Saya sangat sedih  membacanya ,sebab saya sendiri mengalami akhir bulan Juni 2003 pada 
anak saya Jane .Ceritanya persis  banget sampe infus lewat  leher kanan dan kiri, 
,juga vena session sampe 5 kali gagal di kaki sehingga sampe saat ini masih ada 
bekasnya.juga perut yang makin membesar persis kaya orang hamil 9 bulan. kami 
bersyukur pada Tuhan akhirnya Jane bisa melewati masa kritis tsb.
Semoga Mama Bima dan keluarga diberi kekuatan  dan ketabahan  menghadapi semua cobaan 
ini amin....

Mama Jane

> -----Original Message-----
> From: Taufan Surana [SMTP:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: 17, 02, 2004 08:04 AM
> To:   [EMAIL PROTECTED]
> Subject:      [balita-anda] Bahayanya DB dan lagi-lagi... PARAHNYA pelayanan RS
> 
> Mat pagi...
> 
> Sebagai orang yg pernah terkena Demam Berdarah (DB), saya sangat sedih
> membaca artikel di KCM di bawah ini. LAGI-LAGI, RS yg terkenal mahalpun
> TIDAK MAMPU menunjukkan kualitasnya.
> 
> Hati-hati untuk semuanya.... sayangnya, tuntutan hukum tidak pernah
> dilakukan semaksimal mungkin.
> 
> rgds,
> 
> Taufan
> ---
> Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."
> 
> Jakarta, KCM
> 
> Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru,
> Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata
> wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6
> tahun itu.
> 
> Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang
> menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan
> dokter juga tidak maksimal.
> 
> Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera
> 
> Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi
> tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1
> sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih
> mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima
> menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih
> mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah
> Bima pulang ke rumah dijemput supir.
> 
> "Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack.
> Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat,
> jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova,
> ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu.
> 
> Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah
> disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa
> disuruh Bima mengerjakan PR-nya.
> 
> "Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal
> sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR
> atau shalat," kata sang ibu.
> 
> Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat
> tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera
> kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan
> kisah binatang kesukaannya.
> 
> "Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil
> termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup
> tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang
> sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun.
> 
> Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang
> anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa
> panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius.
> 
> Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama
> sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus
> diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan
> alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang
> tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"> 
> 
> Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke
> dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi,
> Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00
> pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu
> tubuh Bima masih cukup tinggi.
> 
> Pagi-pagi sekali, Jum> '> at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke
> Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya.
> 
> "Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter
> di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.
> 
> Muntah-muntah
> 
> Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa.
> Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang
> mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa
> karena dokter baru tiba siang hari.
> 
> Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat
> Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit,
> buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya.
> 
> "Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi
> lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol
> Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai  kelelahan
> mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova.
> 
> Usai shalat Jum> '> at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras.
> Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng,
> terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan
> Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
> 
> Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat
> berbahaya.
> 
> Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa  berangkat
> ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah
> menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru
> bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30.
> 
> Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain. "Saya
> pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus," ujarnya
> 
> Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu dengan
> sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut. Paru-paru dan
> perutnya ditekan-tekan, sembari bertanya, "Sakit nak?", Bima menggeleng,
> "Tidak".
> 
> Usai memeriksa, dokter mengatakan, "Nggak apa-apa ini bu. Anak ibu hanya
> menderita radang tenggorokan." Ketika Nova bertanya mengapa anaknya muntah
> luar biasa, bahkan air dari perutnya keluar banyak sekali? Dokter menjawab
> enteng, "Ah, anak ibu belum dehidrasi. Minumnya masih banyak kan? Ini cuma
> radang saja kok."
> 
> Sewaktu didesak lagi soal muntah yang berlebihan dokter hanya mengatakan
> iritasi di tenggorokan memang menyebabkan gatal dan muntah. "Penjelasan itu
> tidak memuaskan saya, kemudian saya tanya lagi, perlu infus apa tidak ya?"
> Dokter menjawab enteng, "Tidak."
> 
> Suaminya, sempat menyenggol lengannya, "Yang sekolah siapa sih?" tanyanya
> bercanda, agar Nova menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya.
> 
> Nalurinya sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya, membuat Nova terus
> mempertanyakan jawaban dokter yang menurutnya tidak meyakinkan.
> 
> "Lalu kami ke luar ruangan. Anak saya minta jaketnya dibuka. Begitu dibuka
> saya kaget lihat tangannya seperti orang kena tampek, ada bercak-bercak
> hitam. Aduh anak saya nggak begini nih tangannya. Saya balik lagi. Dok
> kenapa nih Bima, kok tangannya begini? Yang saya tahu anak saya tangannya
> mulus banget," tanya Nova kepada dokter. "Ah nggak apa-apa, karena panasnya
> tinggi, pembuluh darahnya lebih kelihatan," jawab dokter enteng.
> 
> Dokter memberikan obat antibiotik cair, Velocef, 250 miligram, obat demam
> Proris dan Parasetamol 300 miligram.
> 
> "Nanti kalau sudah minum obat ini 3 hari, dan belum sembuh, cek darah ya,"
> pesan dokter.
> 
> Sesampainya di rumah, Nova langsung memberikan obat-obat itu pada anaknya.
> Setelah minum obat pemberian dokter, muntah Bima berkurang, demamnya pun
> turun, meski masih 38,5 derajat Celcius. "Oh obatnya bekerja, pikir saya
> senang."
> 
> Tapi, Nova tak lantas berhenti berikhtiar. Ia mencoba mendapatkan second
> opinion dari dokter lain. "Saya itu orangnya paranoid. Saya tak pernah
> percaya satu dokter. Saya cek lagi ke dokter lain."
> 
> Entah mengapa, kali ini Nova meminta pendapat dari mertuanya yang juga
> dokter spesialis anak. "Pa, saya kok nggak puas, tolong Bima diperiksa
> lagi."
> 
> Sang kakek kemudian memeriksa cucu laki-lakinya dengan teliti, termasuk
> melihat obat yang diberikan dokter. "Nggak apa-apa. Dia radang tenggorokan.
> Obat yang sudah diberikan dokter minum saja, habiskan. Itu sudah benar,"
> kata sang kakek.
> 
> Nova belum puas juga dengan jawaban itu. Dia bertanya-tanya dalam hati,
> setahunya anak demam tidak boleh lama-lama. Ia takut otak anaknya akan
> mengecil, atau ada efek lainnya. Namun, mertuanya meminta Nova berpikir
> positif saja untuk anaknya.
> 
> Beli kambing kurban
> 
> Hari Sabtu (31/1), kondisi Bima membaik. Anak ini malah sempat membeli
> kambing yang akan dikurbankannya pada hari raya Idul Adha. "Bu, aku ingin
> kurban, dan kambingnya aku pilih sendiri."
> 
> Usai memberi makan kambing yang baru dibeli bersama ibunya, Bima bermain
> dengan sepupunya. Muntahnya sudah berhenti dan suhu tubuhnya 37,5 derajat
> Celcius.
> 
> Keesokkan harinya, Minggu (1/2), pada hari raya Lebaran Haji, Bima masih
> bermain seperti biasa. Hanya saja ia terlihat lemas, dan lebih banyak
> tidur-tiduran. Nova sempat memberinya jus jambu. Namun, Bima sudah tak mau
> makan. Ia hanya minum terus.
> 
> Malam harinya, kira-kira pukul 21.30, kakeknya menanyakan kabar Bima via
> SMS, "Bagaimana posisi Bima?" Dijawab Nova, panasnya masih 38,5 derajat
> Celcius. "Coba cek darah," jawab sang kakek yang diiyakan Nova.
> 
> Menjelang sebuh, suhu badan badan Bima mendadak naik 40,5 derajat Celcius.
> "Saya panik. Anda yang nggak beres nih. Wong panasnya sudah turun kok naik
> lagi. Pasti ada infeksi," tutur Nova. Bima, masih sempat minta makan. "Bu,
> aku pengin makan," kata si anak. Ibunya memberi pisang ambon.  Tak berapa
> lama, Bima malah muntah-muntah. Kali ini, muntahannya agak berbeda. Seperti
> ada lendir coklat. "Saya tidak curiga karena saya bayangkan jika pisang
> ambon teroksidasi warnanya berubah coklat."
> 
> Yang mengherankan, ketika suhu badannya diukur, bagian atas menunjukkan
> angka 40.5 derajat Celcius, namun dari pangkal paha sampai kaki, sangat
> dingin.
> 
> Senin sore (2/2) sekitar pukul 15.00, Bima digotong ke UGD RS Pondok Indah.
> Setengah jam kemudian, Bima sudah tiba di RS. Melihat kondisi Bima, dokter
> jaga UGD langsung berkomentar, "Aduh, anak ibu kayaknya DB nih." Nova balik
> bertanya, "Apa DB dok?" ,"Demam berdarah," jawab dokter. "Saya langsung
> lemes," ujar Nova.
> 
> Paramedis di rumah sakit langsung panik, mereka segera melakukan cek darah
> memastikan jumlah trombositnya. Saat itu, trombositnya masih 20.000.
> 
> Bima disarankan segera masuk ICU. Sayangnya, ICU di rumah sakit tersebut
> sudah penuh. Ruang ICCU pun sudah tak bisa menampung lagi. Akhirnya, Nova
> diberi tiga pilihan, RSCM, RS Bintaro atau sebuah rumah sakit elit di
> wilayah Jakarta Selatan.
> 
> Berdasarkan pertimbangan mertuanya yang berprofesi dokter, Nova memilih yang
> terakhir. Apalagi rumah sakit tersebut, jaraknya cukup dekat dari rumahnya.
> "Tapi jujur saja, sebenarnya perasaan saya tidak setuju Bima dirawat di
> rumah sakit tersebut," tuturnya.
> 
> Kepada dokter di RS Pondok Indah, Nova sempat menyayangkan, mengapa pada
> pemeriksaan pertama, anaknya tak terdeteksi demam berdarah. Malah, menyuruh
> kembali lagi setelah 3 hari. "Dokter itu sudah nggak bisa ngomong apa-apa> 
> lagi," ujar Nova.
> 
> Ia juga kesal pada mertuanya karena sebagai dokter tak bisa mendeteksi demam
> berdarah yang diderita Bima.
> 
> Senin malam itu, Bima dibawa dengan ambulans kerumah sakit yang sudah
> dipilih keluarganya.
> 
> Sebelum berangkat, Nova sempat bertanya pada dokter Hinky Hindra Irawan
> Satari, ahli spesialis penyakit daerah tropis yang berpraktik di RSCM, soal
> tindakan apa yang akan diambil dokter dalam keadaan Bima yang sudah kritis.
> Diterangkan oleh dokter, Bima harus segera mendapatkan vena session, infus
> di bagian kaki. Karena dari tangan sudah tidak bisa, darahnya sudah membeku.
> 
> "Saya bertanya lagi, apakah di rumah sakit yang akan kami tuju itu sudah
> mengerti tindakan yang akan dilakukan. Dokter mengatakan di sana sudah siap,
> dan begitu tiba, langsung diambil tindakan. Saya percaya saja."
> 
> Hanya ditangani perawat
> 
> Sesampainya di rumah sakit yang dituju, alangkah terkejutnya Nova, karena
> Bima kembali dimasukkan ke UGD, dan menjalani pemeriksaan dari awal lagi.
> 
> "Saya membentak petugasnya, ini kan sudah ada file-nya dari RS Pondok Indah,
> kok masih diperiksa ulang. Mereka nggak jawab. Entah apa memang demikian
> prosedur rumah sakit. Lama sekali anak saya diperiksa di UGD, baru kemudian
> dibawa ke ICU."
> 
> "Yang lebih hebat lagi," lanjut Nova, "Sejak anak saya masuk, dia hanya
> ditangani suster. Dokter anak, yang harusnya berjaga di ICU baru datang
> menjelang tengah malam. Ketika dia datang, anak saya sudah rapi, dan sudah
> diinfus oleh suster. Dia tinggal lihat-lihat aja."
> 
> Akibat dokter datang terlambat, perawat yang menangani, sempat berkali-kali
> salah menusukkan jarum infus ke tubuh Bima yang darahnya sudah mengental.
> "Suster itu seenaknya tusuk sana, tusuk sini, salah- salah terus, sampai
> anak saya teriak-teriak," tutur Nova dengan nada tinggi.
> 
> Kepada dokter tadi, Nova sempat bertanya mengapa anaknya tidak mendapatkan
> vena session. "Ini sudah cukup, nggak perlu lagi," kata dokter. "Saya diam
> saja. Dia malah menyarankan foto paru-paru lagi,  artinya kembali lagi pada
> pemeriksaan awal yang sudah dilakukan di RS Pondok Indah."
> 
> Selasa pagi (2/2), sekitar pukul 8.00, kondisi Bima drop. Ia merasa
> kedinginan luar biasa. Suhu tubuhnya 35,5 derajat Celcius. Dokter dan
> perawat terlihat panik. "Kenapa dokter pada panik, saya nggak ngerti. Anak
> saya kemudian dikasih pemanas. Alat itu, semacam ada lampunya, yang dipasang
> dari bagian pinggang sampai kaki Bima."
> 
> "Ibu masih dingin sekali, minta selimut. Empat deh bu selimutnya, " keluh
> Bima berulang-ulang.
> 
> Nova menanyakan kepada perawat mengapa anaknya menggigil kedinginan. "Nggak
> apa-apa bu, pasien demam berdarah memang begitu, kadang stabil, kadang
> shock."
> 
> Pada saat kritis itu, barulah beberapa dokter datang, malah ada yang
> menyarankan mencari dokter anestesi untuk melakukan vena session. "Saya
> pikir kok baru sekarang diambil tindakan vena session, padahal saya sudah
> menanyakan hal itu sejak tadi malam," pikir Nova.
> 
> Lebih mengherankan lagi, dokter anak yang menangani Bima, baru pagi itu
> memeriksa seluruh catatan medis Bima. "Mana file dari RS Pondok Indah? Mana
> foto paru-paru? Mana hasil pemeriksaan darah? Mana laporan trombosit?" tanya
> dokter itu panik. "Semua kertas-kertas itu berserakan di atas meja. Padahal
> kondisi anak saya sudah sangat drop, dan dokter baru mempelajari catatan
> medisnya," tutur Nova kesal.
> 
> Wajah-wajah dokter dan perawat terlihat panik, malah ada sebagian yang
> berusaha menahan air mata. "Mereka kelihatan putus asa. Tetapi tetap tidak
> ngomong apa-apa pada saya. Kenapa muka mereka begitu?" tanya Nova dalam
> hati.
> 
> Pagi itu juga Bima mendapatkan vena session, infus di bagian kakinya,
> ditambah infus di bagian leher. "Ada tiga selang yang masuk ke leher anak
> saya," kata Nova, yang berusaha memastikan apakah dokter yakin dengan
> tindakan infus di bagian leher anaknya.> 
> 
> "Ini satu-satunya kesempatan," ujar dokter itu. Alasannya, di bagian leher
> ada pembuluh darah besar, jadi lebih gampang. Perawat juga memasang infus di
> bagian selangkangan Bima.
> 
> Setelah beberapa lama dipasang, infus di bagian selangkangan Bima
> menimbulkan bengkak. Ketika ditanyakan, perawat dengan enteng berujar, "Oh,
> ternyata yang di sini nggak bisa dok, infusnya nggak masuk," kata Nova
> menirukan ucapan suster tersebut.
> 
> Sempat terlintas dalam pikiran Nova, memindahkan anaknya ke rumah sakit
> lain, tapi kondisi Bima sudah terlalu parah. Satu-satunya hal yang bisa
> dilakukannya tinggal ikhtiar dan berdoa.
> 
> Tinja berwarna hitam
> 
> Selasa sore, Bima buang air besar. Nova semakin cemas, karena warna tinja
> anaknya hitam. "Saya kaget,  kok tinjanya berwarna hitam. Ketika saya tanya
> ke dokter, dijawab tidak apa-apa. Itu merupakan proses perjalanan penyakit."
> 
> Namun, kondisi Bima semakin parah. Sekujur tubuhnya, mulai dari kepala
> sampai kaki membengkak. "Bima diguyur 9 botol infus. Itu apa saja, saya
> nggak tahu," ujar Nova sedih.
> 
> Ia kembali bertanya kepada dokter, "Kok bengkak sih dok? Ini gimana anak
> saya?", "Nggak apa-apa bu, nanti kempes sendiri, sejalan dengan keluarnya
> virus, nanti kempes sendiri," jawab dokter.
> 
> Diantara bagian tubuh lainnya, paha Bima, yang terlihat paling besar karena
> bengkak. Nova kembali bertanya, "Dok kok pahanya besar sekali?", dokter
> menenangkan, "Nggak apa-apa, itu proses perjalanan penyakit. Ibu tenang
> saja."
> 
> Dalam kondisi tubuh membengkak, Bima masih sadar dan bertanya pada ibunya,
> "Bu, kapan teman-teman mau jenguk aku? Aku pengin pulang, aku pengin sekolah
> lagi, aku mau main sama temen-temen. Bu, bawa dong temen-temen aku ke sini,"
> kata Bima mengoceh sampai tengah malam.
> 
> Sore harinya, pukul 17.00, suster kepala ruangan masih memberi informasi
> yang cukup menghibur. Lima jam lagi Bima akan berhasil melewati masa
> kritisnya. "Apa maksudnya," tanya Nova. "Sebentar lagi, Bima, akan normal,"
> jawab suster yang memberitahukan posisi trombosit Bima 29.000.
> "Alhamdulilah," sahut Nova bersyukur.
> 
> Hari itu, Bima ingin sekali minum fruit tea rasa anggur dan peach. "Dia juga
> lapar, pengin makan. Karena puasa, saya hanya memberi air sesendok. Itu pun
> ditegur perawat."
> 
> "Bu, aku pengin minum yang glek-glek, kok nggak boleh sih, pelit amat," ujar
> Bima lagi.
> 
> Hari Rabu, pukul 01.00 dini hari, Bima meminta ibunya membersihkan
> darah-darah kering disekitar jarum infusnya. "Bu, tolong bedak-bedakin juga
> dong. Ibu cium-cium juga ya," pintanya.
> 
> Nova menciumi tangan anaknya. "Gantian dong bu, tangan yang satu lagi, "
> kata Bima. "Kakinya, ciumin juga ya bu," lanjutnya. Setelah puas diciumi
> ibunya, Bima minta ijin tidur. "Bu, aku tidur ya." Sebelum tidur, Bima
> sempat membaca doa.
> 
> Pada saat anaknya tidur, Nova menanyakan kondisi anaknya pada perawat.
> Semuanya dijawab bagus. Air di paru-parunya pun sudah berkurang. "Entah itu
> sekadar lips service atau apa, tetapi mereka memberi harapan optimal kepada
> saya," tutur Nova.
> 
> Pukul 01.30, Nova sempat shalat di samping tempat tidur Bima. Tiba-tiba
> anaknya memanggil, "Ibuuu.., berpelukan", belum sempat Nova memeluk anaknya,
> baru berlari ke arah tempat tidurnya, Bima sudah ngos-ngosan, nafasnya
> sesak. Nova segera berteriak memanggil suster, memintanya mengambil alat
> pacu jantung.
> 
> Tetapi, satu orang perawat ICU yang berjaga ketika itu, malah sibuk mengatur
> volume selang infus. "Saya bingung dan marah, kok reaksinya seperti itu,
> pintu kaca ICCU saya gedor keras-keras. Tolong anak saya, ambil alat bantu
> pernafasan," teriak Nova.
> 
> Perawat kemudian memberikan CPR melalui pompa. "Saya masih memberi semangat,
> '> Ayo tolongin anak saya, jangan putus asa.> '>  Saya masih optimis, karena saya
> masih ingat janji-janji suster sore harinya bagus banget," kata Nova.
> 
> Bima kemudian disuntik adrenalin, detak jantungnya sempat naik, tapi
> kemudian tak ada sambutan lagi, dan... hilang. Dengan alat kejut jantung pun
> tak bisa mengangkat lagi, grafik detak jantungnya tak bergerak lagi.
> 
> "Sudah bu, kami sudah berusaha, maaf..," ujar perawat.
> 
> Tubuh Nova langsung lemas, antara percaya tidak percaya, Bima, anak semata
> wayangnya, telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tepat pukul 02.15
> pagi.
> 
> Ia hanya bisa menyayangkan, mengapa pada saat kritis itu, tak ada satu
> dokter pun yang menangani anaknya.
> 
> Satu hal yang masih berkecamuk di benak Nova dan kerabatnya hingga hari ini,
> adalah: Kok bisa sih di kota metropolitan, dengan rumah sakit yang katanya
> favorit, penderita demam berdarah tidak tertolong nyawanya?
> 
> Padahal, biaya yang harus dikeluarkannya selama dua hari dirawat di rumah
> sakit, cukup besar, lebih kurang Rp12,5 juta. Mengapa pelayanan yang
> diterimanya sedemikian buruk?
> 
> Dalam keadaan marah dan kecewa, ia sempat ingin menggugat pihak rumah sakit.
> Tetapi setelah mempertimbangkan kemungkinan anaknya akan diotopsi, Nova
> menyurutkan langkahnya. "Saya tidak mungkin melakukan itu (otopsi) pada anak
> saya," ujarnya lirih.
> 
> Ia hanya berpesan kepada para orangtua, begitu anak panas lebih dari  37,5
> derajat Celcius, dan sudah diberi obat demam, suhunya tidak turun-turun,
> segera bawa ke dokter. Bila dokter tak berinisiatif mengecek darah, bawa
> sendiri ke laboratorium dan periksa darahnya. Kalau perlu, pemeriksaan
> laboratorium dilakukan selama dua hari berturut-turut. Bila selama dua hari
> itu terjadi penurunan jumlah trombosit segera bawa ke rumah sakit, dengan
> menunjukkan bukti penurunan trombositnya.
> 
> "Tidak usah menunggu bintik merah, karena sampai Bima meninggal, tak ada
> bintik merah sama sekali di tubuhnya," ujar Nova lirih. (ZRP)
> 
> 
> ---------------------------------------------------------------------
> >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
> >> Info balita, http://www.balita-anda.com
> >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
> 

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke