dari 
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=191010&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=207

kalo sekarang makin canggih/ gampang
udah ada yg tinggal kasih/ botolan, jadi kemungkinan salah formula bisa 
terhindarkan

rgrd
rifa


Selasa, 15 Maret 2005



Dulu diare merupakan penyebab tertinggi angka kematian di Indonesia. Separo 
dari pasien anak di rumah sakit menderita penyakit tersebut. Itu membuat Prof 
Dr dr Srisupar Yati Soenarto SpA tergerak untuk meneliti penyebab dan cara 
untuk mengatasinya.

Menurut Kepala Bagian Ilmu Penyakit Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah 
Mada ini, semakin lama semakin banyak masalah yang terkait dengan diare. Hasil 
penelitian yang dilakukannya pada 1970 menunjukkan, sepertiga dari pasien anak 
yang diare di rumah sakit meninggal. ''Saya tertarik pada masalah diare karena 
ingin membantu dan tidak ada pamrih apa-apa. Bila bisa bermanfaat rasanya 
puas,'' kata dr Yati, sapaan akrab Srisupar Yati Soenarto.

Ia menuturkan, dulu anak diare yang dirawat di rumah sakit diberi infus, obat 
antidiare, dan antibiotik. Waktu itu dia berpikir, mengapa harus diberi 
antibiotik? Apakah diare karena infeksi? Kebetulan pada 1973 seorang ahli 
mikrobiologi dari Melbourne, Australia, Prof Ruth Bishop, menemukan ada 
rotavirus pada bayi yang menderita diare. 

Dengan penemuan rotavirus sebagai salah satu penyebab diare maka antibiotik 
diberikan hanya kalau diare disebabkan oleh infeksi (bakteri). Ketika melakukan 
penelitian, ia mendapati bahwa 38 persen dari seluruh pasien anak yang 
menderita diare di rumah sakit ternyata mengidap rotavirus. Bersama Prof Ruth 
Bishop, ia meneliti dan berkesimpulan bahwa rotavirus merupakan penyebab 
terbanyak kasus diare. 

Setelah oralit ditemukan Yati gencar memberi pelatihan tentang penggunaan 
oralit dan cara pembuatan oralit secara sederhana kepada ibu-ibu rumah tangga. 
Ada satu pengalaman sangat berkesan waktu awal ia memperkenalkan oralit. Saat 
itu ada seorang ibu terpelajar (kepala sekolah SD) datang ke rumahnya membawa 
bayi gemuk yang sedang diare.

Yati memberitahu sang ibu tentang bahaya kurang cairan sehingga sang bayi harus 
sering diberi oralit. Namun, sang ibu mengatakan kalau dia mau ke sekolah 
sebentar. ''Saya wanti-wanti (berpesan - Red) agar ke sekolahnya ditunda saja 
dan bayinya jangan sampai ditinggal,'' tuturnya.

Ketika pulang dari rumah sakit Yati kebetulan lewat depan rumah ibu tersebut 
dan melihat ada banyak pelayat di sana. Yang meninggal adalah sang bayi tadi. 
Saat mencari tahu penyebab kematian bayi tersebut terungkap bahwa saat sang ibu 
pergi bayi dititipkan pada pembantu. Pembantu salah memberi ukuran oralit, 
yaitu lima bungkus oralit diaduk bersama satu gelas air sehingga bayi 
kebanyakan garam natrium. Padahal, seharusnya satu bungkus oralit dicampur 
dengan satu gelas air. 

''Walaupun kami sudah memberikan pendidikan dan pelatihan pada orang tua sangat 
intens, ternyata yang mempraktikkan bukan hanya ibunya. Ini yang tak pernah 
saya lupakan. Alhamdulillah sekarang masyarakat semakin tahu cara penggunaan 
dan manfaat oralit dan edukasi tidak hanya orang per orang melainkan secara 
massal. Di televisi pun ada pesan untuk masyarakat sehingga anak-anak juga 
tahu,'' kata dr Yati yang juga konsultan Unit Pelayanan Krisis Terpadu 
Perempuan dan Anak RS Dr Sardjito, Yogyakarta, ini. 

Ketika pertama ditemukan, oralit masih mengandung natrium dalam dosis tinggi. 
Karena waktu itu oralit untuk pengobatan penyakit kolera. Garam natrium 
penderita kolera banyak yang terbuang. Namun, bila kandungan tinggi natrium itu 
diberikan pada bayi atau anak, mereka akan mengalami kejang-kejang, atau cairan 
dalam otak mereka keluar. Karena itu Yati melakukan modifikasi oralit dengan 
mengurangi garam natrium. Menurutnya, oralit merupakan temuan luar biasa karena 
angka kesakitan dan kematian akibat diare bisa ditekan. ''Sekarang saya sudah 
jarang menemukan kasus kematian akibat diare,'' kata wanita yang lahir di 
Sukamandi, Jawa Barat, 5 Februari 1944 ini. 

Ketua Staf Medik Fungsional RS Dr Sardjito ini sampai sekarang masih aktif 
melakukan penelitian dan seminar yang terkait dengan diare, baik di dalam 
negeri maupun luar negeri. Pada 2004 Yati menjadi pemenang pertama Penghargaan 
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM untuk kategori penelitian 
kolaboratif terbaik yang mengungkap tentang rotavirus.

Kirim email ke