Pakai Pampers Terus-menerus Kurangi Sensitivitas Bayi

BOGOR--MIOL: Saat ini ada kecenderungan umum bahwa dengan alasan kepraktisan tak jarang para ibu menggunakan pampers (popok bayi berdaya serap tinggi) untuk bayi di bawah lima tahun (Balita)-nya.

Namun, sebuah seminar tentang Pendidikan Anak Dini Usia dan Pendidikan Tempat Penitipan Anak (TPA) Agriananda yang diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengemukakan bahwa pemakaian pampers terus-menerus akan berdampak psikologis yang kurang baik bagi Balita.

Hal ini diungkap oleh Ketua Pengelola Sasana Bina Balita Mitra Badan Urusan Logistik (Bulog) Jakarta, Dra Tuty Wahyuti PSi.

"Penggunaan pampers terus-menerus dapat mengurangi sensitivitas anak terhadap lingkungan sekitarnya. Kondisi tersebut akan berdampak psikologis yang kurang baik saat dewasa, seperti ketidakpedulian terhadap lingkungan dan rasa percaya diri yang kurang," katanya pada seminar yang digagas Dharma Wanita Persatuan IPB itu.

Lazimnya, kata dia, Balita akan menangis bila merasa kurang nyaman terhadap perubahan lingkungan atau adanya gangguan fisik seperti basah oleh air kencingnya sendiri.

Dengan pemakaian pampers, Balita membawa pipis bahkan 'pub'-nya kemana-mana tanpa terganggu.

Namun, katanya, karena biasa pipis di dalam pampers, menyebabkan anak malas ke kamar mandi dan pipis di tempat, dan mental ini kemudian terbawa ketika dewasa.

Karena itu, ia menyarankan sebagai pengganti, lebih baik menggunakan popok kain. "Ini akan merangsang balita lebih peka pada lingkungan, dan penggunaan pampers hanya digunakan dalam keadaan mendesak saja," katanya.

Pada kesempatan sama, pembicara lain, Ir Alhidayati Aziz, MSi, menyatakan, pemahaman tentang perkembangan anak usia dini perlu dipahami oleh para ibu.

Ia mengatakan, selain dipengaruhi gen, perkembangan otak anak juga dipengaruhi lingkungan.

Saat lahir, kata dia, otak meproduksi lebih dari triliunan neuron dan synap-synap (hubungan antar sel-sel otak) yang sangat dibutuhkan, di mana Synap berfungsi menghubungkan dunia luar dengan otak.

Selama tiga tahun pertama kehidupan, katanya, synap-synap berkembang cepat melalui rangsangan dari luar.

Anak mencapai intelektual tertinggi (sekitar 50 persen) pada masa itu, di mana synap- synap ini cenderung menjadi memori tetap dan hilang bila tidak digunakan.

Menurut dia, stress atau trauma emosional menyebabkan otak memproduksi hormon. Tingkat hormon tinggi seperti kartisol mengakibatkan sel otak mati dan hubungan antar sel berkurang.

Menurut Alhidayati, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan otak kiri. Otak kiri mengatur bagian tubuh sebelah kanan dan sebaliknya. Belahan otak kiri sangat penting untuk berbicara dalam menulis, keterampilan berhitung dan ilmiah, memahami bahasa isyarat, serta pikiran logis.

Sedangkan belahan otak kanan bertanggung jawab untuk kesadaran musik, seni, persepsi ruang, pola, wawasan dan imajinasi.

Ia menjelaskan, gerakan dapat merekatkan kedua belahan otak, sehingga memungkinkan anak menyampaikan informasi antara belahan otak kanan dan kiri.

Alasan inilah, katanya, meniscayakan anak usia dini harus bergerak untuk bisa belajar, di mana mereka bisa memperhatikan dan belajar jika bebas bergerak, sementara duduk diam merupakan tekanan dan menghambat kemampuan anak menyerap seluruh informasi baru.

"Kita kadang menganggap anak yang diam itu baik, tidak merepotkan. Tapi sebenarnya itu berbahaya karena otak anak tak berkembang. Jadi jangan paksa anak untuk diam meski kita terganggu dengan aktivitasnya," katanya.

Dari dasar ini, kata dia, seharusnya sebuah taman penitipan anak didirikan dengan mengembangkan suasana bermain menyenangkan, yang akan merangsang proses belajar yang cepat pada anak.

Oleh karena itu hendaknya TPA menyediakan tiga jenis mainan yakni mainan sensorimotor, mainan peran dan mainan pembangunan, katanya. (Ant/O-2)

M. Tri Agus
Divisi Kepatuhan Bank BNI
Telp. 5728569

Kirim email ke