sambungan dari bagian 1a

September 1973-1983
Sayangnya, mimpi itu tak pernah jadi kenyataan. Tepat di hari ulang tahunku 
yang kelima, saat ayam masih belum berkokok, aku sudah bangun. Kunyalakan 
lampu, turun dari ranjang, lalu me-rayap, sambil berpegangan pada besi tempat 
tidur. Sesampainya di depan lemari kaca, aku mencoba berdiri tegak dan 
berjalan. Tapi, baru beberapa langkah, aku jatuh dan menabrak meja. Suara 
dentuman keras langsung membangunkan Mama, berbarengan de-ngan jatuhnya 
botol-botol kaca dan gelas.

"Apa-apaan, sih, Mei Cen?" teriak Mama, ketika melihatku terduduk di antara 
remukan kaca. Mama memapahku kembali ke ranjang. 

Aku menangis keras. "Aku tak bisa jalan! Aku tetap tidak bisa jalan!"

"Kamu kenapa? Kalau mau ambil sesuatu, bilang pada Mama, nanti Mama ambilkan! 
Lihat, tuh, barang-barang pecah semua!" suara Mama tinggi. Mungkin, ia gusar 
karena tidurnya terganggu. Sudah dua hari Mama tidak berjualan karena sakit 
flu. 

"Hari ini ulang tahunku, Ma!"

"Iya, lalu kenapa?" bentak Mama, sambil memunguti beling.

Tangisku menghebat. Ia tidak ingat janjinya. 

"Mama bohong! Mama bohong!" teriakku, sambil melempar bantal dan guling ke 
arahnya. Tiba-tiba Mama mendekati aku. Tanpa kuduga, ia menampar mulutku dua 
kali.

"Bisa diam tidak? Subuh-subuh begini teriak-teriak seperti orang gila! Diam! 
Diam tidak?" Tangan Mama masih teracung di udara, siap menampar lagi. Raut 
wajahnya bengis. Aku merapat ke tembok dan menangis tanpa suara. Takut, marah, 
kecewa, dan sedih. 

"Kenapa Mama bohong?" tanyaku, pelan. 

"Bohong apa, sih?" jawab Mama, galak.

"Dulu Mama bilang, aku pasti bisa jalan kalau berumur lima tahun. Kata Mama, 
aku belum bisa jalan karena aku anak perempuan. Masih kecil, masih tiga tahun. 
Nanti kalau sudah umur lima tahun, baru bisa jalan seperti si Aming. Waktu itu 
Mama janji, 'kan? Sekarang tanggal 9 September, Ma. Umur Mei Cen lima tahun. 
Tapi, kenapa Mei Cen masih jatuh kalau berjalan?" Aku menangis lagi. 

"Mama bilang begitu?" tanyanya, seakan lupa. Seolah tak terjadi apa-apa, Mama 
memutar badan dan kembali menyapu. "Mungkin, para dewa masih belum 
mengizinkannya." 

Aku bengong, tak mengerti.

"Kamu harus lebih banyak berdoa pada para dewa, Mei Cen. Supaya dewa-dewa 
senang dan menyembuhkan tangan dan kakimu. Kalau kamu rajin sembahyang dan 
tidak nakal, pasti dewa akan cepat menyembuhkan," jawaban Mama terdengar 
meyakinkan. 

"Betul begitu? Mama tidak bohong?" 

Mama menggeleng, lalu memaksaku merebahkan diri. "Sekarang, kamu tidur lagi. 
Ayo!" perintahnya.

"Kenapa kita tidak sembahyang sekarang saja, Ma? Lebih cepat kita sembahyang, 
lebih cepat dewa menyembuhkanku, 'kan?"

"Nanti siang saja. Mama masih mengantuk," katanya. Mama menguap lebar-lebar 
lalu menggulingkan badan di sisiku. 

Jarum jam berdetak mengiringi gerakan bola mataku yang tak bisa dipejamkan 
lagi. Di dalam hati aku memendam begitu banyak pertanyaan. Kenapa dewa 
memberiku penyakit ini? Kenapa orang lain tidak? Penyakit apa ini?

Ketika jarum jam menunjukkan angka delapan pagi, aku menarik-narik selimut 
Mama. "Sudah siang, Ma! Ayo, kita sembahyang!" 

Walau agak susah dibangunkan, sambil terkantuk-kantuk Mama mau juga membopongku 
ke ruang tengah. Di sana ada altar kecil dipenuhi dupa dan lilin merah yang 
setiap hari menyala. Dupa dan lilin-lilin itu mengapit beberapa botol kecil 
berisi abu leluhur keluarga. Aku mengambil tiga batang hio dan menyalakannya, 
lalu membungkukkan badan dalam-dalam, tanda hormat kepada dewa dan arwah 
leluhur. "Para dewa dan arwah leluhur, sembuhkanlah aku agar aku bisa 
berjalan," teriakku, lantang.

Sepanjang hari, di sela-sela kegiatanku berlatih berjalan, aku berdoa dengan 
suara keras, takut dewa tidak mendengar suaraku. Aku menaruh beberapa piring 
berisi apel dan jeruk sebagai sesajen. 

Lepas beberapa hari, aku mulai gelisah. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak 
meninggalkan altar barang sekejap pun. Seisi rumah menertawakan dan 
mengolok-olok. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin tidur di depan altar saja 
supaya bisa berdoa kapan pun aku mau. Mulanya, Mama marah, tapi belakangan dia 
diam saja. 

Aku sungguh-sungguh berdoa. Tak jarang aku menangis karena begitu ingin bisa 
menggerakkan kakiku. Aku tidak mengerti apa penyebab sakitku ini, tapi aku 
mengharapkan kemurahan para dewa dan arwah leluhur agar mau mengasihaniku.

Hampir setahun aku terus membungkukkan badan di depan altar dan 
berteriak-teriak sampai suaraku serak. Tapi, mimpiku belum terwujud. Aku mulai 
jemu. Sepertinya, dewa tidak memperhatikan kerasnya usahaku. Mungkin, dewa 
terlalu sibuk mengurusi hal penting dan tidak mau mengurusi permohonan anak 
kecil. 

Di umurku yang ketujuh, aku makin rendah diri mendengar ejekan orang sekampung. 
Kata-kata seperti 'Itu Si Pincang!' atau 'Hei, Ayam Buntung lewat!' atau 
'Kasihan, cantik-cantik, kok, cacat!' memerahkan telinga dan juga menghancurkan 
hatiku. Mama tidak ambil pusing dengan keluhanku. "Ah, mereka itu nakal, suka 
iseng. Biarkan saja, nanti akan diam sendiri," katanya, pendek. 

Komentar Tante Lin lebih baik. "Kamu tidak pincang, tidak buntung. Kamu bisa 
berjalan sedikit, 'kan? Bilang saja, kakimu sekarang memang sakit, tapi akan 
segera sembuh."

Tak tahan terus diganggu rasa penasaran, suatu hari aku nekat membuka sepatu 
kain dan sarung yang menyelubungi tangan dan kakiku. Dalam kamar terkunci, 
susah payah aku menggunakan gigi untuk menarik tali kecil yang membelit 
gulungan kain di tangan. Apa yang kulihat sangat membuatku terpukul dan nyaris 
histeris. 

Tangan yang sejak dulu terlihat begitu aneh, tetap pada bentuknya. Tak ada 
perubahan. Tak ada pertumbuhan tangan yang indah seperti penari, seperti yang 
Mama janjikan. Masing-masing tangan harus puas hanya punya tiga jari. Jumlah 
kuku pun tak lengkap. 

Aku membuka ikatan yang membelit kaki sepanjang betis. Pemandangan sangat tidak 
sedap pun kembali menerpaku. Kakiku memang ada dua, tapi tidak sempurna. 
Bentuknya ganjil. Kanan dan kiri tidak sama. Kakiku tidak bertelapak dan 
berjari. Yang disebut telapak pada kaki kiriku adalah segumpal daging tanpa 
kuku, tak berbentuk. Kaki kananku masih lebih baik. Telapak kaki masih sedikit 
berbentuk, walau tak panjang. Tapi, hanya berjari tiga dan berkuku dua. 
Sayangnya, kaki kanan yang agak lumayan itu melesak bengkok ke arah dalam. 

Aku menangis meraung-raung. Apa gunanya punya tangan, kalau tak bisa dipakai? 
Apa gunanya punya kaki, kalau tak bisa berjalan? Kini aku sadar mengapa semua 
orang menghinaku. Mereka semua benar! Aku seperti ayam buntung pincang berwajah 
manusia. Aku cacat! Cacat!

Seharian aku mengunci diri di kamar. Tak mau makan dan minum. Hanya bergolek, 
terisak di tempat tidur. Tak kupedulikan teriakan Mama dan Tante Lin yang 
menggedor pintu seperti orang kesetanan, berteriak memanggil namaku. Lewat 
pukul tujuh malam, aku merangkak lemas menggapai pintu dan meraih kunci. Bukan 
karena lapar atau haus. Aku ingin bertanya pada Mama, kenapa selama ini ia 
berbohong. 

Begitu aku membuka pintu, tangan Mama yang besar langsung merenggut rambutku 
dan membenturkan ke dinding berulang-ulang. Masih belum cukup, aku dihadiahinya 
tamparan di pipi kiri dan kanan.

"Anak sialan! Untuk apa mengunci pintu seharian? Coba bilang, ngapain kamu di 
dalam? Ngapain?" teriak Mama. 

Air mataku meleleh lagi. Tapi, aku tak bisa melawan. Tante Lin mencoba 
memapahku bangun. Kakak-kakakku hanya menonton. Sedikit pun mereka tak tergerak 
untuk mengulurkan tangan. Wajahku yang memar berpaling memandangi mereka. 
Kenapa mereka tidak mencegah ketika Mama menghajarku? Kenapa mereka tidak 
menghiburku, memeluk, dan melindungiku? Aku adalah adik mereka. Atau, mereka 
menganggapku makhluk aneh yang tidak pantas jadi manusia?
Dengan mata nanar kutatap wajah Mama. Perlahan aku menyorongkan kedua belah 
tanganku ke hadapannya. 

"Kenapa Mama bohongi Mei Cen lagi?" desahku. Mama dan Tante Lin langsung 
terkesiap, sadar bahwa tangan dan kakiku tidak lagi terbalut ikatan kain. Rona 
kaget mereka tak bisa ditutupi. Mereka menoleh ke belakang. "Siapa yang buka? A 
Ling? Atau, kamu, Heng?" tanya Mama.

Satu per satu mereka menggeleng, lalu beranjak pergi. Mama menatap lama ke 
dalam mataku. Kupikir ia akan menghajarku lagi. Tapi, ia bangkit menuju ruang 
dalam dan kembali dengan sepiring nasi di tangan.

"Makanlah dulu. Kamu pasti lapar. Sesudah makan, langsung tidur," katanya, acuh 
tak acuh. 

"Tangan dan kaki Mei Cen kenapa, Ma? Kenapa bentuknya seperti ini?"

"Tidak sekarang," Mama bergegas menjauh, diikuti Tante Lin yang sempat mencium 
pipiku. Aku termangu memandangi nasi di depanku, tanpa berniat menyentuhnya. 
Kejadian hari ini terlalu pedih, membunuh selera makanku.

Hari-hari berikutnya Mama bersikap seolah tak ada apa-apa. Tante Lin juga 
berusaha menghindari pertanyaanku, tapi tetap melayaniku. Bagaimana mungkin 
Mama begini, setelah kemarin menyiksaku sampai babak belur? Tidakkah Mama tahu 
bahwa peristiwa itu terekam dalam jiwaku, menimbulkan luka emosi yang 
mengobarkan kebencianku?

Suatu siang, ketika aku sedang duduk melamun di depan rumah, seorang anak 
tetangga lewat dan mulai cari gara-gara. Setelah beradu mulut yang diakhiri 
kontak fisik, aku masuk ke rumah. Melihat lengan bajuku terkoyak dan pipi 
merah, alis Mama terangkat. Situasi langsung diambil alih Tante Lin.

"Kenapa? Kok, seperti habis dipukuli?" tanya Tante Lin, bergegas memeriksa 
lukaku. Aku menggigit bibir, menahan tangis.

"Memang dipukuli," jawabku, pelan.

"Siapa yang memukuli?"

"Wanto. Ia mengatai aku ayam buntung. Aku tidak mau dikatai seperti itu. Wanto 
marah, tidak terima. Tahu-tahu, dia langsung memukul aku." 

Aku menghambur ke arah Mama. "Kenapa tangan dan kaki Mei Cen begini, Mama?" 
isakku, lirih.

"Ini sudah takdir, Mei Cen. Sabarlah. Jangan dengarkan omongan tetangga. Mereka 
juga akan diam sendiri."

"Ceritakan apa yang terjadi padaku, Ma.."

"Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kita ke dokter saja, ya?" Mama masih 
berusaha mengelak. Aku menggeleng berulang-ulang. "Tidak, Mama harus cerita. 
Cerita yang sebenarnya."

Beberapa menit kami berpandangan. Perlahan, Mama mau juga bercerita. Sambil 
mengibaskan kemoceng di sela-sela kursi, ia bertutur dengan suara yang hampir 
tak terdengar.

"Dulu, sewaktu kamu masih ada di perut Mama, pagi-pagi Mama pergi ke pasar 
membeli ayam. Menurut orang Tionghoa, kalau sedang mengandung pantang memotong 
ayam, apalagi kakinya. Kata orang tua zaman dulu, bayi yang dikandung bisa 
cacat. Hari itu Mama lupa pada pantangan. Ketika kamu lahir cacat, Mama 
menyesal karena melanggar pantangan itu."

"Aku cacat cuma karena Mama memotong ayam sewaktu hamil?" jeritku, tak percaya.

"Percaya atau tidak, itulah yang terjadi."

"Apakah tak ada yang bisa mengobati cacatku?"

"Dokter di kota bilang, kamu harus dioperasi. Badanmu disayat, dipotong-potong. 
Biayanya mahal sekali. Kita tidak punya cukup uang untuk itu, Mei Cen. Kalaupun 
bisa, rumah ini harus dijual. Lalu, kita harus tinggal di mana? Karena tidak 
punya uang dan tidak tega melihatmu dioperasi, Mama membungkus kaki dan 
tanganmu supaya tidak ada yang tahu keadaanmu." 

"Itu sebabnya aku tidak boleh main dan bersekolah seperti anak lain? Karena 
Mama malu?"

"Mama takut kamu dihina."

Dihina. Ucapan itulah yang melecut semangatku. Kupaksa Mama mendaftarkanku ke 
sekolah. Miskin dan cacat adalah dua hal yang tak bisa kuubah, tapi aku tak mau 
menambah satu lagi kekuranganku: menjadi bodoh. 

Tergerak oleh tekadku, Mama membeli sepasang sepatu besi khusus untuk 
penyandang cacat. Jika memakainya, kakiku terasa berat sekali. Tapi, aku harus 
mencobanya. Siapa tahu, telapak kakiku perlahan-lahan bisa normal.

Di sekolah aku makin sering menangis. Tak ada seorang teman pun yang mau 
bergaul denganku. Aku sering kesulitan menulis cepat karena jari-jari tanganku 
tak sebanyak orang lain. Biarpun sudah berlatih keras, hasilnya tetap 
mengecewakan. Bila tiba jam olahraga, aku hanya gigit jari dan tinggal di 
kelas, sementara teman lain berlarian bermain bola kasti.

Untunglah, keterbatasan fisik tidak memengaruhi kemampuan berpikirku. Walau aku 
terlambat bersekolah, tidak berarti aku lambat dalam menangkap pelajaran. 
Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima keadaanku. 

Tidak masalah, aku yakin bisa mengatasinya. Nilai raporku selalu jauh di atas 
rata-rata. Di akhir tahun pelajaran aku tersenyum bangga karena prestasiku 
melebihi orang yang tak cacat. Sayang, Mama kurang terkesan dengan 
keberhasilanku itu. Ia hanya mengangguk, tanpa memberikan pujian sedikit pun. 
Ah. begitu sulitnya aku merebut hati Mama. 

Menginjak remaja, kegiatanku di rumah tak banyak berubah. Tak mungkin aku 
membantu Mama memotong dan mencabuti bulu ayam. Kupilih membantu Tante Lin 
membuat kue. Mula-mula, hanya mengocok telur, menuang terigu, dan mengaduk 
adonan. Lama-kelamaan aku bisa mencetak aneka bentuk kue kering. Iseng-iseng, 
aku menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Hasilnya kutabung sedikit demi 
sedikit.

Sayang, hubunganku dengan Mama tak banyak berubah. Kami masih tidur pada satu 
ranjang. Tapi, rasanya ia begitu jauh. Seperti ada tembok tebal yang 
menghalangi terciptanya kasih di antara kami. Aku sering menatap wajahnya yang 
terlelap di sampingku. Ingin berbicara, selayaknya ibu dan anak. Ingin 
mencurahkan seluruh isi hatiku. Tapi, entah kenapa, aku tak bisa. 

Hubunganku dengan semua kakak pun kurang harmonis. Sejak kecil aku terbiasa 
dijadikan kambing hitam. Keadaan rumah berantakan, aku yang kena marah. 
Dagangan Mama tidak habis terjual, aku dapat omelan. Uang kakak hilang, aku 
dituding sebagai pelaknya. Pokoknya, tiada hari tanpa daftar kesalahanku.

Di rumah kuno sebesar ini, aku merasa begitu kecil. Begitu tak bernilai. 
Terlebih setelah Oma meninggal. Rasa kehilangan makin menerpa. Saat Oma masih 
hidup, aku terbiasa menungguinya di ranjang, menyuapi, dan membersihkan 
badannya. Hanya Oma satu-satunya orang yang memerlukan kehadiranku. Sedikit 
banyak itu membuatku merasa berarti. Namun, arti yang sedikit itu pun terampas 
tatkala Oma tiada. Aku kembali menjadi katak dalam tempurung, sepi terasing 
dalam kesendirian.

Oktober 1986
Jarum jam mendekati angka 5. Tergesa-gesa kuoleskan lipstik warna pink, 
merapikan gaun, lalu memakai sepatu. Aku berdandan agak istimewa untuk 
menghadiri ulang tahun Dewi, teman sebangku.

Ketika bercermin, aku bersyukur karena wajahku bisa dikatakan cantik. Gaun 
merah muda yang kupakai sangat cantik. Milik Mei Lan, kakak termudaku, yang 
terpaksa merelakannya.

Aku masih ingat sorot mata dan komentarnya yang merendahkan, "Memangnya, 
temanmu yang ulang tahun cacat juga, sampai merasa perlu mengundang kamu? 
Jangan-jangan, kamu yang memaksa minta diundang?"

Aku hanya bisa menelan ludah. Tebakan Mei Lan kurang lebih benar. Dewi hanya 
menyampaikan berita lisan kepadaku, bukan kartu undangan. Aku tahu, itu cuma 
basa-basi, karena selama ini aku membantunya menghasilkan nilai 7 dalam setiap 
pelajarannya. 

Tetapi, masa bodoh. Diundang atau tidak, aku tetap pergi. Apalagi, aku sudah 
menyiapkan sepatu putih dengan taburan mutiara imitasi di sekelilingnya. Aku 
rela membobol tabunganku demi sepatu cantik ini. Sepatu yang kuharapkan bisa 
menimbulkan kesan berbeda bagi kedua kakiku. Untuk malam ini, selamat tinggal 
sepatu besi!

Karena rumah Dewi agak jauh, kami harus berkumpul di sekolah dan kemudian akan 
berangkat bersama. Aku berjalan kaki secepat mungkin. Tak kuhiraukan gerimis 
kecil yang mulai turun. sampai di sekolah tak satu teman pun terlihat. 

Setengah menangis aku melihat jam di pergelangan tangan. Ya, ampun! Lewat 7 
menit dari waktu yang ditentukan! Mereka bilang akan menunggu dengan batas 
toleransi 15 menit. Bagaimana mungkin mereka tega berbuat begini? 

Malam itu aku terseok-seok pulang. Sakit hati dan sangat kecewa. Sambil 
terisak, aku memukuli kedua kakiku. Kenapa aku tidak bisa berjalan lebih cepat? 
Semua gara-gara kaki sialan ini, kaki brengsek! Kaki cacat yang tidak berguna!

Bukan cuma karena itu aku marah. Untuk ulang tahun Dewi, aku sengaja berdandan 
seteliti mungkin karena di situ ada Wisnu, sepupu Dewi. Aku ingin terlihat 
istimewa di depannya. Kaki sialan ini sudah merusak acaraku!

Sampai di rumah, tampak Mama dan Tante Lin sedang duduk mengobrol di meja 
makan, ditemani beberapa stoples kue kenari buatanku. Melihatku basah kuyup, 
Mama hanya menoleh sekilas.

"Tidak jadi pergi?"

"Ketinggalan mobil," ujarku, tersendat. 

"Oh," hanya itu komentarnya. Sungguh, dadaku sakit sekali. Tak bisakah Mama 
bersikap lebih peduli pada perasaanku, lebih menghargai? Sedikit saja? Agaknya, 
ia lebih tertarik mengunyah kue kenari. Tak bisakah ia bertanya dengan sikap 
lebih keibuan?

Kuhabiskan sepanjang malam dengan simbahan air mata. Tangan dan kaki yang buruk 
rupa adalah sumber bencana dalam hidupku. Tak pernah aku bahagia. Di rumah 
diperlakukan seperti orang lain, di sekolah seperti makhluk asing. Lengkap 
sudah penderitaanku!

Aku ingin merasakan kerlap-kerlip suasana pesta, bergembira, dan bernyanyi. Aku 
ingin bertemu pria pujaan. Siapa tahu, ada yang tertarik mengajakku berdansa. 
Aku ingin merasakan manisnya jadi gadis remaja. Salahkah keinginan itu? 

Sejak peristiwa Sabtu malam itu, aku jadi makin sensitif. Aku makin menarik 
diri dari lingkungan mana pun. Melihat sikapku yang aneh, Mama marah. Mama 
menghabiskan waktu dengan menyumpahi dan mencercaku, kegiatan yang mungkin 
dirasanya lebih bermanfaat ketimbang memeluk atau menanyakan keadaanku. 

Dalam keadaan tertekan, aku tenggelam dalam kesibukanku sendiri. Pergi sekolah 
sebelum orang lain bangun. Siang hari aku berdiam di ruang praktikum atau di 
perpustakaan, membaca. Di sore hari kuhabiskan waktu berjam-jam untuk membuat 
kue, disambung dengan belajar sampai larut malam. 

Aku ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tapi Mama punya pandangan 
sendiri.

"Buat apa, Mei Cen? Tidak ada gunanya. Buang-buang uang saja! Lebih baik 
uangnya ditabung, untuk biaya usaha atau kawin."

"Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh lulusan SMU, Ma. Paling-paling 
jadi pegawai toko atau pekerja pabrik. Gajinya kecil. Kalau Mei Cen kuliah, 
kesempatan kerja pasti akan lebih luas," bantahku.

"Sok tahu kamu! Memangnya, kalau tidak kuliah tidak bisa hidup? Semua kakakmu 
tidak ada yang kuliah. Tapi, buktinya mereka bisa hidup."

"Iya, hidup, sih, hidup. Tapi, tidak ada kemajuan sama sekali. A Heng berdagang 
ayam di pasar, dari dulu sampai sekarang. Mei Lan jadi kasir di toko Ko Bun 
Liong dan Mei Ling jadi pelayan di rumah makan. Sekarang Mama suruh Mei Cen 
berjualan kue sampai tua?" suaraku meninggi.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina mereka? Mereka sudah menyumbang 
untuk biaya kamu sekolah, tahu! Jangan mimpi! Kuliah cuma untuk orang kaya! 
Kamu mau bayar kuliah pakai apa? Mama sudah tidak punya uang lagi!" suara Mama 
tidak kalah menggelegar. 

Sulit. Jika sudah bicara soal uang, aku mati kutu. Biaya kuliah tidak murah. 
Aku juga harus merantau ke kota besar. Butuh biaya perjalanan, kontrak rumah, 
plus biaya hidup. Runyam. Sungguh runyam. Lebih runyam lagi kalau aku harus 
membuat kue sampai bongkok. Aku tidak boleh menyerah! Pasti akan ada jalan 
keluar. Sabar saja!

 

Mei 1987
Ketika ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan tinggi sudah dekat, aku 
memaksimalkan seluruh waktu yang tersiksa untuk berlatih soal-soal.

Di kamar bekas Oma, yang akhirnya menjadi kamar pribadiku, aku tergeletak 
letih, setelah menggarap setengah buku latihan fisika. Sudah pukul satu dini 
hari. Mataku penat luar biasa. Terdorong isi kandung kemih yang penuh karena 
dua cangkir kopi, aku melangkah ke kamar kecil. Sejenak langkahku terhenti, 
berganti menjadi rasa ingin tahu, ketika sayup-sayup kudengar suara percakapan 
dari kamar Tante Lin.

"Kau tidak perhatikan bahwa dia makin tertutup dan makin menjauh dari kita 
sejak peristiwa itu?" 

"Ah. itu karena dia terlalu cengeng. Dia harus belajar menghadapi kerasnya 
hidup, harus belajar menerima kegagalan." 

"Jangan terlalu keras padanya, Giok. Bukan salah Mei Cen dia lahir cacat, 'kan? 
Dia pasti sangat menderita karena keadaannya. Mestinya, kau bisa bersikap lebih 
baik, karena dia menderita akibat kesalahanmu dulu. Kalau saja kau tidak 
gegabah minum segala macam ramuan obat dari sinse itu, pasti tidak akan begini 
kejadiannya!"

"Aku tidak pernah tahu bakal begini kejadiannya! Sinse Wang paling terkenal di 
daerah ini, obat-obatnya selalu manjur. Tidak ada yang pernah menyangka anak 
itu lahir cacat, Lin! Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Pedih rasanya. 
Setiap kali mengingatnya, aku teringat pada pria gila itu. Aku melakukannya 
karena terpaksa. Kau tahu, 'kan? Aku terpaksa, aku takut, aku tidak punya 
pilihan lain."

Cepat-cepat kubekap mulutku sendiri, sebelum jeritannya keluar. Lututku lemas 
dan saling beradu, hampir tak kuat menyangga tubuh. Astaga, jadi ini rahasia 
besar yang selama ini sengaja disembunyikan mereka berdua? Mama berniat 
menggugurkan kandungan. Itu berarti, dia ingin membunuhku, melenyapkanku? 
Anaknya sendiri? Bagaimana mungkin dia tega berbuat begitu? 

Sampai kokok ayam terdengar nyaring di pagi hari, aku masih tergolek dengan 
mata sembap. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Benakku dipenuhi banyak 
pertanyaan, ketidakpuasan, ketidakpahaman. Cintakah Mama padaku? Mengapa ia 
bisa setega itu? Mengapa tidak langsung dibunuhnya aku ketika lahir dulu? 
Bukankah ia terbebas dari masalah? Tapi, masalah apa yang membuat Mama bisa 
mengambil tindakan senekat itu? Apa hubungannya dengan seorang pria yang 
disebutnya kemarin? 

Keadaan rumah kebetulan sedang sepi ketika kutemui Mama di dapur pagi itu. 
Sambil mengiris sayuran, sesekali ia mengaduk se-panci besar bubur di atas 
kompor. Aku berdiri mematung, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melihat 
padaku sekilas, tapi Mama tetap asyik dengan kegiatannya, tak terusik oleh 
kehadiranku. 

"Kenapa selama ini Mama berbohong padaku?"

"Bohong apa?"

"Mama berbohong tentang cacatku! Mama pernah bilang, tangan dan kakiku tak 
berkembang karena aku anak perempuan yang pertumbuhannya tak sepesat anak 
laki-laki. Lalu, Mama berganti cerita bahwa aku cacat karena waktu sehamil dulu 
Mama melanggar pantangan memotong kaki ayam. Tapi, kenyataannya, cacat ini 
terjadi karena disengaja. Betul begitu, 'kan?"

"Hei, kamu ngomong apa, sih? Pagi-pagi sudah meracau!"

"Sekarang, Mama mau mengarang cerita baru lagi? Sudahlah, terus terang saja! 
Mama pernah ingin menggugurkanku, bukan?"

Saat itulah Mama berbalik menghadapku. Kedua tangannya berkacak pinggang, lalu 
menudingku lurus-lurus. "Hei, jangan asal kalau ngomong! Siapa yang bilang 
begitu?"

"Tak perlu berkelit lagi, Ma. Mei Cen sudah dengar semua percakapan Mama dan 
Tante Lin tadi malam. Sebenarnya, obat apa yang Mama makan sampai aku lahir 
begini? Obat yang sengaja Mama pesan pada Sinse Wang supaya janin di perut Mama 
tidak berkembang lagi? Obat yang sengaja Mama beli, Mama minum setiap hari, 
supaya janin itu mati seketika? Tapi, sayangnya, janin itu tidak mati, bukan? 
Janin itu membesar, tidak mempan oleh obat. Janin itu tetap hidup, dengan 
segala kekurangan. Mei Cen ingin tahu, bagaimana perasaan Mama sewaktu melihat 
bayi cacat itu untuk pertama kalinya?" Mukaku memerah ketika mulai mengucapkan 
dakwaan.

Dengan raut wajah tegang Mama terpaku. Sesaat kupikir dia akan menamparku, 
seperti kebiasaannya kalau sedang marah. Dalam tempo singkat, Mama berhasil 
menguasai kekagetannya dan berucap dengan nadanya yang khas, datar tanpa emosi.
"Kau tidak akan bisa mengerti." 

"Apa yang tidak aku mengerti? Bahwa Mama tidak menghendaki aku lahir? Bahwa 
Mama sengaja ingin membunuhku?"

"Kamu tidak bisa mengerti! Mama sebenarnya sayang padamu."

"Sayang? Coba katakan sekali lagi. Sayangkah namanya jika menggugurkan anak 
sendiri? Sayangkah namanya jika membohongiku selama ini? Sayangkah namanya jika 
selama ini Mama bersikap tidak adil padaku? Aku mohon, jangan bohong lagi. Aku 
cuma ingin tahu, kenapa? Apa salahku? Apa salahku sampai Mama ingin 
membunuhku?" aku memekik. 

"Salahmu adalah karena kau lahir bukan di saat yang tepat!" bentak Mama 
menggelegar, sambil memukul meja. 

"Papamu yang gila perempuan itu pergi begitu saja meninggalkan rumah ini, kawin 
lagi di kota lain. Dua bulan kemudian, Mama baru sadar bahwa Mama hamil. Dalam 
keadaan bingung, datanglah kabar bahwa papamu meninggal karena kecelakaan. Mama 
makin bingung dan panik, karena ternyata ia tidak meninggalkan warisan apa-apa, 
selain rumah tua ini. Masih belum cukup, rupanya papamu sering main judi dan 
utangnya bertumpuk di mana-mana. Kalau kamu jadi Mama, apa yang akan kamu 
lakukan? Seorang janda dengan enam anak, ditambah satu calon anak di kandungan, 
tanpa penghasilan sama sekali. Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Kalau 
kamu dibiarkan lahir, kamu hanya akan menderita dalam kemiskinan."

"Mama mengorbankanku?" Aku tercekat dengan pahit.

"Mama bingung, tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang tidak punya, sementara 
semua orang di rumah ini perlu makan, belum lagi memikirkan soal utang. Mama 
tidak sanggup menambah beban lagi dengan mengurusi bayi." Begitu tenangnya Mama 
bicara. Aku ternganga, nyaris tak percaya. Air bening dari pelupuk mataku 
berjatuhan satu-satu. 

"Aaa. apakah Mama sedih melihat keadaanku waktu itu?"

Sejenak Mama diam, lalu katanya, "Ya, Mama sedih. Tapi, jangan dibicarakan 
lagi. Lupakan saja. Yang lalu biar saja berlalu."

Hah, enak saja Mama bilang begitu! Apa dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu 
mengakibatkan tangan dan kakiku cacat? Hati dan jiwaku juga tergoncang? Apa dia 
lupa, gara-gara perbuatannya itu, sepanjang hidupku aku harus dijejali oleh 
segala macam hinaan dan olok-olok? 

Dengan lunglai dan tertunduk, aku kembali ke kamar, membenamkan diri sepanjang 
hari di sana. Tanpa perlu diberi tahu pun, aku sudah paham bahwa pembicaraan 
ini sudah usai. Jelas sekali bahwa Mama tidak mau mengakui kesalahannya, malah 
memasang tameng pembelaan diri dengan rupa-rupa alasan yang mengatasnamakan 
'kemanusiaan'. Sungguh indah!

Baru aku sadar, dari dulu seolah ada tembok penghalang antara aku dan Mama. 
Ternyata, Mama menolak kehadiranku. Bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku 
dengan sepenuh hati, bila ia tak pernah mengharapkan kelahiranku? Ini pukulan 
terhebat yang pernah kualami. Rasa kecewa karena tidak dicintai oleh teman dan 
saudara kandung masih bisa kuatasi. Tapi, tidak dicintai oleh ibu sendiri? 
Tidak, aku tidak sanggup menanggungnya!

Setelah konfrontasi yang mengejutkan itu berlalu, hubunganku dengan Mama makin 
berantakan. Setiap kali berpapasan, aku membuang muka. Makanan yang 
disediakannya pun tak pernah kusentuh lagi. Sebisa mungkin, aku menghabiskan 
waktu lebih banyak di sekolah.Tapi, apa daya, konsentrasiku pecah. 

Pekerjaan rutinku kini hanyalah bergelung memeluk bantal dan menangisi nasib. 
Sejak kecil aku senantiasa diolok, diperlakukan seperti makhluk aneh, dijauhi 
seolah aku adalah penderita penyakit yang menyebarkan virus mematikan. Tak 
punya teman, tak punya kekasih.Aku tak perlu mengalami semua ini, kalau Mama 
tidak mencoba menggugurkan kandungannya dulu. Itu sebuah upaya pembunuhan. Itu 
suatu kesalahan, bukan? 

Berbagai pikiran buruk berebut datang menghampiri. Masa depan, apakah engkau 
masih menyisakan sedikit tempat bagiku? Kalaupun ada, yang seperti apa? Menjadi 
penghuni panti cacat seumur hidup, sendirian dan kesepian? Atau. menadahkan 
tangan, menjadi pengemis di pinggir jalan? Apakah kelak ada pria yang mau 
menikahiku? Di manakah kesembuhan? Di manakah keadilan? Aku tak punya 
keberanian untuk menggapai impian. Aku sangat takut, benar-benar takut!

bersambung ke bag 2....

Kirim email ke