http://www.wrm-indonesia.org/index.php?option=content&task=view&id=179&Itemid=28&limit=1&limitstart=0

      Oleh: Agnes Tri Harjaningrum, dr     
     
      Wednesday, 27 October 2004

      Halaman 1/2
      "Not all fevers need to be treated but many physicians do so to relieve parental 
concern" Tidak semua panas badan memerlukan pengobatan, namun banyak dokter 
melakukannya hanya untuk mengurangi kegelisahan orangtua. (Europa Journal Pediatric, 
1994 Jun)

      Demam pada anak sering menimbulkan fobia tersendiri bagi banyak orangtua. 
Keyakinan untuk segera menurunkan panas ketika anak demam  sudah melekat erat dalam 
benak orangtua. Demam diidentikkan dengan penyakit, sehingga saat demam berhasil 
diturunkan, orangtua merasa lega karena menganggap penyakit akan segera pergi bersama 
turunnya panas badan. 

      Keinginan untuk menenangkan kegelisahan orangtua inilah yang terkadang 'memaksa' 
dokter  memberikan obat penurun panas walaupun sebenarnya mungkin tidak perlu. Selain 
itu tak dapat dipungkiri bahwa dokter yang gemar melakukan pengobatan 'ala koki' 
(meminjam istilah Dr Paul Zakaria da Gomez- ahli imunologi) masih kerap dijumpai. 
Seperti halnya makanan yang kurang manis ditambah gula, kurang asin ditambah garam, 
begitu pula pengobatan 'ala koki' dilakukan. Apapun penyebabnya, penderita panas badan 
langsung dicekoki obat penurun panas tanpa memastikannya terlebih dulu. 

      Apakah memberikan obat penurun panas ketika anak demam merupakan suatu hal yang 
salah? Bukankah bila demam tidak diturunkan akan menimbulkan kerusakan pada otak? 
Bukankah pemberian obat penurun panas menyebabkan anak terhindar dari kejang demam 
(stuip), membuat anak merasa lebih nyaman dan meningkatkan nafsu makan? Hal-hal 
seperti itulah yang sering terdengar mengenai demam dan banyak didengung-dengungkan di 
berbagai media iklan. Alhasil demam semakin menjadi momok yang menakutkan bagi 
orangtua, dan memperkuat keyakinan orangtua untuk buru-buru menurunkan panas ketika 
anak demam. 

      Namun sesungguhnya para ahli menyatakan bahwa pendapat-pendapat tersebut 
hanyalah mitos belaka karena tidak semua dapat dibuktikan kebenarannya. Keberadaan 
demam justru berperan penting dalam proses penyembuhan penyakit.  Bahkan pemberian 
obat penurun panas ketika anak demam (baik aspirin, paracetamol/acetaminophen maupun 
ibuprofen) terbukti lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positif. 

      Sebelum mengetahui lebih lanjut dampak-dampak tersebut, harus dipahami terlebih 
dahulu bahwa terjadinya demam ketika seorang anak mengalami infeksi bukanlah suatu 
kesalahan. Tuhan memang sudah memberikan demam sebagai reaksi alamiah tubuh terhadap 
adanya  infeksi. Sehingga ketika seorang anak mengalami infeksi, keberadaan demam 
semestinya disyukuri, bukan ditakuti atau diperangi karena hal ini merupakan pertanda 
bahwa mekanisme pertahanan tubuh sedang bekerja untuk melawan penyakit.  Demam memang 
tidak hanya dapat disebabkan oleh infeksi, bisa saja terjadi karena pencetus lain 
seperti reaksi transfusi, tumor, imunisasi, dehidrasi , dan lain sebagainya. Tetapi 
pada anak umumnya demam terjadi karena suatu infeksi kuman, entah itu virus maupun 
bakteri. 

      Mengapa reaksi alamiah tubuh ini harus disyukuri? Berbagai literatur menyebutkan 
bahwa komponen-komponen sistem kekebalan tubuh, seperti sel darah putih (leucocyt) dan 
lymphocyt (salah satu jenis sel darah) akan bekerja lebih baik melawan kuman dalam 
keadaan suhu tubuh yang meningkat ketimbang suhu tubuh normal. Artinya, menurunkan 
suhu tubuh ketika anak demam justru akan melemahkan sistem kekebalan tubuhnya. 

      Saat demam terjadi, pergerakan dan aktivitas sel-sel darah putih yang meningkat, 
serta terjadinya perubahan bentuk lymphocyt dapat membunuh bakteri maupun virus yang 
masuk ke dalam tubuh. Selain itu, jumlah interferon, yang  merupakan salah satu 
substansi anti virus dan anti kanker dalam darah, juga akan meningkat dengan adanya 
demam. Teori tersebut juga didukung oleh sebuah penelitian di laboratorium, pada 
binatang yang sengaja diinfeksi oleh suatu penyakit. Ternyata dengan meningkatnya suhu 
tubuh binatang-binatang yang terinfeksi itu, angka kelangsungan hidup mereka semakin 
meningkat. Sebaliknya dengan menurunkan suhu tubuh ketika terjadi infeksi, malah 
meningkatkan angka kematian binatang-binatang tersebut. 


      Hylary Buttler, seorang peneliti dari New Zealand telah mengumpulkan 
kutipan-kutipan dari berbagai literatur kedokteran yang membuktikan bahwa demam memang 
diperlukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh ketika terjadi infeksi. Sebaliknya 
pemberian obat penurun panas seperti paracetamol/acetaminophen, aspirin dan ibuprofen 
malah memberikan pengaruh negatif. 

      Dalam salah satu kutipan itu disebutkan bahwa pemberian obat penurun panas untuk 
menurunkan demam akan meningkatkan angka kematian dan kesakitan selama infeksi. 
Pemberian acetaminophen dinyatakan juga dapat menginduksi terjadinya pneumonia. Selain 
itu semakin sering memberikan obat penurun panas  pada anak dengan penyakit infeksi, 
ternyata malah akan memperparah dan memperpanjang masa sakitnya. Fakta lain yang lebih 
penting menginformasikan bahwa obat penurun panas dapat memberikan gejala palsu. 
Penderita demam yang disangka sedang dalam masa penyembuhan karena panasnya sudah 
turun, ternyata luput dari observasi dan mengakibatkan penyakitnya berlanjut semakin 
buruk akibat pemberian obat penurun panas. 

      Walaupun belum dinyatakan kebenarannya, namun Dr Torres, seorang peneliti senior 
dari Biomedical Utah State University, memberikan teori baru mengenai penyebab 
potensial merebaknya kasus autism belakangan ini. Demam yang dihambat dengan pemberian 
obat penurun panas pada ibu hamil dan anak-anak kecil, dikatakan terlibat sebagai 
biang kerok terjadinya autism dan neurodevelopmental disorders. Pada akhirnya  
kerugian pemberian obat penurun panas ini tentu saja berhubungan dengan biaya 
pengobatan yang seharusnya tidak perlu dan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang 
lebih penting. 

      Lalu bagaimanakah dengan kebenaran mitos-mitos yang sudah mendarah daging 
diyakini para orangtua? Dalam bukunya "How To Raise A Healthy Child in Spite of Your 
Doctor" Dr Robert Mendelsohn yang juga seorang dokter spesialis anak mengatakan, demam 
tinggi bukanlah penyebab kejang demam. Kejang demam muncul ketika suhu badan meningkat 
dengan kecepatan yang sangat tinggi dan hal ini umumnya jarang terjadi. Hanya 4 % 
anak-anak dengan demam tinggi yang demamnya berhubungan dengan kejang. Tidak ditemukan 
pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa setelah kejang demam mereka kemudian mengalami 
efek serius. Anggapan bahwa pemberian obat penurun panas akan mengurangi kejadian 
kejang demam pun tidak didasari oleh bukti yang nyata. Karena itu memberikan obat 
penurun panas kepada semua anak yang mengalami demam, hanya akibat 4% kejadian kejang 
demam, bukanlah hal yang rasional.

      Selain itu demam yang terjadi karena infeksi bakteri atau virus, pada umumnya 
tidak akan  menyebabkan kerusakan otak atau kerusakan fisik permanen seperti anggapan 
yang telah dianut selama ini. Demam adalah hal yang biasa terjadi pada anak dan bukan 
merupakan suatu indikasi penyakit serius kecuali bila disertai dengan perubahan 
penampilan, perubahan tingkah laku atau gejala-gejala tambahan seperti kesulitan 
bernafas, kaku kuduk atau kehilangan kesadaran. Hanya demam diatas 42,2 derajat C yang 
telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan otak. 

      Namun tentu saja terdapat perkecualian, yaitu bila demam terjadi pada bayi yang 
baru lahir. Demam yang terjadi pada bayi di minggu-minggu pertama kehidupannya harus 
mendapatkan perhatian serius, karena kemungkinan besar infeksi didapat dari proses 
persalinan, atau pun penyebab lain. 

      Asumsi yang juga telah sangat diyakini orangtua adalah pernyataan bahwa obat 
penurun panas akan menyebabkan anak merasa lebih baik, lebih aktif dan meningkatkan 
nafsu makan. Padahal penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan efek yang tampak 
ketika penderita demam diberi obat penurun panas maupun placebo. Jadi tidak dapat 
dibedakan apakah keadaan lebih baik yang dirasakan penderita sebetulnya merupakan efek 
placebo atau efek obat. Tapi bila obat penurun panas dipakai sebagai placebo, artinya 
placebo yang digunakan merupakan placebo yang sangat berbahaya.

      Dari keterangan diatas jelas lah sudah bahwa demam bukanlah musuh yang harus 
diperangi. Karena itu penggunaan obat penurun panas sebaiknya betul-betul diberikan 
secara rasional. Beberapa negara bahkan membuat peraturan agar dokter-dokter mereka 
memberikan obat penurun panas pada pasien, hanya ketika demamnya  mencapai 40,5 
derajat C atau lebih.

      Mengingat pengaruh emosional yang telah begitu mendalam di benak orangtua, 
merubah perilaku ini tentu menjadi pekerjaan yang teramat sulit. Namun dengan merubah 
paradigma tentang demam, dan menyadari dampak negatif pemberian obat penurun panas 
pada anak, diharapkan demam tidak lagi menjadi 'monster' yang menyeramkan bagi 
orangtua. Orangtua tidak lagi perlu buru-buru membeli obat penurun panas di warung 
dekat rumah, atau pun 'memaksa' dokter untuk segera menurunkan demam anak. 

      Selain itu akan sangat bijaksana pula, bila dokter tidak begitu saja dengan 
mudah memberikan obat penurun panas tanpa indikasi yang betul-betul perlu. Menjelaskan 
pada pasien mengenai pentingnya keberadaan demam dan dampak negatif menurunkan panas 
badan ketika anak demam, merupakan tindakan yang lebih rasional. Bila hal ini 
dilakukan, paling tidak ancaman pengaruh buruk akibat rutinnya penggunaan obat penurun 
panas terhadap kesehatan anak-anak dikemudian hari, dapat dikurangi. (Agnes Tri 
Harjaningrum, dr.)



     

Kirim email ke