----- Original Message ----- From: "Wahyu Sulaksono" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Thursday, December 30, 2004 11:16 AM Subject: Gunung Jangan Pula Meletus
> Gunung Jangan Pula Meletus > Oleh Emha Ainun Nadjib > > KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata > mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman > dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai > kandungannya? > > Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari > salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan > apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh > ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh > lantak terkeping- keping, akan kubunuh. > > "Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku > menyerbu. > > "Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan > kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati. > > "Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?" > > "Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh > dinikahkan dengan surga." > > "Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling > menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan > kesengsaraan sedalam itu?" > > "Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga > derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus > menjalani kerendahan." > > "Termasuk Kiai...." > > Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu > kala. Kuusap dengan kesabaran. > > "Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak > kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan > masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama > ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?" > > Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari > kata-kataku. Badannya terguncang-guncang. > > "Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan > ketidakadilan Tuhan?" katanya. > > Aku menjawab tegas, "Ya." > > "Kalau Tuhan diam saja bagaimana?" > > "Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus > mempertanyakan." > > "Sampai kapan?" > > "Sampai kapan pun!" > > "Sampai mati?" > > "Ya!" > > "Kapan kamu mati?" > > "Gila!" > > "Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa > ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak > tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga > tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa > mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu > memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah > dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!" > > ""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang > bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan > otoriter...." > > Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. > Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku. > > "Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban." > > "Kewajiban apa?" > > "Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. > Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, > dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya > yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis > berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat > sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada > siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan > tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik > buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan > salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? > Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan > dinding ini kepadamu...." > > "Apa maksud Kiai?," aku tidak paham. > > "Pakailah sesukamu." > > "Emang untuk apa?" > > "Misalnya untuk membenturkan kepalamu...." > > "Sinting!" > > "Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik > untuk cara berpikir yang kau tempuh." > > Ia membawaku duduk kembali. > > "Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia > menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku. > > "Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu > 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup > sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, > karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya > sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 > cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi > oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang > membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas > badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan > mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan > dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan > kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia > selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan > kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang > politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, > menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa > bencana, Tuhan yang kalian salahkan?" > > Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke > belakang. > > "Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon > utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...." > > "Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?" > > "Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi." > > "Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi > adalah bahwa kamu pantas diludahi." > > "Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...." > > "Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta > lubuk hati. Kenapa?" > > "Aceh, Kiai, Aceh." > > "Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. > Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh > Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan > rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang > ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran > total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan > menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. > Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh > Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia > kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, > karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan > perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak". > > "Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar > dibayangkan akan mampu tertanggungkan." > > "Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak > mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu > Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak > ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; > sementara yang sebaliknya adalah keburukan- berhentilah memprotes Tuhan, > karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu > kehidupan berhenti ketika kamu mati." > > "Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara > membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat > sejahtera?" > > "Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka > kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan > kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru > Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati > karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?" > > "Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri, Kiai, > tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang > disuguhkan oleh perilaku Tuhan." > > "Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku > Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu > sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh > penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi > penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh > lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah > pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan > pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup." > > "Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...." > > "Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang > hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam > tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur." > > "Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?" > > "Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga > selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik > berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih > tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak > menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk > memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum > mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada > kemungkinan...." > > "Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri > membayangkan lanjutan kalimat Sudrun. > > "Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor > meninggalkan saya. > > "Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar > beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...." > > "Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa > tak kau pakai istilah bencana Tuhan?" > > Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang. > > Emha Ainun Nadjib Budayawan > > ============================================================== > Ada masalah dgn Komputer,Printer,Novell,Email,Network ??? > Hubungi IT HELPDESK Hotline : > 0811860086/Ext 505(Kantor Pusat) 0811605505(Sumbagut) > 0811955505(Jabotabek) 0811776555(Sumbagsel) 0811230505(Bandung] > 081325633811(Semarang) 0811320002(Surabaya) 08123855999(BaliNusra) > 0811530044(Kalimantan)0811468811(Sumalirja) > atau Email : [EMAIL PROTECTED] > ============================================================== > ** The incident will NOT be fixed without INCIDENT TICKET ! ** > ============================================================== > > AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA UTARA !!! ================ Kirim bunga, http://www.indokado.com Info balita: http://www.balita-anda.com Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED] Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]