Selamat Sore...

Saya mau kasih sedikit Comment sedikit terhadap kasus korupsi macam gini... bagaimana kalo tim yang terlibat korupsi jika terbukti entah itu pejabat MA atau siapapun yang terjaring kasus ini segera diberlakukan hukunnya Zhu Rong ji sajaaaa.... atau mestinya saat ada pengangkatan Ketua MA baru nanti minta di persiapkan 1000 peti mati ... 999 untuk koruptor dan 1 untuk ketua MA bila terlibat korupsi.... bagaimana......??????

salam,
Papanya Eric
----- Original Message ----- From: "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "depokmilis" <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Wednesday, October 12, 2005 2:43 PM
Subject: [balita-anda] (NEWS) Mafia Suap dari Dalam Mahkamah



Fyi,
buat dibaca baca  menjelang bedug maghrib.


rgrd


     http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/hukum.html
     Mafia Suap dari Dalam Mahkamah
Nama Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan disebut-sebut oleh para tersangka sebagai ujung rantai jual-beli perkara. KPK berjanji akan mengusut tuntas perkara itu.


Sejumlah penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendadak datang menggeledah Mahkamah Agung (MA), Jumat sore dua pekan lalu. Mereka membongkar ruang Sekretariat Korpri (Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia) di bilik G-104 Gedung Perencanaan MA, di Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Dari balik kaca, tampak terlihat para penyidik menggaruk empat kardus-satu kardus di antaranya berisi gepokan uang yang ditengarai sebagai uang suap-yang lantas diusung keluar.


Penggerebekan itu, dalam upaya mengungkap kasus suap-dan juga mafia peradilan-berlangsung singkat. Diawali masuknya laporan kejadian korupsi, Kamis (29/9), dari seorang pelapor ke KPK. Lantas, pada Jumat dini harinya, tim KPK berhasil menangkap dan menggeledah Harini Wiyoso, 67 tahun, mantan hakim tinggi Yogyakarta, di rumahnya di Puri Mutiara, Cipete Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan. Ditemukan uang US$ 50 ribu (sekitar Rp 500 juta) di bawah lemari pakaian janda satu anak itu, yang diselipkan di antara buku-buku. "Pengungkapan tidak seketika. Ada penyelidikan beberapa lama," kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Erry Riyana Hardjapamekas.


Tim KPK juga mencokok lima pegawai MA saat masih terlelap, di rumahnya masing-masing. Mereka adalah Wakil Sekretaris Korpri Suharyoto, staf Korpri Sudi Ahmad, staf perdata Triyadi, staf bagian kendaraan Pono Waluyo, serta Kepala Bagian Umum Biro Kepegawaian Malam Pagi Sinohadji. Total uang tunai yang disita US$ 400 ribu (Rp 4,03 miliar) dan 800 juta rupiah.


Keenam tersangka itu, menurut Erry kepada wartawan, dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni "...memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya...". Perbuatan ini dalam kamus korupsi kerap disebut penyuapan pejabat negara (gratifikasi).



* * *


"Apa benar Pak Waluyo suruhan Pak Bagir Manan?" tanya pengusaha Probosutedjo di kantornya di Jalan Menteng, Jakarta Pusat. "Benar, Pak," jawab Pono Waluyo, yang menemuinya diantar Harini Wiyoso, pengacara Probo. Saudara tiri mantan presiden Soeharto ini terlihat ragu sesaat. Bagir Manan, seorang Ketua Mahkamah Agung, menyuruh pegawai kerucuk urusan kendaraan itu meminta duit kepadanya. Sejurus kemudian, Probo bertanya lagi, "Berapa Pak Bagir Manan minta?" "Lima miliar, Pak. Dua miliar dalam rupiah dan tiga miliar dalam dolar Amerika," jawab Pono meyakinkan.


Percakapan pagi hari itu, 29 September lalu, tampaknya telah membuka peluang "barter perkara". Probo, yang dibelit kasus penyalahgunaan Dana Reboisasi Hutan Tanaman Industri di Kalimantan Selatan, tengah menunggu detik-detik jatuhnya keputusan kasasi yang ditangani Bagir Manan, Parman Suparman, dan Usman Karim. Pono datang padanya "menawarkan" sebuah putusan "merdu" untuk perkara beregister 682 tahun 2004, yakni: bebas dari tuntutan. Bukankah kesempatan tak datang dua kali?


Probo rupanya memilih bersepakat. Siang itu juga, duit pun dikemas dalam dua kardus. Rp 800 juta dan US$ 100 ribu dijadikan satu kardus. Kardus lain berisi penuh US$ 300 ribu. Pono Waluyo pun dipanggil ke rumah Probo di Jalan Diponegoro, tak jauh dari kantor Kedaung Group, perusahaan milik Probo. Diikatnya kedua kardus itu dan diserahkannya kepada Pono. "Bu Harini tidak usah ikut ke MA," kata Probo kepada pengacaranya (lihat Kronologi Suap).


Di kantor Sekretariat Korpri MA, kardus berisi Rp 800 juta dan US$ 100 ribu ditinggal Pono. Ia menitipkan kardus itu kepada Sudi Ahmad. "Bagian saya Rp 1,5 miliar untuk mempengaruhi putusan. Uang ini untuk Pak Ketua (Bagir)," kata Sudi mengaku, selepas dirinya diperiksa KPK, pekan lalu. Pono ternyata mempercayakan pengurusan perkara pada Sudi Ahmad.


Sudi Ahmad, tak kalah sigap, sudah menyiapkan "timnya" beberapa hari sebelum duit datang. Mereka rajin kasak-kusuk. Malam Pagi, misalnya, pada 23 September lalu sudah mengontak Triyadi di bagian perdata. "Apa ada 'jalan' untuk perkara Probosutedjo?" tanya dia menyelidik. "Coba kita cari jalan," jawab Triyadi, yang kemudian menghubungi Abdul Hamid, Kepala Seksi Pengamatan Perkara Pidana MA. Semula Hamid menolak. "Wah, tidak ada jalan," katanya. Namun, setelah Triyadi menemuinya selama tiga hari berturut-turut, jawabannya berubah. "Baik, bisa kita bantu," kata Hamid menyanggupi. Triyadi pun meneruskan jawaban itu kepada Malam Pagi.


Makanya, ketika duit itu sampai di tangan Sudi, kabar segera dikirim. "Pak Hamid, uangnya sudah ada. Mau diambil atau tidak?" tanya Triyadi. Hamid mengatakan akan segera diambil. Bersama Malam Pagi, Triyadi akhirnya berangkat mengambil duit tersebut ke rumah Sudi Ahmad karena uang telanjur dibawa pulang. Uang itu-ternyata mereka hanya diberi Rp 1,25 miliar oleh Sudi-lantas dibawa Malam Pagi.


Menurut dokumen KPK yang diterima Tempo, duit sejumlah itulah yang akan diserahkan kepada Bagir. Pono mengaku bahwa sebelumnya ada dana Rp 100 juta sudah diserahkan ke Bagir lewat seorang panitera pembantunya. Berkat "panjar" tersebut pula, salinan keputusan majelis bisa didapat. Salinan tanpa kop MA, tanpa nama majelis hakim, dan tanpa nama terdakwa itu-yang katanya calon putusan majelis-bisa didapat dan diserahkan ke Probosutedjo. Dalam amar putusan itu dinyatakan: majelis kasasi mengadili sendiri dan memutuskan terdakwa bebas dari tuntutan jaksa.


Putusan bebas ini, jika benar, tentu saja membuat bungah hati Probo. Sebab, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis Probosutedjo empat tahun penjara, karena terbukti melakukan korupsi Dana Reboisasi yang merugikan negara Rp 100,931 miliar, dengan cara memanipulasi data luasan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan mengalihkan Dana Reboisasi yang diterima PT Menara Hutan Buana dari Bank Exim (sudah dimerger menjadi Bank Mandiri) ke rekening PT Wonogung Jinawi miliknya sebesar Rp 55 miliar di sejumlah bank. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukumannya menjadi dua tahun penjara.



* * *


Setelah para tersangka kasus suap di lingkungan MA itu ditangkap, yang terjadi adalah saling bantah. Triyadi mengaku sekadar suruhan saja. "Saya mengantar Pak Malam Pagi dari MA ke rumah Sudi Ahmad. Saya ambil uang itu juga atas izin Pak Hamid. Kalau tidak ada kesanggupan dari dia, saya tidak bisa melakukan apa-apa," ujarnya. Malam Pagi pun serupa. "Saya tidak tahu lagi, setelah diserahkan pada Triyadi mau diserahkan ke mana lagi," katanya mengelak.


Takut bernasib jadi pesakitan, Abdul Hamid menangkis tuduhan keterlibatannya. "Saya tidak pernah menerima uang sepeser pun. Saya tidak mau dan tidak pernah lihat duit itu," katanya. Menurut Hamid, dirinya memang beberapa kali dihubungi Triyadi. "Hari Kamis (29/9), Triyadi menghubungi saya lagi. Dia katakan dananya sudah siap. Saya bilang saya tidak mampu menolong. Saya tolak karena tidak ada jalan," ujar Hamid.


Ketua MA Bagir Manan menyatakan tak bersalah. "Saya siap diperiksa," kata Bagir pekan lalu. Tak hanya dirinya, ia juga memerintahkan seluruh anak buahnya bekerja sama dengan penyidik KPK dan Komisi Yudisial. Ia mengaku tidak pernah mendengar soal uang yang "dijatahkan" untuk dirinya. "Saya tidak tahu. Saya bahkan sama sekali tidak mengenal kelima pegawai itu. Tapi, sebagai Ketua MA, kan tidak pantas jika saya mengatakan tidak tahu soal mereka," ia memaparkan.


Bagir mengatakan pernah bertemu Harini, pengacara Probo, enam bulan lalu. "Dia menemui saya untuk berpamitan selaku pensiunan hakim tinggi di Yogyakarta. Dia bilang punya hubungan dengan Probosutedjo. Saya tertawa saja. Saya tidak mau bicarakan kasus dengan siapa pun," kata Bagir.


Bagaimana tanggapan Probosutedjo perihal kasus suap di lingkungan MA yang menempatkan dirinya sebagai sumber utama? Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ketika ditanya perihal sepak terjang pengacara Harini Wiyoso. Probo juga menyangkal memberinya uang untuk menyuap Bagir Manan. "Uang apa?" katanya pendek saat dicegat di kantornya. Upaya Tempo mencari penjelasan tambahan dari Probo di rumahnya tak membuahkan hasil. Seorang anak angkatnya, mengaku bernama Heri, menyampaikan penolakan Probo kepada Tempo. "Bapak cuma bilang iya, terus masuk ke kamarnya," katanya.


Menurut Ketua Muda MA Bidang Pengawasan, Gunanto Suryono, berdasarkan penelusuran internal MA, modus operandi para pegawai MA tersebut adalah membuat putusan palsu atau fiktif. "Saya dengar, dalam putusan palsu tersebut vonisnya bebas," ia menjelaskan.


"Membuat putusan palsu, bagi staf di lingkungan MA, itu kan gampang," katanya. Padahal, menurut Bagir, majelis kasasi Probo masih dalam proses membaca berkas. "Musyawarah saja belum, apalagi ada putusan. Jadi, mereka itu (sudah) membuat putusan palsu," kata Bagir tegas. Satu dari lima pegawai, yakni Sudi Ahmad, dua tahun lalu sudah tertangkap memalsukan putusan. Kini, ia dalam proses pemecatan.


KPK berjanji akan tuntas mengusut perkara itu. "Kita intensif memeriksa tersangka dan pihak terkait," kata Erry Riyana. "Pemeriksaan tak semua bisa disampaikan terbuka, akan terus dilakukan sampai kasus ini terang," ia menambahkan.


Arif A. Kuswardono, Thoso Priharnowo, Edy Can



--------------------------------------------------------------------------------


Agustus 2005
Harini berkenalan dengan Pono di Mahkamah Agung saat mengecek kasasi kasus Bank Jakarta di register MA.


12 September
Harini bertemu Pono di Mahkamah Agung. Ia meminta Pono membantu mengurus kasasi Probosutedjo dalam kasus hutan tanaman industri. Pono menanyakan nomor kasasi dan menjawab kasus sudah diputus 5 September. Berkas putusan tinggal dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


16 September
Harini meminta salinan putusan ke PN Pusat. Namun, hasilnya nihil. Ia mengontak Pono dan dijawab bisa mencarikan dengan imbalan. Harini setuju.


22 September
Pono mengontak Harini dan minta bertemu di kantor MA. Ia meminta uang Rp 100 juta untuk biaya operasional majelis hakim kasasi. Pono mengaku uang akan diberikan lewat seorang asisten Bagir Manan, yang juga ketua majelis kasasi kasus tersebut.


Uang diberikan, Pono menyerahkan fotokopi draf amar putusan. Isinya membebaskan terdakwa Probosutedjo dari segala tuntutan.


29 September
Pukul 10.00
Pono menelepon Harini, ia meminta dana lagi. Alasannya, putusan akan dikirim hari itu juga ke PN Pusat. Pono dipertemukan dengan Probosutedjo oleh Harini. Pono mengaku utusan Bagir Manan dan membawa mandat Ketua MA tersebut untuk minta imbalan Rp 5 miliar, masing-masing Rp 2 miliar dalam bentuk rupiah dan sisanya dolar Amerika. Probo minta bertemu Bagir untuk menyerahkan sendiri duit tersebut. Pono menolak dengan alasan hanya bisa lewat dirinya.


Pukul 12.30
Probosutedjo meminta Pono dan Harini datang ke rumahnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Uang dalam dua kardus diserahkan. Terdiri dari US$ 300 ribu dalam satu kardus. Kardus yang lain berisi US$ 100 ribu dan Rp 800 juta.


Pukul 15.30
Pono minta Harini menjemputnya di pelataran parkir kantor Korpri di MA. Pono hanya membawa kardus berisi US$ 300 ribu. Pono mengaku uang dalam kardus lain sudah diserahkan ke Bagir Manan.


Ia disuruh Bagir Manan menukar US$ 100 ribu ke rupiah, sedangkan sisa dolar lainnya akan dikirim ke saudara Bagir di Lampung. Pono minta diantar pulang ke rumahnya di Bekasi. Di tengah perjalanan, Pono menyuruh Harini mengambil US$ 50 ribu.


Pukul 23.30
Harini dan Pono serta empat pegawai MA ditangkap tim KPK di rumah mereka.








================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke