Saya bukan setuju saja tapi sepulu..

-----Original Message-----
From: roki [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, October 12, 2005 3:32 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] (NEWS) Mafia Suap dari Dalam Mahkamah


Selamat Sore...

Saya mau kasih sedikit Comment sedikit terhadap kasus korupsi macam gini... 
bagaimana kalo tim yang terlibat korupsi jika terbukti entah itu pejabat MA 
atau siapapun yang terjaring kasus ini segera diberlakukan hukunnya Zhu Rong

ji sajaaaa.... atau mestinya  saat ada pengangkatan Ketua MA baru nanti 
minta di persiapkan 1000 peti mati  ... 999 untuk koruptor dan 1 untuk ketua

MA  bila terlibat korupsi.... bagaimana......??????

salam,
Papanya Eric
----- Original Message ----- 
From: "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "depokmilis" <[EMAIL PROTECTED]>
Cc: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Wednesday, October 12, 2005 2:43 PM
Subject: [balita-anda] (NEWS) Mafia Suap dari Dalam Mahkamah



Fyi,
buat dibaca baca  menjelang bedug maghrib.


rgrd


      http://www.tempointeraktif.com/hg/mbmtempo/free/hukum.html
      Mafia Suap dari Dalam Mahkamah
      Nama Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan disebut-sebut oleh para 
tersangka sebagai ujung rantai jual-beli perkara. KPK berjanji akan mengusut

tuntas perkara itu.


Sejumlah penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendadak datang 
menggeledah Mahkamah Agung (MA), Jumat sore dua pekan lalu. Mereka 
membongkar ruang Sekretariat Korpri (Korps Pegawai Negeri Republik 
Indonesia) di bilik G-104 Gedung Perencanaan MA, di Jalan Merdeka Utara, 
Jakarta. Dari balik kaca, tampak terlihat para penyidik menggaruk empat 
kardus-satu kardus di antaranya berisi gepokan uang yang ditengarai sebagai 
uang suap-yang lantas diusung keluar.


Penggerebekan itu, dalam upaya mengungkap kasus suap-dan juga mafia 
peradilan-berlangsung singkat. Diawali masuknya laporan kejadian korupsi, 
Kamis (29/9), dari seorang pelapor ke KPK. Lantas, pada Jumat dini harinya, 
tim KPK berhasil menangkap dan menggeledah Harini Wiyoso, 67 tahun, mantan 
hakim tinggi Yogyakarta, di rumahnya di Puri Mutiara, Cipete Selatan, 
Cilandak, Jakarta Selatan. Ditemukan uang US$ 50 ribu (sekitar Rp 500 juta) 
di bawah lemari pakaian janda satu anak itu, yang diselipkan di antara 
buku-buku. "Pengungkapan tidak seketika. Ada penyelidikan beberapa lama," 
kata Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Erry Riyana Hardjapamekas.


Tim KPK juga mencokok lima pegawai MA saat masih terlelap, di rumahnya 
masing-masing. Mereka adalah Wakil Sekretaris Korpri Suharyoto, staf Korpri 
Sudi Ahmad, staf perdata Triyadi, staf bagian kendaraan Pono Waluyo, serta 
Kepala Bagian Umum Biro Kepegawaian Malam Pagi Sinohadji. Total uang tunai 
yang disita US$ 400 ribu (Rp 4,03 miliar) dan 800 juta rupiah.


Keenam tersangka itu, menurut Erry kepada wartawan, dijerat dengan sejumlah 
pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni "...memberi 
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara 
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut 
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya...". Perbuatan ini dalam

kamus korupsi kerap disebut penyuapan pejabat negara (gratifikasi).



* * *


"Apa benar Pak Waluyo suruhan Pak Bagir Manan?" tanya pengusaha Probosutedjo

di kantornya di Jalan Menteng, Jakarta Pusat. "Benar, Pak," jawab Pono 
Waluyo, yang menemuinya diantar Harini Wiyoso, pengacara Probo. Saudara tiri

mantan presiden Soeharto ini terlihat ragu sesaat. Bagir Manan, seorang 
Ketua Mahkamah Agung, menyuruh pegawai kerucuk urusan kendaraan itu meminta 
duit kepadanya. Sejurus kemudian, Probo bertanya lagi, "Berapa Pak Bagir 
Manan minta?" "Lima miliar, Pak. Dua miliar dalam rupiah dan tiga miliar 
dalam dolar Amerika," jawab Pono meyakinkan.


Percakapan pagi hari itu, 29 September lalu, tampaknya telah membuka peluang

"barter perkara". Probo, yang dibelit kasus penyalahgunaan Dana Reboisasi 
Hutan Tanaman Industri di Kalimantan Selatan, tengah menunggu detik-detik 
jatuhnya keputusan kasasi yang ditangani Bagir Manan, Parman Suparman, dan 
Usman Karim. Pono datang padanya "menawarkan" sebuah putusan "merdu" untuk 
perkara beregister 682 tahun 2004, yakni: bebas dari tuntutan. Bukankah 
kesempatan tak datang dua kali?


Probo rupanya memilih bersepakat. Siang itu juga, duit pun dikemas dalam dua

kardus. Rp 800 juta dan US$ 100 ribu dijadikan satu kardus. Kardus lain 
berisi penuh US$ 300 ribu. Pono Waluyo pun dipanggil ke rumah Probo di Jalan

Diponegoro, tak jauh dari kantor Kedaung Group, perusahaan milik Probo. 
Diikatnya kedua kardus itu dan diserahkannya kepada Pono. "Bu Harini tidak 
usah ikut ke MA," kata Probo kepada pengacaranya (lihat Kronologi Suap).


Di kantor Sekretariat Korpri MA, kardus berisi Rp 800 juta dan US$ 100 ribu 
ditinggal Pono. Ia menitipkan kardus itu kepada Sudi Ahmad. "Bagian saya Rp 
1,5 miliar untuk mempengaruhi putusan. Uang ini untuk Pak Ketua (Bagir)," 
kata Sudi mengaku, selepas dirinya diperiksa KPK, pekan lalu. Pono ternyata 
mempercayakan pengurusan perkara pada Sudi Ahmad.


Sudi Ahmad, tak kalah sigap, sudah menyiapkan "timnya" beberapa hari sebelum

duit datang. Mereka rajin kasak-kusuk. Malam Pagi, misalnya, pada 23 
September lalu sudah mengontak Triyadi di bagian perdata. "Apa ada 'jalan' 
untuk perkara Probosutedjo?" tanya dia menyelidik. "Coba kita cari jalan," 
jawab Triyadi, yang kemudian menghubungi Abdul Hamid, Kepala Seksi 
Pengamatan Perkara Pidana MA. Semula Hamid menolak. "Wah, tidak ada jalan," 
katanya. Namun, setelah Triyadi menemuinya selama tiga hari berturut-turut, 
jawabannya berubah. "Baik, bisa kita bantu," kata Hamid menyanggupi. Triyadi

pun meneruskan jawaban itu kepada Malam Pagi.


Makanya, ketika duit itu sampai di tangan Sudi, kabar segera dikirim. "Pak 
Hamid, uangnya sudah ada. Mau diambil atau tidak?" tanya Triyadi. Hamid 
mengatakan akan segera diambil. Bersama Malam Pagi, Triyadi akhirnya 
berangkat mengambil duit tersebut ke rumah Sudi Ahmad karena uang telanjur 
dibawa pulang. Uang itu-ternyata mereka hanya diberi Rp 1,25 miliar oleh 
Sudi-lantas dibawa Malam Pagi.


Menurut dokumen KPK yang diterima Tempo, duit sejumlah itulah yang akan 
diserahkan kepada Bagir. Pono mengaku bahwa sebelumnya ada dana Rp 100 juta 
sudah diserahkan ke Bagir lewat seorang panitera pembantunya. Berkat 
"panjar" tersebut pula, salinan keputusan majelis bisa didapat. Salinan 
tanpa kop MA, tanpa nama majelis hakim, dan tanpa nama terdakwa itu-yang 
katanya calon putusan majelis-bisa didapat dan diserahkan ke Probosutedjo. 
Dalam amar putusan itu dinyatakan: majelis kasasi mengadili sendiri dan 
memutuskan terdakwa bebas dari tuntutan jaksa.


Putusan bebas ini, jika benar, tentu saja membuat bungah hati Probo. Sebab, 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis Probosutedjo empat tahun 
penjara, karena terbukti melakukan korupsi Dana Reboisasi yang merugikan 
negara Rp 100,931 miliar, dengan cara memanipulasi data luasan pembangunan 
hutan tanaman industri (HTI) dan mengalihkan Dana Reboisasi yang diterima PT

Menara Hutan Buana dari Bank Exim (sudah dimerger menjadi Bank Mandiri) ke 
rekening PT Wonogung Jinawi miliknya sebesar Rp 55 miliar di sejumlah bank. 
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta mengurangi hukumannya menjadi 
dua tahun penjara.



* * *


Setelah para tersangka kasus suap di lingkungan MA itu ditangkap, yang 
terjadi adalah saling bantah. Triyadi mengaku sekadar suruhan saja. "Saya 
mengantar Pak Malam Pagi dari MA ke rumah Sudi Ahmad. Saya ambil uang itu 
juga atas izin Pak Hamid. Kalau tidak ada kesanggupan dari dia, saya tidak 
bisa melakukan apa-apa," ujarnya. Malam Pagi pun serupa. "Saya tidak tahu 
lagi, setelah diserahkan pada Triyadi mau diserahkan ke mana lagi," katanya 
mengelak.


Takut bernasib jadi pesakitan, Abdul Hamid menangkis tuduhan 
keterlibatannya. "Saya tidak pernah menerima uang sepeser pun. Saya tidak 
mau dan tidak pernah lihat duit itu," katanya. Menurut Hamid, dirinya memang

beberapa kali dihubungi Triyadi. "Hari Kamis (29/9), Triyadi menghubungi 
saya lagi. Dia katakan dananya sudah siap. Saya bilang saya tidak mampu 
menolong. Saya tolak karena tidak ada jalan," ujar Hamid.


Ketua MA Bagir Manan menyatakan tak bersalah. "Saya siap diperiksa," kata 
Bagir pekan lalu. Tak hanya dirinya, ia juga memerintahkan seluruh anak 
buahnya bekerja sama dengan penyidik KPK dan Komisi Yudisial. Ia mengaku 
tidak pernah mendengar soal uang yang "dijatahkan" untuk dirinya. "Saya 
tidak tahu. Saya bahkan sama sekali tidak mengenal kelima pegawai itu. Tapi,

sebagai Ketua MA, kan tidak pantas jika saya mengatakan tidak tahu soal 
mereka," ia memaparkan.


Bagir mengatakan pernah bertemu Harini, pengacara Probo, enam bulan lalu. 
"Dia menemui saya untuk berpamitan selaku pensiunan hakim tinggi di 
Yogyakarta. Dia bilang punya hubungan dengan Probosutedjo. Saya tertawa 
saja. Saya tidak mau bicarakan kasus dengan siapa pun," kata Bagir.


Bagaimana tanggapan Probosutedjo perihal kasus suap di lingkungan MA yang 
menempatkan dirinya sebagai sumber utama? Ia hanya menggeleng-gelengkan 
kepalanya ketika ditanya perihal sepak terjang pengacara Harini Wiyoso. 
Probo juga menyangkal memberinya uang untuk menyuap Bagir Manan. "Uang apa?"

katanya pendek saat dicegat di kantornya. Upaya Tempo mencari penjelasan 
tambahan dari Probo di rumahnya tak membuahkan hasil. Seorang anak 
angkatnya, mengaku bernama Heri, menyampaikan penolakan Probo kepada Tempo. 
"Bapak cuma bilang iya, terus masuk ke kamarnya," katanya.


Menurut Ketua Muda MA Bidang Pengawasan, Gunanto Suryono, berdasarkan 
penelusuran internal MA, modus operandi para pegawai MA tersebut adalah 
membuat putusan palsu atau fiktif. "Saya dengar, dalam putusan palsu 
tersebut vonisnya bebas," ia menjelaskan.


"Membuat putusan palsu, bagi staf di lingkungan MA, itu kan gampang," 
katanya. Padahal, menurut Bagir, majelis kasasi Probo masih dalam proses 
membaca berkas. "Musyawarah saja belum, apalagi ada putusan. Jadi, mereka 
itu (sudah) membuat putusan palsu," kata Bagir tegas. Satu dari lima 
pegawai, yakni Sudi Ahmad, dua tahun lalu sudah tertangkap memalsukan 
putusan. Kini, ia dalam proses pemecatan.


KPK berjanji akan tuntas mengusut perkara itu. "Kita intensif memeriksa 
tersangka dan pihak terkait," kata Erry Riyana. "Pemeriksaan tak semua bisa 
disampaikan terbuka, akan terus dilakukan sampai kasus ini terang," ia 
menambahkan.


Arif A. Kuswardono, Thoso Priharnowo, Edy Can



----------------------------------------------------------------------------
----


Agustus 2005
Harini berkenalan dengan Pono di Mahkamah Agung saat mengecek kasasi kasus 
Bank Jakarta di register MA.


12 September
Harini bertemu Pono di Mahkamah Agung. Ia meminta Pono membantu mengurus 
kasasi Probosutedjo dalam kasus hutan tanaman industri. Pono menanyakan 
nomor kasasi dan menjawab kasus sudah diputus 5 September. Berkas putusan 
tinggal dikirim ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


16 September
Harini meminta salinan putusan ke PN Pusat. Namun, hasilnya nihil. Ia 
mengontak Pono dan dijawab bisa mencarikan dengan imbalan. Harini setuju.


22 September
Pono mengontak Harini dan minta bertemu di kantor MA. Ia meminta uang Rp 100

juta untuk biaya operasional majelis hakim kasasi. Pono mengaku uang akan 
diberikan lewat seorang asisten Bagir Manan, yang juga ketua majelis kasasi 
kasus tersebut.


Uang diberikan, Pono menyerahkan fotokopi draf amar putusan. Isinya 
membebaskan terdakwa Probosutedjo dari segala tuntutan.


29 September
Pukul 10.00
Pono menelepon Harini, ia meminta dana lagi. Alasannya, putusan akan dikirim

hari itu juga ke PN Pusat. Pono dipertemukan dengan Probosutedjo oleh 
Harini. Pono mengaku utusan Bagir Manan dan membawa mandat Ketua MA tersebut

untuk minta imbalan Rp 5 miliar, masing-masing Rp 2 miliar dalam bentuk 
rupiah dan sisanya dolar Amerika. Probo minta bertemu Bagir untuk 
menyerahkan sendiri duit tersebut. Pono menolak dengan alasan hanya bisa 
lewat dirinya.


Pukul 12.30
Probosutedjo meminta Pono dan Harini datang ke rumahnya di Jalan Diponegoro,

Jakarta Pusat. Uang dalam dua kardus diserahkan. Terdiri dari US$ 300 ribu 
dalam satu kardus. Kardus yang lain berisi US$ 100 ribu dan Rp 800 juta.


Pukul 15.30
Pono minta Harini menjemputnya di pelataran parkir kantor Korpri di MA. Pono

hanya membawa kardus berisi US$ 300 ribu. Pono mengaku uang dalam kardus 
lain sudah diserahkan ke Bagir Manan.


Ia disuruh Bagir Manan menukar US$ 100 ribu ke rupiah, sedangkan sisa dolar 
lainnya akan dikirim ke saudara Bagir di Lampung. Pono minta diantar pulang 
ke rumahnya di Bekasi. Di tengah perjalanan, Pono menyuruh Harini mengambil 
US$ 50 ribu.


Pukul 23.30
Harini dan Pono serta empat pegawai MA ditangkap tim KPK di rumah mereka.








================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke