat," kata sang ibu. > > Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat > tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera > kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan > kisah binatang kesukaannya. > > "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil > termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup > tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang > sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. > > Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang > anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa > panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius. > > Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama > sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus > diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan > alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang > tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"> > > Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke > dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, > Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 > pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu > tubuh Bima masih cukup tinggi. > > Pagi-pagi sekali, Jum> '> at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke > Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. > > "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter > di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya. > > Muntah-muntah > > Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. > Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang > mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa > karena dokter baru tiba siang hari. > > Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat > Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, > buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya. > > "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi > lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol > Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan > mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova. > > Usai shalat Jum> '> at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras. > Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng, > terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan > Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. > > Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat > berbahaya. > > Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa berangkat > ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah > menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru > bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30. > > Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain. "Saya > pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus," ujarnya > > Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu dengan > sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut. Paru-paru dan > perutnya ditekan-tekan, sembari bertanya, "Sakit nak?", Bima menggeleng, > "Tidak". > > Usai memeriksa, dokter mengatakan, "Nggak apa-apa ini bu. Anak ibu hanya > menderita radang tenggorokan." Ketika Nova bertanya mengapa anaknya muntah > luar biasa, bahkan air dari perutnya keluar banyak sekali? Dokter menjawab > enteng, "Ah, anak ibu belum dehidrasi. Minumnya masih banyak kan? Ini cuma > radang saja kok." > > Sewaktu didesak lagi soal muntah yang berlebihan dokter hanya mengatakan > iritasi di tenggorokan memang menyebabkan gatal dan muntah. "Penjelasan itu > tidak memuaskan saya, kemudian saya tanya lagi, perlu infus apa tidak ya?" > Dokter menjawab enteng, "Tidak." > > Suaminya, sempat menyenggol lengannya, "Yang sekolah siapa sih?" tanyanya > bercanda, agar Nova menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya. > > Nalurinya sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya, membuat Nova terus > mempertanyakan jawaban dokter yang menurutnya tidak meyakinkan. > > "Lalu kami ke luar ruangan. Anak saya minta jaketnya dibuka. Begitu dibuka > saya kaget lihat tangannya seperti orang kena tampek, ada bercak-bercak > hitam. Aduh anak saya nggak begini nih tangannya. Saya balik lagi. Dok > kenapa nih Bima, kok tangannya begini? Yang saya tahu anak saya tangannya > mulus banget," tanya Nova kepada dokter. "Ah nggak apa-apa, karena panasnya > tinggi, pembuluh darahnya lebih kelihatan," jawab dokter enteng. > > Dokter memberikan obat antibiotik cair, Velocef, 250 miligram, obat demam > Proris dan Parasetamol 300 miligram. > > "Nanti kalau sudah minum obat ini 3 hari, dan belum sembuh, cek darah ya," > pesan dokter. > > Sesampainya di rumah, Nova langsung memberikan obat-obat itu pada anaknya. > Setelah minum obat pemberian dokter, muntah Bima berkurang, demamnya pun > turun, meski masih 38,5 derajat Celcius. "Oh obatnya bekerja, pikir saya > senang." > > Tapi, Nova tak lantas berhenti berikhtiar. Ia mencoba mendapatkan second > opinion dari dokter lain. "Saya itu orangnya paranoid. Saya tak pernah > percaya satu dokter. Saya cek lagi ke dokter lain." > > Entah mengapa, kali ini Nova meminta pendapat dari mertuanya yang juga > dokter spesialis anak. "Pa, saya kok nggak puas, tolong Bima diperiksa > lagi." > > Sang kakek kemudian memeriksa cucu laki-lakinya dengan teliti, termasuk > melihat obat yang diberikan dokter. "Nggak apa-apa. Dia radang tenggorokan. > Obat yang sudah diberikan dokter minum saja, habiskan. Itu sudah benar," > kata sang kakek. > > Nova belum puas juga dengan jawaban itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, > setahunya anak demam tidak boleh lama-lama. Ia takut otak anaknya akan > mengecil, atau ada efek lainnya. Namun, mertuanya meminta Nova berpikir > positif saja untuk anaknya. > > Beli kambing kurban > > Hari Sabtu (31/1), kondisi Bima membaik. Anak ini malah sempat membeli > kambing yang akan dikurbankannya pada hari raya Idul Adha. "Bu, aku ingin > kurban, dan kambingnya aku pilih sendiri." > > Usai memberi makan kambing yang baru dibeli bersama ibunya, Bima bermain > dengan sepupunya. Muntahnya sudah berhenti dan suhu tubuhnya 37,5 derajat > Celcius. > > Keesokkan harinya, Minggu (1/2), pada hari raya Lebaran Haji, Bima masih > bermain seperti biasa. Hanya saja ia terlihat lemas, dan lebih banyak > tidur-tiduran. Nova sempat memberinya jus jambu. Namun, Bima sudah tak mau > makan. Ia hanya minum terus. > > Malam harinya, kira-kira pukul 21.30, kakeknya menanyakan kabar Bima via > SMS, "Bagaimana posisi Bima?" Dijawab Nova, panasnya masih 38,5 derajat > Celcius. "Coba cek darah," jawab sang kakek yang diiyakan Nova. > > Menjelang sebuh, suhu badan badan Bima mendadak naik 40,5 derajat Celcius. > "Saya panik. Anda yang nggak beres nih. Wong panasnya sudah turun kok naik > lagi. Pasti ada infeksi," tutur Nova. Bima, masih sempat minta makan. "Bu, > aku pengin makan," kata si anak. Ibunya memberi pisang ambon. Tak berapa > lama, Bima malah muntah-muntah. Kali ini, muntahannya agak berbeda. Seperti > ada lendir coklat. "Saya tidak curiga karena saya bayangkan jika pisang > ambon teroksidasi warnanya berubah coklat." > > Yang mengherankan, ketika suhu badannya diukur, bagian atas menunjukkan > angka 40.5 derajat Celcius, namun dari pangkal paha sampai kaki, sangat > dingin. > > Senin sore (2/2) sekitar pukul 15.00, Bima digotong ke UGD RS Pondok Indah. > Setengah jam kemudian, Bima sudah tiba di RS. Melihat kondisi Bima, dokter > jaga UGD langsung berkomentar, "Aduh, anak ibu kayaknya DB nih." Nova balik > bertanya, "Apa DB dok?" ,"Demam berdarah," jawab dokter. "Saya langsung > lemes," ujar Nova. > > Paramedis di rumah sakit langsung panik, mereka segera melakukan cek darah > memastikan jumlah trombositnya. Saat itu, trombositnya masih 20.000. > > Bima disarankan segera masuk ICU. Sayangnya, ICU di rumah sakit tersebut > sudah penuh. Ruang ICCU pun sudah tak bisa menampung lagi. Akhirnya, Nova > diberi tiga pilihan, RSCM, RS Bintaro atau sebuah rumah sakit elit di > wilayah Jakarta Selatan. > > Berdasarkan pertimbangan mertuanya yang berprofesi dokter, Nova memilih yang > terakhir. Apalagi rumah sakit tersebut, jaraknya cukup dekat dari rumahnya. > "Tapi jujur saja, sebenarnya perasaan saya tidak setuju Bima dirawat di > rumah sakit tersebut," tuturnya. > > Kepada dokter di RS Pondok Indah, Nova sempat menyayangkan, mengapa pada > pemeriksaan pertama, anaknya tak terdeteksi demam berdarah. Malah, menyuruh > kembali lagi setelah 3 hari. "Dokter itu sudah nggak bisa ngomong apa-apa> > lagi," ujar Nova. > > Ia juga kesal pada mertuanya karena sebagai dokter tak bisa mendeteksi demam > berdarah yang diderita Bima. > > Senin malam itu, Bima dibawa dengan ambulans kerumah sakit yang sudah > dipilih keluarganya. > > Sebelum berangkat, Nova sempat bertanya pada dokter Hinky Hindra Irawan > Satari, ahli spesialis penyakit daerah tropis yang berpraktik di RSCM, soal > tindakan apa yang akan diambil dokter dalam keadaan Bima yang sudah kritis. > Diterangkan oleh dokter, Bima harus segera mendapatkan vena session, infus > di bagian kaki. Karena dari tangan sudah tidak bisa, darahnya sudah membeku. > > "Saya bertanya lagi, apakah di rumah sakit yang akan kami tuju itu sudah > mengerti tindakan yang akan dilakukan. Dokter mengatakan di sana sudah siap, > dan begitu tiba, langsung diambil tindakan. Saya percaya saja." > > Hanya ditangani perawat > > Sesampainya di rumah sakit yang dituju, alangkah terkejutnya Nova, karena > Bima kembali dimasukkan ke UGD, dan menjalani pemeriksaan dari awal lagi. > > "Saya membentak petugasnya, ini kan sudah ada file-nya dari RS Pondok Indah, > kok masih diperiksa ulang. Mereka nggak jawab. Entah apa memang demikian > prosedur rumah sakit. Lama sekali anak saya diperiksa di UGD, baru kemudian > dibawa ke ICU." > > "Yang lebih hebat lagi," lanjut Nova, "Sejak anak saya masuk, dia hanya > ditangani suster. Dokter anak, yang harusnya berjaga di ICU baru datang > menjelang tengah malam. Ketika dia datang, anak saya sudah rapi, dan sudah > diinfus oleh suster. Dia tinggal lihat-lihat aja." > > Akibat dokter datang terlambat, perawat yang menangani, sempat berkali-kali > salah menusukkan jarum infus ke tubuh Bima yang darahnya sudah mengental. > "Suster itu seenaknya tusuk sana, tusuk sini, salah- salah terus, sampai > anak saya teriak-teriak," tutur Nova dengan nada tinggi. > > Kepada dokter tadi, Nova sempat bertanya mengapa anaknya tidak mendapatkan > vena session. "Ini sudah cukup, nggak perlu lagi," kata dokter. "Saya diam > saja. Dia malah menyarankan foto paru-paru lagi, artinya kembali lagi pada > pemeriksaan awal yang sudah dilakukan di RS Pondok Indah." > > Selasa pagi (2/2), sekitar pukul 8.00, kondisi Bima drop. Ia merasa > kedinginan luar biasa. Suhu tubuhnya 35,5 derajat Celcius. Dokter dan > perawat terlihat panik. "Kenapa dokter pada panik, saya nggak ngerti. Anak > saya kemudian dikasih pemanas. Alat itu, semacam ada lampunya, yang dipasang > dari bagian pinggang sampai kaki Bima." > > "Ibu masih dingin sekali, minta selimut. Empat deh bu selimutnya, " keluh > Bima berulang-ulang. > > Nova menanyakan kepada perawat mengapa anaknya menggigil kedinginan. "Nggak > apa-apa bu, pasien demam berdarah memang begitu, kadang stabil, kadang > shock." > > Pada saat kritis itu, barulah beberapa dokter datang, malah ada yang > menyarankan mencari dokter anestesi untuk melakukan vena session. "Saya > pikir kok baru sekarang diambil tindakan vena session, padahal saya sudah > menanyakan hal itu sejak tadi malam," pikir Nova. > > Lebih mengherankan lagi, dokter anak yang menangani Bima, baru pagi itu > memeriksa seluruh catatan medis Bima. "Mana file dari RS Pondok Indah? Mana > foto paru-paru? Mana hasil pemeriksaan darah? Mana laporan trombosit?" tanya > dokter itu panik. "Semua kertas-kertas itu berserakan di atas meja. Padahal > kondisi anak saya sudah sangat drop, dan dokter baru mempelajari catatan > medisnya," tutur Nova kesal. > > Wajah-wajah dokter dan perawat terlihat panik, malah ada sebagian yang > berusaha menahan air mata. "Mereka kelihatan putus asa. Tetapi tetap tidak > ngomong apa-apa pada saya. Kenapa muka mereka begitu?" tanya Nova dalam > hati. > > Pagi itu juga Bima mendapatkan vena session, infus di bagian kakinya, > ditambah infus di bagian leher. "Ada tiga selang yang masuk ke leher anak > saya," kata Nova, yang berusaha memastikan apakah dokter yakin dengan > tindakan infus di bagian leher anaknya.> > > "Ini satu-satunya kesempatan," ujar dokter itu. Alasannya, di bagian leher > ada pembuluh darah besar, jadi lebih gampang. Perawat juga memasang infus di > bagian selangkangan Bima. > > Setelah beberapa lama dipasang, infus di bagian selangkangan Bima > menimbulkan bengkak. Ketika ditanyakan, perawat dengan enteng berujar, "Oh, > ternyata yang di sini nggak bisa dok, infusnya nggak masuk," kata Nova > menirukan ucapan suster tersebut. > > Sempat terlintas dalam pikiran Nova, memindahkan anaknya ke rumah sakit > lain, tapi kondisi Bima sudah terlalu parah. Satu-satunya hal yang bisa > dilakukannya tinggal ikhtiar dan berdoa. > > Tinja berwarna hitam > > Selasa sore, Bima buang air besar. Nova semakin cemas, karena warna tinja > anaknya hitam. "Saya kaget, kok tinjanya berwarna hitam. Ketika saya tanya > ke dokter, dijawab tidak apa-apa. Itu merupakan proses perjalanan penyakit." > > Namun, kondisi Bima semakin parah. Sekujur tubuhnya, mulai dari kepala > sampai kaki membengkak. "Bima diguyur 9 botol infus. Itu apa saja, saya > nggak tahu," ujar Nova sedih. > > Ia kembali bertanya kepada dokter, "Kok bengkak sih dok? Ini gimana anak > saya?", "Nggak apa-apa bu, nanti kempes sendiri, sejalan dengan keluarnya > virus, nanti kempes sendiri," jawab dokter. > > Diantara bagian tubuh lainnya, paha Bima, yang terlihat paling besar karena > bengkak. Nova kembali bertanya, "Dok kok pahanya besar sekali?", dokter > menenangkan, "Nggak apa-apa, itu proses perjalanan penyakit. Ibu tenang > saja." > > Dalam kondisi tubuh membengkak, Bima masih sadar dan bertanya pada ibunya, > "Bu, kapan teman-teman mau jenguk aku? Aku pengin pulang, aku pengin sekolah > lagi, aku mau main sama temen-temen. Bu, bawa dong temen-temen aku ke sini," > kata Bima mengoceh sampai tengah malam. > > Sore harinya, pukul 17.00, suster kepala ruangan masih memberi informasi > yang cukup menghibur. Lima jam lagi Bima akan berhasil melewati masa > kritisnya. "Apa maksudnya," tanya Nova. "Sebentar lagi, Bima, akan normal," > jawab suster yang memberitahukan posisi trombosit Bima 29.000. > "Alhamdulilah," sahut Nova bersyukur. > > Hari itu, Bima ingin sekali minum fruit tea rasa anggur dan peach. "Dia juga > lapar, pengin makan. Karena puasa, saya hanya memberi air sesendok. Itu pun > ditegur perawat." > > "Bu, aku pengin minum yang glek-glek, kok nggak boleh sih, pelit amat," ujar > Bima lagi. > > Hari Rabu, pukul 01.00 dini hari, Bima meminta ibunya membersihkan > darah-darah kering disekitar jarum infusnya. "Bu, tolong bedak-bedakin juga > dong. Ibu cium-cium juga ya," pintanya. > > Nova menciumi tangan anaknya. "Gantian dong bu, tangan yang satu lagi, " > kata Bima. "Kakinya, ciumin juga ya bu," lanjutnya. Setelah puas diciumi > ibunya, Bima minta ijin tidur. "Bu, aku tidur ya." Sebelum tidur, Bima > sempat membaca doa. > > Pada saat anaknya tidur, Nova menanyakan kondisi anaknya pada perawat. > Semuanya dijawab bagus. Air di paru-parunya pun sudah berkurang. "Entah itu > sekadar lips service atau apa, tetapi mereka memberi harapan optimal kepada > saya," tutur Nova. > > Pukul 01.30, Nova sempat shalat di samping tempat tidur Bima. Tiba-tiba > anaknya memanggil, "Ibuuu.., berpelukan", belum sempat Nova memeluk anaknya, > baru berlari ke arah tempat tidurnya, Bima sudah ngos-ngosan, nafasnya > sesak. Nova segera berteriak memanggil suster, memintanya mengambil alat > pacu jantung. > > Tetapi, satu orang perawat ICU yang berjaga ketika itu, malah sibuk mengatur > volume selang infus. "Saya bingung dan marah, kok reaksinya seperti itu, > pintu kaca ICCU saya gedor keras-keras. Tolong anak saya, ambil alat bantu > pernafasan," teriak Nova. > > Perawat kemudian memberikan CPR melalui pompa. "Saya masih memberi semangat, > '> Ayo tolongin anak saya, jangan putus asa.> '> Saya masih optimis, karena saya > masih ingat janji-janji suster sore harinya bagus banget," kata Nova. > > Bima kemudian disuntik adrenalin, detak jantungnya sempat naik, tapi > kemudian tak ada sambutan lagi, dan... hilang. Dengan alat kejut jantung pun > tak bisa mengangkat lagi, grafik detak jantungnya tak bergerak lagi. > > "Sudah bu, kami sudah berusaha, maaf..," ujar perawat. > > Tubuh Nova langsung lemas, antara percaya tidak percaya, Bima, anak semata > wayangnya, telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tepat pukul 02.15 > pagi. > > Ia hanya bisa menyayangkan, mengapa pada saat kritis itu, tak ada satu > dokter pun yang menangani anaknya. > > Satu hal yang masih berkecamuk di benak Nova dan kerabatnya hingga hari ini, > adalah: Kok bisa sih di kota metropolitan, dengan rumah sakit yang katanya > favorit, penderita demam berdarah tidak tertolong nyawanya? > > Padahal, biaya yang harus dikeluarkannya selama dua hari dirawat di rumah > sakit, cukup besar, lebih kurang Rp12,5 juta. Mengapa pelayanan yang > diterimanya sedemikian buruk? > > Dalam keadaan marah dan kecewa, ia sempat ingin menggugat pihak rumah sakit. > Tetapi setelah mempertimbangkan kemungkinan anaknya akan diotopsi, Nova > menyurutkan langkahnya. "Saya tidak mungkin melakukan itu (otopsi) pada anak > saya," ujarnya lirih. > > Ia hanya berpesan kepada para orangtua, begitu anak panas lebih dari 37,5 > derajat Celcius, dan sudah diberi obat demam, suhunya tidak turun-turun, > segera bawa ke dokter. Bila dokter tak berinisiatif mengecek darah, bawa > sendiri ke laboratorium dan periksa darahnya. Kalau perlu, pemeriksaan > laboratorium dilakukan selama dua hari berturut-turut. Bila selama dua hari > itu terjadi penurunan jumlah trombosit segera bawa ke rumah sakit, dengan > menunjukkan bukti penurunan trombositnya. > > "Tidak usah menunggu bintik merah, karena sampai Bima meninggal, tak ada > bintik merah sama sekali di tubuhnya," ujar Nova lirih. (ZRP) > > > --------------------------------------------------------------------- > >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ > >> Info balita, http://www.balita-anda.com > >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] > --------------------------------------------------------------------- >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]