Amanda adalah Potret Sosial Kita
Dalam hal kemampuan mengungkap kasus kriminal, Polri memang patut diacungi jempol. Tingkat keberhasilannya lebih baik dari sejumlah negara maju, termasuk dibandingkan dengan Amerika Serikat. Dalam hal kasus pembunuhan Amanda Devina (22), Polri berhasil mengungkapnya hanya dalam waktu tiga hari. Pembunuhan Amanda oleh kawan dekatnya, Ronald Johan P Aroean (23), sebetulnya peristiwa kriminal biasa. Namun kasus ini mampu membetot perhatian pers. Padahal begitu banyak peristiwa kriminal yang terjadi setiap hari di sekitar kita. Kita bisa merunut faktor penyebabnya, misalnya karena faktor status mahasiswa universitas ternama, berlatar belakang keluarga berada, pembunuhan, dan hamil di luar nikah. Dari pemberitaan pers pula kemudian terungkap bahwa Amanda adalah 'gadis baik-baik'. Dia tak mengenal dugem (dunia gemerlap) alias kehidupan malam, tak pernah pulang larut malam, jika bepergian selalu izin, rajin belajar, patuh pada orangtua, dan seterusnya. Hal itu diungkapkan kawan-kawan dan orangtua almarhumah. Lalu, kenapa seakan ada dunia lain pada diri Amanda di luar pengetahuan kawan-kawan dan orangtuanya? Gejala inilah yang kini banyak dijumpai di sekitar kita. Amanda hanyalah satu contoh. Kehidupan sosial kita sedang berubah. Dalam periode perubahan ini ada jarak antara nilai lama dan nilai baru. Individualisme adalah salah satunya. Kita sibuk pada urusan masing-masing. Ini bukan hal yang patut dicela. Karena dari individualisme akan muncul lompatan-lompatan prestasi. Sejarah menjadi lebih cepat bergerak, dibandingkan cuma kolektivisme. Tentu ada dampak buruknya, misalnya hubungan antar-manusia menjadi makin penuh perhitungan oleh kepentingan dan keuntungan pribadi. Keakraban, kehangatan, kepedulian, dan kesahajaan menjadi kurang mendapat porsi. Komunikasi menjadi terlalu verbal, dan kedalaman hati makin sulit diraih. Keluarga hanya bercengkerama dalam waktu yang sempit. Sentuhan kemanusiaan menjadi barang langka. Untuk menutup itu, di sejumlah negara maju, pemerintah bisa membuat aturan agar keluarga memiliki waktu lebih banyak untuk berkumpul. Misalnya toko hanya boleh buka mulai pukul 10.00 dan tutup pukul 18.00. Transportasi dibenahi agar warga tak 'tua di jalan'. Lebih cepat sampai di rumah adalah jauh lebih mahal dari menikmati kemacetan lalu lintas. Sehatnya transportasi juga berarti sehatnya jiwa penduduk kota. Indiviualisme juga mampu mengubah hubungan-hubungan pribadi, seperti hubungan antara pria dan wanita: makin permisif. Di masyarakat Barat hal itu bukanlah soal. Bahkan itu menjadi komplementer dengan perubahan yang terjadi pada lembaga keluarga, yang dimulai sejak Revolusi Industri abad ke-16 di Eropa. Terjadi perubahan dari masyarakat kekerabatan ke masyarakat individualistik. Sebelumnya, gerakan sekularisme telah meminimalkan peran nilai-nilai dan lembaga agama. Karena itulah, kini kita menyaksikan seks bebas menjadi nilai bahkan norma yang dijamin dalam hukum positif di Barat. Kehamilan di luar nikah di sana adalah hal biasa, bahkan perempuan tanpa suami memiliki anak kandung pun lumrah. Tak perlu ada aib, tak perlu menciptakan kriminalitas yang eksesif. Namun kita bukanlah Barat. Kita punya kultur yang berbeda. Lembaga keluarga tetap kokoh, individualisme belum meruntuhkan masyarakat kekerabatan, hamil di luar nikah adalah aib, perempuan tanpa suami memiliki anak kandung adalah 'penyelewengan sosial', dan seterusnya. Kenyataan ini menimbulkan ketegangan sosial. Anak-anak kita menjadi tak terbuka. Ada dunia lain yang tidak kita ketahui di luar sana. Fakta ini makin menyadarkan kita bahwa denyut sosial harus berkolerasi dengan program pemerintah. Bahwa kehidupan politik tak semata soal kekuasaan. Proses legislasi yang teralienasi dengan denyut sosial akan meruntuhkan sendi-sendi sosial kita. Pembangunan kota yang tak memperhatikan kesehatan jiwa penduduknya hanya menciptakan monster di sekitar dan di antara kita. Kita menjadi homo hominim lupus, manusia menjadi serigala bagi yang lainnya. Kita ingin keluarga kita terlindungi. Kita ingin dunia lain anak-anak kita tak bias. Mengapa kasus ini harus dibawa ke soal pemerintah dan politik? Karena kita sedang dalam fase transisi, dan karena kehancuran kita saat ini adalah akibat kebobrokan penguasa. Save our soul. Republika, Kamis, 05 Agustus 2004