Daripada bahas pilpres, karena bukan di sini forumnya, lebih baik bahas yg di 
bawah ini.
        Mungkin ada rekan2 yg punya tips untuk meminimalisasi dampak buruk televisi 
terhadap anak2 kita.?

        Tri Agus
        **********


        Menyeleksi Tontonan Balita
       
        CEPAT tanggap dan pintar, demikian komentar Mutiara Rimayanti, pembimbing di 
salah satu sekolah bermain (play group), soal anak-anak didiknya. ''Beberapa kata 
sulit bisa mereka ucapkan karena mereka melihatnya di televisi.''

        Rima mencontohkan kata 'eliminasi' atau 'akademia', menjadi populer di 
kalangan muridnya, karena tayangan Akademi Fantasi Indosiar atau AFI di salah sebuah 
stasiun TV. Mereka yang cerdas juga terkadang mampu menirukan tidak hanya kata-kata, 
tapi gerak dan mimik. Hal tersebut menunjukkan kecerdasan mereka. Biasanya dalam hal 
pelajaran pun tidak jauh berbeda. Mereka akan cepat mengerti dan cepat menangkap 
pelajaran yang diberikan pembimbingnya.

        ''Namun, ada juga pengaruh buruknya. Biasanya kalau ada yang bicara buruk, 
saya isyaratkan bahwa saya tidak suka mendengarnya. Setelah itu, saya dekati dan 
katakan bahwa itu tidak baik diucapkan anak yang baik,'' tambah Rima.

        Peran orang tua, menurut dia, menjadi sangat penting untuk bisa mengawasi 
tontonan anak-anak, karena peran seorang pembimbing atau guru sekolah, sangat minim di 
sekolah, sehingga hanya sedikit waktu untuk memberikan pelajaran soal berkata-kata 
yang sopan dan baik. Sedangkan waktu keberadaan anak di rumah, sangat banyak sehingga 
peran orang tua sangat dibutuhkan, sehingga orang tua wajib mengajarkan ucapan yang 
baik dan sopan bagi anak.

        Orang tua juga wajib memberi tahu anak, jika memang mereka mengucapkan sesuatu 
yang buruk dan kasar. Nasihati dan beri pengertian sesuai dengan bahasa yang bisa ia 
mengerti.

        ''Kami di sini hanya berupaya mengingatkan, sebatas dua sampai empat jam saja. 
Sisanya orang-orang yang berada di rumah yang mampu mengawasi dan menjadi filter, bagi 
pengaruh-pengaruh buruk tersebut,'' tegas Rima.

        Mengomentari hal tersebut psikolog anak Seto Mulyadi mengatakan bahwa semua 
yang ditirukan anak, merupakan upaya trial and error.

        ''Anak-anak tidak tahu mana yang baik atau buruk. Maka kewajiban orang tua 
untuk mengajarkannya secara bertahap dengan penuh kasih sayang,'' ujar Seto yang akrab 
disapa Kak Seto tersebut.

        Karena itu, prinsip reward and punishment perlu diterapkan dalam rangka 
belajar tersebut. Misalnya jika ia menirukan yang baik, kita beri hadiah dengan pujian 
maupun senyuman. Semuanya menandakan yang dilakukan anak adalah benar dan baik untuk 
ia tiru.

        Sebaliknya, jika ia menirukan kata-kata yang buruk, kita beri hukuman dengan 
mengernyitkan kening atau tersenyum datar. Ia akan mengerti bahwa kita tidak suka 
dengan ucapannya. Dan ia akan belajar bahwa itu salah, serta tidak layak untuk ditiru.

        Tetapi tidak cukup dengan hal itu, keteladanan dan bimbingan juga menjadi hal 
terpenting, untuk menjauhkan anak dari pengaruh buruk televisi. ''Orang tua harus 
sadar bahwa anak merupakan peniru terbaik. Anak-anak akan belajar dengan efektif 
melalui sarana yang menyenangkan. Televisi adalah sarana yang menyenangkan karena 
berwarna-warni dan menampilkan suara dan gerak, sehingga 'guru bertombol' ini sangat 
efektif untuk mengajarkan anak,'' tambah Kak Seto. Tayangan program Barney, Si Komo, 
Si Unyil, misalnya, akan terekam dengan mudah, di dalam otaknya. Begitu juga dengan 
ucapan yang berupa menghujat, juga akan ditiru dan dikeluarkan dengan sempurna. Orang 
tua harus sanggup membuat filter sehingga televisi menjadi budaya menonton yang sehat.

        Ia menyayangkan kebanyakan orang menghidupkan televisi yang diletakkan di 
ruang keluarga, nonstop dari subuh hingga malam, sehingga informasi sampah yang tidak 
sepantasnya dikonsumsi anak, tidak tersaring dengan semestinya. ''Nyalakan televisi, 
jika memang kita yakin program yang ditayangkan layak ditonton anak-anak. Hal ini juga 
kita pesankan kepada pengasuh. Sesudah itu kita juga tetap melakukan monitoring,'' 
tutur Kak Seto.

        Pengaruh-pengaruh televisi tersebut bisa kita saring lagi, melalui komunikasi 
dan dialog, dalam bentuk reward and punishment tadi. Jika terlontar kata-kata buruk 
dari mulut mungilnya, tidak perlu sampai memakai amarah. Cukup dengan senyuman datar 
dan memberikan penjelasan secara perlahan-lahan bahwa hal tersebut bukan kata-kata 
yang baik untuk diucapkan olehnya. Yang terpenting adalah sejak dini anak harus 
diperkenalkan baik dan buruk.

        Sementara itu, psikolog anak dari Universitas Atma Jaya Meilinda Surahman 
mengatakan bahwa memang dilema bagi orang tua, jika melihat anak meniru ucapan dari 
televisi. ''Kadang-kadang marah, karena anak menirukan adegan di televisi, tetapi 
sering kali juga memuji dan bangga kalau anak hafal dengan cerita-cerita, atau 
iklan-iklan yang ada di televisi,'' ujar Linda.

        Sepertinya, kata Linda, ada standar ganda di sini, walaupun sebenarnya tidak. 
Orang tua sudah tahu dengan pasti, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas, untuk 
dilihat anak. Di sini orang tua bisa menetapkan program mana yang harus ditonton dan 
ditirukan.

        Tetapi bisa jadi, anak mungkin menjadi bingung dan tidak mengerti. Ditambah 
lagi, kalau standar yang ditetapkan oleh orang tua berbeda dengan yang ditetapkan oleh 
pengasuh. Mengingat bahwa sangatlah sulit bagi orang tua untuk menjauhkan anak dari 
televisi, Linda menyarankan untuk mendampingi anak ketika menonton televisi dan 
memberi penjelasan kepada anak. ''Sebenarnya, dari pada orangtua tiba-tiba mengomel 
ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian 
dan mendampingi anak, ketika menonton televisi. Jika anak bertanya, jawablah 
pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak,'' ujar Linda.

        Dikatakannya, banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak. Oleh karena 
itu, kalau tidak ada yang memberi tahu, ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba 
dan meniru dari orang dewasa, dan apa yang telah dilihatnya,'' tegas Linda.

        Yang kedua adalah dengan membuat jadwal kegiatan untuk anak. Walaupun anak 
sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi 
mengondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi, dengan posisi 
tubuh yang juga pasif. Karena itu, anak tetap perlu waktu untuk bermain supaya mereka 
tetap aktif dan mampu bersosialisasi.

        ''Terakhir adalah dengan menyeleksi program tayangan yang cocok untuk anak. 
Karena itu, orang tua harus terlebih dahulu mengetahui isi acara itu sebelum ia 
sodorkan kepada anak,'' ujar Linda lagi.

        Selain itu, tak kalah penting adalah membangun kerja sama dengan seluruh 
anggota keluarga. Karena percuma kalau hanya orang tua yang menyeleksi, sementara 
pembantu atau pengasuhnya tidak melakukan hal yang sama. ''Dan terakhir adalah 
konsisten dalam bertindak. Kalau memang diputuskan buruk, ya semua harus konsisten 
bahwa kata-kata itu buruk,'' tutur Linda. (LN/M-3)


       



Kirim email ke