Jadi bagusnya anak tuh masuk PG dulu ga  ya
Krn kadang2 ada juga bbrp TK yang memprioritaskan anak lulusan PG
Cmiiw

ina




-----Original Message-----
From: Bambang Agustutianto [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: 10 Agustus 2004 14:08
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: RE: [balita-anda] Fenomena Sindrom "Hurried Child"

kesian yaa angina....

-----Original Message-----
From: Angina's Mom [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, August 10, 2004 2:04 PM
To: Kiki Nindya Asih
Subject: Re: [balita-anda] Fenomena Sindrom "Hurried Child"


Mungkin, aku adalah salah satu ortu yg terlalu dini menyekolahkan
anaknya. Angina (2,4th) udah aku masukin sekolah/playgroup.
maksudku hanya ingin memberikan kesibukan yg terarah, daripada main2
di ruman. kasian kan, membosankan. klo disekolah bisa ketemu temen2
(bersosialisasi), banyak permainan dan kegiatan yg lebih terarah.

aku samsek ga takut anakku bakal ketinggalan dan bodoh. aku jg ga
bermaksud agar anakku bisa cepet baca dan berhitung. menurut aku belum
waktunya. semua itu bukan alasanku menyekolahkan Angina. justru aku
mau Angina having fun aja disekolahnya, main2.. punya banyak temen.

Tapi, kenyataannya...persis spt imel di bawah ini. Angina udah
dijejalin kegiatan yg segunung. malah mau ditambah sama eskul segala
after school. bete :( udah diajarin hurup hurup. aku lom selidiki
metoda mengajarkanya spt apa. yg pasti setiap hari Angina dibekali PR.
arrgghhh... mosok di playgroup udah ada PR sih. sebelll... kasian kan.

walaupun Angina hanya buat lingkaran2 doang dibuku kotak2 yg sudah
dapet dari sekolahnya. bete jg. setiap hari 1 halaman.

aku gregetan banget klonemenin Angina buat PR. buat 10 lingkaran,
berhenti. ngambil balok2 susunnya. "mamah aku main dulu yah.
"lho..nulisnya kan belum selesai. "udah, aku mau main aja.
aku mesti rayu rayuuuu, baru deh lanjut lagi.

udah gitu klo aku pegangin tangannya (biar bikin lingkaranya bagus),
Angina ga mau. langsung dilepas pinsilnya. dia maunya nulis sendiri.
ya udah, Angina yg buat lingkaran2, aku yg ngasih semangat. klo aku
bilang "bola mama. angina buat satu lingkaran. dst.. bola papa, bola
bu lisa, bola oma, bola dede rika,... semua nama orang yg dia tau aku
sebutin. sampe ke tetangga2. klo aku ga sebutin..dia nungguin aku
omong buat lingkarannya. hehe.. klo aku ulang lagi "bola mama! Angina
protes. "mama kan udahh. "iya, gpp sayang. mama mau bolanya dua. boleh
kan?? "boleh. baru deh bikin lagi lingkarannya...fiuhhh!!

/dewi/



Tuesday, August 10, 2004, 11:23:03 AM, you wrote:

KNA> ....."Saat ini banyak orangtua memasukkan anaknya ke sekolah dalam usia
dini. Usia 5-6 tahun sudah masuk SD, usia yang seharusnya masuk kategori
prasekolah. Juga menjadi kebiasaan, mengajari
KNA> anak membaca dan berhitung sejak usia di bawah lima tahun. Bahkan,
sudah menjadi tren, anak balita diajari bahasa Inggris dan komputer.
Padahal, tugas akademis semacam itu baru diberikan pada
KNA> masa sekolah. Para orangtua selalu beralasan takut anaknya dikatakan
bodoh dan tertinggal.

KNA> Dalam konteks isi kurikulum, anak-anak telah dieksploitasi melalui
pemberian beban materi pelajaran yang demikian menggunung. Di TK, anak-anak
sudah diajari membaca dan berhitung. Di SD, materi
KNA> pelajaran semakin berat, termasuk bahasa asing pun sudah
diajarkan......"



KNA> http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/09/Didaktika/1193383.htm

KNA> Fenomena Sindrom "Hurried Child"



KNA> Hasin Abdullah

KNA> PENERAPAN program kelas akselerasi yang tiga tahun terakhir ini begitu
marak dilaksanakan di tidak kurang dari 110 sekolah menuai beberapa masalah.
Hasil penelitian Fakultas Psikologi
KNA> Universitas Indonesia terhadap 11 sekolah perintis penyelenggara
program di Jakarta menunjukkan adanya beberapa penyimpangan dalam
pelaksanaannya. Misalnya, penyimpangan dalam mekanisme
KNA> perekrutan, ketiadaan pembinaan mental bagi peserta untuk menghindari
problem psikologis, termasuk pula adanya diskriminasi dalam memperlakukan
kelas akselerasi dan kelas reguler (Kompas, 24
KNA> Juli 2004).

KNA> Hal krusial yang harus dicermati sebagai efek domino dari adanya
penyimpangan itu adalah munculnya ekses-ekses negatif yang luput dari
perkiraan semula. Ekses tersebut terutama menyangkut
KNA> persoalan sosial dan psikologi peserta kelas akselerasi. Seperti
dituturkan beberapa peserta kepada Kompas (26 Juli 2004), mereka merasa
terbatas dalam proses interaksi. Label "peserta kelas
KNA> akselerasi" menjadikannya sebagai kelompok "eksklusif" sehingga
menyebabkan mereka semakin terbatas untuk melakukan interaksi dengan
teman-teman di sekolahnya.

KNA> Kesibukan luar biasa dalam kegiatan belajar juga membuat mereka merasa
terasing dari dunianya. Akibatnya, beberapa peserta mengaku tidak bisa
merasa "nikmat" dengan kelas semacam itu. Bahkan,
KNA> ada seorang peserta yang senantiasa dihantui perasaan takut gagal dalam
proses pergaulan dengan teman-teman sekolahnya. Bagaimana tidak! Dalam usia
12 tahun-usia yang layak untuk anak SD-ia
KNA> harus duduk di bangku SMA. Bisakah ia beradaptasi dengan teman-teman
yang sebetulnya tidak sebaya itu?

KNA> Kenyataan seperti itu jelas memprihatinkan! Sebab, siswa yang harus
jadi korban. Mereka termarjinalkan dari dunianya yang semestinya
menyenangkan dan penuh warna. Yang patut ditanyakan adalah
KNA> sebenarnya untuk siapa program itu dibuat? Untuk siswa, orangtua,
ataukah sekadar memenuhi ambisi para birokrat pendidikan yang terkadang
sarat dengan muatan politis? Kalau memang untuk
KNA> siswa-dalihnya untuk membantu siswa yang punya bakat dan kemampuan di
atas rata-rata- mengapa justru siswa yang menjadi korban? Itulah esensi
permasalahan dalam tulisan ini.

KNA> Sindrom "hurried child"

KNA> Anggapan bahwa kelas akselerasi untuk siswa masih perlu dipertanyakan.
Sebab, ada benang merah antara hal itu dan sebuah "penyakit" yang dua dekade
terakhir ini menjelma menjadi semacam epidemi
KNA> di masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh David Elkind sebagai sindrom
hurried child (Amstrong, 2002: 173).

KNA> Di antara ciri-ciri sindrom tersebut adalah memberi banyak beban
belajar kepada anak yang dalam alegori Jules Henry- antropolog
Amerika-dikatakan bahwa anak-anak nyaris terus-menerus bekerja
KNA> dalam deraan waktu; memaksa anak untuk menguasai pelajaran dalam waktu
cepat; dan memaksa anak-anak untuk memasuki tugas akademis lebih dini
daripada TK atau kelas I SD.

KNA> Di masyarakat akan begitu mudah ditemukan fenomena semacam itu. Saat
ini banyak orangtua memasukkan anaknya ke sekolah dalam usia dini. Usia 5-6
tahun sudah masuk SD, usia yang seharusnya masuk
KNA> kategori prasekolah. Juga menjadi kebiasaan, mengajari anak membaca dan
berhitung sejak usia di bawah lima tahun. Bahkan, sudah menjadi tren, anak
balita diajari bahasa Inggris dan komputer.
KNA> Padahal, tugas akademis semacam itu baru diberikan pada masa sekolah.
Para orangtua selalu beralasan takut anaknya dikatakan bodoh dan tertinggal.

KNA> Dalam konteks isi kurikulum, anak-anak telah dieksploitasi melalui
pemberian beban materi pelajaran yang demikian menggunung. Di TK, anak-anak
sudah diajari membaca dan berhitung. Di SD, materi
KNA> pelajaran semakin berat, termasuk bahasa asing pun sudah diajarkan.
Bahkan, saat ini sulit dibedakan antara materi SD, SMP, atau SMA. Soalnya,
bobot dan tingkat kesulitannya hampir sama. Tak
KNA> jarang juga, materi SMA disajikan di SD. Karena itu, banyak orangtua
yang mengeluh karena tidak bisa membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah
anaknya yang masih SD karena materinya terlalu
KNA> sulit. Situasi seperti itu memaksa orangtua untuk memasukkan anaknya
pada lembaga-lembaga bimbingan belajar ataupun les-les privat. Hal itu
menyebabkan waktu bermain anak-anak praktis banyak
KNA> terkurangi.

KNA> Di ruang-ruang kelas, guru memperlakukan siswa bak kuda pacuan. Target
kurikulum selalu menjadi alasan bagi guru untuk memaksa siswa agar
cepat-cepat menguasai pelajaran. Kalau perlu pakai
KNA> "cambuk" segala. Tak heran, jam pelajaran di sekolah dirasakan demikian
sempit untuk berpacu dengan materi pelajaran sehingga siswa harus les sana
sini demi menguasai bahan ajar yang sudah
KNA> dipelajari di kelas. Atau, sekolah sendiri yang menyediakan pelajaran
tambahan di sore hari. Sampai-sampai siswa harus sekolah dua kali, pagi dan
sore!

KNA> Sedangkan para orangtua (juga guru), tampaknya, tidak mau tahu akan
berbagai kesulitan dan beban berat yang ditanggung anak-anak. Mereka justru
sangat menikmati dan bangga manakala anak-anaknya
KNA> berhasil seperti yang mereka kehendaki. Betapa para orangtua sangat
bangga menceritakan bahwa anaknya yang berusia empat tahun sudah pandai
membaca dan berhitung. Betapa bangga pula mereka
KNA> bercerita tentang anaknya yang masih duduk di bangku SD mempunyai
sedikit waktu bermain sebab ia harus ikut les ini itu. Begitulah yang
terjadi di masyarakat.

KNA> Tak jauh berbeda kenyataannya dengan dibukanya program kelas
akselerasi. Hampir dipastikan, yang berambisi atas program itu adalah para
orangtua. Terjadinya penyimpangan dalam proses perekrutan
KNA> merupakan bukti nyata bahwa meski anaknya kurang memenuhi persyaratan,
para orangtua tetap memaksa dengan melakukan "kompromi-kompromi" dengan
pihak penyelenggara.

KNA> Biarkan tumbuh sesuai jadwal

KNA> Sudah saatnya orangtua, termasuk pihak yang berkepentingan dan
bertanggung jawab akan pendidikan, mengubah paradigma soal masa belajar
anak. Tak perlu lagi ada paksaan-paksaan agar anak-anaknya
KNA> harus lebih dini dan lebih cepat dalam belajar. Bagaimanapun anak
adalah anak. Kata Khalil Gibran: "Anakmu bukanlah anakmu. Dia adalah anak
kehidupan. Engkau bisa menguasai raganya, tapi tidak
KNA> bagi jiwanya."

KNA> Sudah saatnya orangtua tidak menjadikan anak sebagai alat untuk
memenuhi ambisi dan keinginan-keinginan besarnya. Biarkan anak bertumbuh
kembang sesuai kodrat alam, sesuai dengan "jadwal" mereka
KNA> sendiri: bukan atas kemauan kita (para orang tua)!

KNA> Oleh karena itu, kelas akselerasi sepantasnya tidak perlu ada. Kalau
toh ada anak yang punya kelebihan IQ daripada temannya, biarkan kelebihan
itu berkembang secara alamiah. Sebab, kecerdasan
KNA> seorang anak tidak berdiri sendiri. Hal itu harus ditopang oleh
kematangan emosional dan sosial. Hanya dari lingkungan yang "wajar"-lah ia
akan mendapat semua itu, yakni lingkungan yang memberi
KNA> kesempatan bagi dia untuk menikmati kehidupan sosial sesuai dengan usia
dan perkembangan kejiwaannya.

KNA> Hasin Abdullah Guru SMA Negeri 2 Pamekasan, Jawa Timur


---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]


---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke