KONTROVERSI

Kamis 24 Februari 2005

Menelusuri Obat Palsu Di Pasar Pramuka 

Peredaran obat palsu hingga kini masih merajalela dan makin terbuka.
Bahkan Badan POM mengaku kewalahan dalam memotong mata rantai sindikat
peredaran obat ilegal ini. Berikut penelusuran Kemal Ramdan dan Cosmas
Gatot yang mencerminkan bebasnya peredaran obat palsu di Pasar Pramuka,
Jakarta Timur. 

Menelusuri jalur perdagangan obat palsu di Pasar Pramuka, Matraman,
Jakarta Timur ternyata cukup berliku. Tak ada satupun pedagang yang mau
buka mulut seperti apa bisnis obat palsu ini bisa masuk dan tumbuh subur
di Pasar Pramuka. Ini bisa dimengerti karena tentu saja, mereka tak
ingin usahanya terbongkar. Cukup rapi cara mereka mengkombinasikan jenis
obat obatan palsu dengan obat obatan legal, serta obat generik berlogo
dari distributor resmi. 

Di lantai satu, hampir semua kios obat menjual produk keluaran
distributor resmi yang tersusun baik, terkemas rapi dan disegel.
Kendatipun tersedia obat palsu, namun mereka tak menjualnya secara
terbuka. Obat obatan ini tersimpan di dalam rak dan loker. 

Beranjak ke lantai dua, peredaran obat palsu mulai terlihat sangat bebas
beredar. Ciri yang paling mudah dikenali adalah, lembaran obat tak
memiliki kemasan, hanya ditumpuk dan diikat karet. Tak jarang mereka
menyimpan obat palsu di rak khusus, loker atau di dalam etalase. Ini
sajalan dengan pengakuan salah satu pedagang yang pernah bermain di
bisnis obat terlarang ini.

Para penjual obat disini menyebutnya dengan obat putus, atau obat
potongan karena dijual hanya beberapa strip. Jenis obat yang banyak
dijual adalah golongan obat antibiotika, analgetik, antipiretik,
histamin, antidiabetes dan antihipertensi. 

Beberapa penjual obat palsu nampak bingung tatkala mereka diminta
menjelaskan masa kadaluwarsa. Alasan tak masuk akal menjadi jurus paling
akhir yang dikeluarkan untuk meyakinkan sang pembeli. 

Ternyata tak sulit membuktikan sebagian obat disini adalah obat obatan
daluarsa. Di salah satu kios seorang pemasok obat palsu tengah mensuplai
stok terbarunya yang baru saja dikeluarkan dari kantong plastik. Tangan
tangan terampil ini cukup hanya merapikan dan meluruskan obatan obatan
lama yang entah darimana berasal. 

Obat obatan ini berasal dari pemasok yang telah memiliki jaringan khusus
dan terorganisasi. Sebagian diantaranya berasal dari stok obat sisa
rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan hasil tadahan dari pencurian obat
di pabrik, obat impor ilegal, bahkan sampel obat dokter. Mereka tentu
saja menjualnya dengan harga sangat murah, bahkan 50 persen lebih murah
dari harga distributor. 

Carut marutnya peredaran obat palsu ini sebenarnya bukan barang baru.
Namun Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagai otoritas resmi selalu
menuding lemahnya penegakan hukum sebagai penyebab tetap maraknya
peredaran obat palsu. Di sisi lain ditengah keterbatasan BP POM
memberangus peredaran obat palsu, jaringan pemasok obat ilegal makin
solid dengan pola yang makin canggih. 

Padahal BP POM telah mempunyai kewenangan, tim penyidik ppns, anggaran,
bahkan back up aparat dari Mabes Polri. Namun rasanya pemberantasan obat
palsu ini masih jauh dari efektif. Jangankan menyeret aktor aktor kelas
kakap, para pelaku kelas teri saja sampai kini masih bergerak leluasa. 

Obat Bekas Di TPA Bantar Gebang

Peredaran obat ilegal ternyata datang dari berbagai sumber. Jangan kaget
bila ternyata sebagian obat palsu ini dipasok dari para pemulung di
Tempat Pembuangan Sampah Bantar Gebang, Bekasi. Masih belum percaya?
Kita simak penelusuran Kemal Ramdan dan Cosmas Gatot berikut ini. 

Penelusuran tim KONTROVERSI mengenai obat bekas yang bersumber dari TPA
Bantar Gebang berawal dari informasi seorang sopir truk pengangkut
sampah dari kawasan Rawamangun yang setiap harinya membuang sampah ke
Bantargebang. 

Pengemudi asal Kuningan Jawa Barat ini mengakui setiap hari bertemu
seorang bos obat yang mengumpulkan obat obatan bekas dari pemulung. Ciri
yang paling sederhana dari seorang bos obat adalah tas kecil yang tak
pernah lepas dari pundak. 

Dan benar tak lama kemudian seorang bos obat mampir ke truk yang kami
tumpangi. Sambil sesekali curiga, ia menawarkan obat obatan `gabrug`,
istilah untuk transaksi obat dari berbagai merek yang dicampur. Tak
heran ia curiga, karena ia telah mengenal hampir seluruh pemulung maupun
penjemput atau `boncos` yang datang ke Bantargebang. Bahkan ia menyebut
sebuah nama penjemput obat dari Pasar Jatinegara. 

Fakta selanjutnya muncul dari pengakuan seorang pemulung yang mengakui
adanya jual beli obat obatan bekas di TPA Bantargebang. Bila berhasil
memulung sampah berupa tablet atau kapsul, buru buru ia bersihkan
kembali dan disimpan di saku celananya. Karena menurutnya obat masih
punya nilai jual yang lumayan. 

Memang bukan hal terlarang mencari berkah di balik tumpukan sampah ini.
Namun bila menyangkut obat yang dikonsumsi manusia, nyawa menjadi
taruhannya. Apa jadinya bila orang sakit diberi obat kadaluawarsa atau
obat bekas yang dipungut dari gundukan sampah? 

 

 








AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke