Samarinda Pos Online
Minggu, 23 Mei 2004


                    Masuk SD Usia Dini, Bisakah? 



                    TAK semua anak punya perkembangan intelektual yang 'normal' 
atau rata-rata. Ada
                    anak 'gifted' atau 'talented' -dikaruniai kecerdasan atau 
bakat luar biasa- yang tingkat
                    intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya. 
Sayangnya, kadang
                    anak gifted ini baru diketahui setelah ia masuk SD. Coba 
kalau bisa diketahui saat ia
                    masih di preschool, kan bisa masuk SD lebih cepat. Tapi, 
bagaimana peluang anak
                    berbakat ini ? Gimana orangtua mengetahui kalau anaknya 
berbakat? 

                    Sebenarnya bisa saja lho, anak yang belum berusia 6 tahun 
bersekolah di sekolah
                    dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur 
mental si anak, yakni
                    kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya. 
"Contoh, anak umur 4
                    tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah 
siap masuk SD," papar Prof
                    Dr. S.C . Utami Munandar, guru besar psikologi anak 
Universitas Indonesia. 

                    Cuma, untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, 
orangtua mesti
                    mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. 
Dari sini, nanti bisa
                    diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur 
kalender) x 100 = IQ. Bila skor
                    IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 
85-115), bisa saja ia dipandang
                    gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah 
mempertimbangkan
                    aspek-aspek lainnya. 

                    Menurut Utami, jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 
2-5% dari keseluruhan
                    anak. Namun sejauh ini belum semuanya mendapat pendidikan 
khusus. Tak semua
                    sekolah mempunyai fasilitas, sarana, dan prasarana yang 
bermutu, ataupun kelas
                    unggulan yang bisa mengembangkan dan melihat anak-anak yang 
berbakat. Padahal
                    sebenarnya dengan bakat di bidang intelektual, tak menutup 
kemungkinan balita bisa
                    masuk SD. Akibatnya banyak anak yang umur mentalnya sudah 
tinggi namun tidak
                    terstimulasi dengan baik, sehingga mereka bosan di kelas 
karena merasa materi
                    yang diajarkan guru terlalu mudah. 

                    Kemungkinan anak yang masih usia TK bisa masuk SD juga 
dibenarkan Dra. Shinto
                    B. Adelaar, M.Sc., psikolog perkembangan anak. Namun 
menurutnya bukan
                    semata-mata karena IQ saja yang kelewat tinggi dibanding 
anak-anak lain. Si anak
                    juga mesti punya tingkat kematangan yang mampu menghadapi 
stres dan situasi
                    sekolah. "Sebab situasi dan cara belajar di SD berbeda 
dengan di TK. Di SD, anak
                    lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau 
jalan-jalan. Ia juga harus
                    tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang lebih panjang 
serta mau mematuhi
                    instruksi guru. Berarti, dari segi pemikiran, si anak harus 
lebih matang," Shinto
                    menjelaskan. 

                    Secara emosi, anak juga harus lebih matang, agar mampu 
mengontrol diri dan tidak
                    lagi bertingkah laku berdasarkan keinginannya sendiri. 
Jadi, meski anak IQ-nya tinggi,
                    belum tentu EQ-nya tinggi. Kalau anak itu masih dependent 
(bergantung pada
                    orangtua), sikap bekerjanya belum terbentuk, masih banyak 
sikap bermainnya,
                    kemungkinan besar bila anak dimasukkan ke SD ia bisa 
mengalami tekanan dan
                    stres, sehingga menimbulkan reaksi malas belajar atau tidak 
mau sekolah. 

                    Selain berefek malas, anak yang terlalu dipaksakan lompat 
jenjang pendidikan bisa
                    menimbulkan masalah psikologis. Kasihannya, pada anak 
balita itu. Di usia itu
                    mereka masih ingin main, sementara anak lainnya sudah tidak 
ingin main lagi. Di
                    jenjang pendidikan berikutnya, misalnya saat di perguruan 
tinggi dan si anak baru
                    berusia 15 tahun, secara emosional dan sosial ia belum 
sematang teman lainnya.
                    Tak jarang temannya akan mengangap dia sebagai anak kecil, 
karena mungkin dari
                    segi fisik belum berkembang sepenuhnya. Jadi dari segi 
sosial ada hambatan. Atau
                    karena susah bergaul karena komunikasinya sering tidak 
nyambung, anak lebih
                    senang membenamkan diri pada buku. 

                    Memperdalam, bukan Mempercepat 

                    Kadang orangtua yang punya anak berbakat yang mulai bosan 
di playgroup atau TK,
                    jadi geregetan dan ingin menaikkan anak ke SD. Namun 
menurut Shinto, ini bukan
                    solusi yang baik, apalagi jika hanya karena orangtua 
melihat anak itu lebih cerdas
                    dibanding anak lainnya. 

                    "Jika ingin memasukkan anak ke SD di usianya yang belum 
cukup, sepatutnya melihat
                    dulu kondisi anak, karena apapun yang dipaksakan sebelum 
waktunya akan
                    mengundang risiko. Kalau anak itu enjoy, bisa bergaul 
dengan lingkungan sosialnya
                    dan senang belajar, tak masalah. Silakan saja melompatkan 
anak ke jenjang
                    pendidikan yang lebih tinggi. Tapi jika tidak, jangan 
dipaksakan, karena orangtua
                    hanya akan merampas waktu bermain anak." 

                    Lebih baik menurutnya, perkaya pengetahuan dan kematangan 
anak. Orangtua tidak
                    perlu 'mempercepat' tapi lebih 'memperdalam' pengetahuan 
anak. Misalnya anak TK
                    A, pengetahuannya baru sampai C, kita asah pengetahuan anak 
hingga sampai F.
                    Tapi levelnya tetap TK A. Tujuannya, supaya nanti si anak 
tumbuh menjadi anak yang
                    pintar dan kreatif dan punya kepribadian yang matang. "Saya 
percaya kematangan
                    kepribadian itu lebih banyak menujang keberhasilan anak, 
daripada semata-mata
                    kecerdasaan intelektual saja." 

                    Menaikkan anak ke kelas yang lebih tinggi, misalnya tidak 
masuk kelas 1 tapi
                    langsung kelas 2, juga bukan solusi yang baik. Sebab dengan 
menaikkan kelas anak,
                    berarti ada materi tertentu yang tertinggal. Sebaiknya, 
untuk anak berbakat ini
                    dimasukkan ke kelas akselerasi. Di sana mereka akan 
memperoleh kurikulum lebih
                    singkat dan padat tanpa harus kehilangan satu materi pun. 
Toh sekarang banyak
                    sekolah unggulan yang menyenggarakan kelas akselerasi. 

                    Dengan masuk kelas akselerasi dan bergabung dengan anak 
lain yang punya
                    kemampuan yang sama, anak lebih terstimulasi. Sebab anak 
yang sangat cerdas
                    jalan pikirannya tidak sesuai dengan anak seusianya. Bila 
ngobrol ia tidak 'nyambung'.
                    Bagi anak yang kecerdasaannya rata-rata, anak yang terlalu 
cerdas ini jadi
                    membosankan, menganggap si anak terlalu serius karena 
omongannya jauh ke
                    depan dari anak yang lain. 

                    Amati Tanda-tanda Awal 

                    Agar orangtua tak terlalu lama mengetahui kalau si kecil 
berbakat, sebaiknya orangtua
                    melihat dan memperhatikan kemampuan anak sejak dini. 
Tanda-tanda anak berbakat
                    dapat dilihat dari pertanyaan yang ia ajukan. Pertanyaan si 
anak biasanya mendalam,
                    kritis, dan tidak cepat puas dengan jawaban yang 
sekedarnya. Anak memberikan
                    reaksi yang lebih matang dari usia sebayanya, cepat bisa 
membaca sendiri tanpa
                    diajarkan. 

                    Caranya, dengan memberi rangsangan dan sarana yang bisa 
merangsang bakat
                    anak, misalnya menyediakan aneka permainan. Dengan begitu, 
selain anak akan
                    terpacu intelektualitas dan kreativitasnya. Supaya tidak 
salah langkah, orangtua perlu
                    memeriksakan anak ke psikolog untuk mengetahui apakah anak 
itu berbakat,
                    sebelum memasukkan anak ke SD pada usia dini. 

                    Shinto menyarankan, orangtua yang punya anak berbakat 
dengan IQ tinggi, tapi
                    emosinya belum berkembang, sebaiknya tidak meloncatkan 
anaknya ke kelas atau
                    jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab belajar di SD 
itu lebih susah, apalagi SD
                    di Jakarta. Anak terlalu banyak di-drill sehingga banyak 
mengurangi minat anak untuk
                    belajar. Lebih baik anak tetap di TK tapi ia diberi 
tambahan pengetahuan yang
                    banyak." (cbn) 

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke