Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 
      Baju-baju tipis kini mulai jarang dipakai oleh para Masisir (Mahasiswa 
Indonesia Mesir) seiring lantunan pergantian musim panas ke musim dingin yang 
akan menyelimuti kota Kairo. Suasana masuknya udara dingin, seolah menyambut 
sang "Tamu Agung", Ramadhan Karim.

      Alhamdulillah, hari ini kujelang kembali Ramadhan. Perkenankan kami 
kembali merasakan nikmat Ramadhan-Mu ya Allah, tuntunlah kami agar mampu 
menggunakan peluang ini, memenuhinya dengan kekhusyukan ibadah, dan 
menghiasinya dengan ketulusan amal. Amin.

      Hari Sabtu, jam tangan Alba ku menunjukkan pukul 13.00 waktu Kairo. Para 
masisir tampak berbondong-bondong bergegas menuju pada satu titik pertemuan di 
daerah Nasr City, tepatnya daerah Rab'ah el-Adawiyah, yang mana disana terdapat 
sebuah bangunan yang kami kenal dengan Wisma Nusantara. Bangunan berlantai lima 
ini merupakan pusat sentralisasi kegiatan para Masisir. 

      Hari ini para Mahasiswa Indonesia dengan semangat 45 menuju ke arah Wisma 
Nusantara guna mengambil jatah pembagian sembako, dimana tiap individu 
mendapatkan beras, minyak, gula dan lain sebagainya. Bantuan-bantuan sembako 
yang alirannya mengalir dari kran para muhsinin dan dermawan penduduk Mesir ini 
bisa dikatakan sebuah "adat istiadat" Mahasiswa Indonesia ketika akan menemui  
Tamu Agung.

      Tamu Agung begitulah saya menganalogikan Bulan Ramadhan. Dimana pada 
bulan berkah ini, kita mendapatkan sebuah "door prize" dengan berbagai macam 
fadhilah-fadhilahnya. Dan tahun ini merupakan ramadhan kali keempatnya saya 
rasakan dalam lingkup kehidupan berpuasa di Kairo. 

      Kairo merupakan ibu kota dari sebuah Negara Purba, disebabkan seringnya 
mendengar pengakuan warganya yang berkata, "al-Misr ummu al-Hadarah "(Mesir Ibu 
Peradapan). Tiada lain disebabkan saksi bisu sejarah masih utuh kita dapatkan 
disini. Atau yang sering terdengar dari ungkapan para Mahasiswa Indonesia, 
Mesir merupakan Negeri Seribu Menara, disebabkan setiap kali kita melangkahkan 
kaki saat itu pula kita akan mendapatkan menara-menara masjid yang memiliki 
gaya arsitektur yang berbeda-beda. Ada menara yang bermodelkan arsitektur 
Iran-Persia, atau ornament Turki-Ottoman, malah ada yang menyerupai arsitektur 
Andalus (Spanyol Lama). Tapi kebanyakan yang khas arsitek Mesir, dinasti 
Mamaliknya. Menurut empunya dongeng, corak arsitekturnya bangunan-bangunan 
islam klasik di Kairo sangat dipengaruhi oleh dinasti yang pernah 
memerintahnya. Dan Rasulullah 'alaihi as-shalatu wa as-salam sempat memberi 
laqab dengan Ardu Kinanah (Negeri Panah/busur panah). Disebabkan keterkaitannya 
M
 esir sebagai penyelamat islam.

      Nuansa dan suasana kota Kairo disaat bulan ramadhan bila dibandingkan 
dengan keadaan berpuasa di Indonesia atau di benua khususnya dalam tatanan 
globalnya hampir sama, masjid mulai banyak di minati warga untuk melaksanakan 
shalat tarawih. Peningkatan nilai aktifitas ibadah. Akan tetapi keseragaman dan 
kesamaan pastilah dalamnya ditemukan secuil perbedaan. Disinilah adanya 
perbedaan kenikmatan ketika shaum di Kairo dengan melaksanakan ibadah puasa 
Ramadhan di Tanah Air.

      Nuansa masuknya bulan ramadhan di Kairo bisa diketahui dengan munculnya 
beberapa kios yang menjual makanan-makanan ringan khas timur tengah, seperti 
kurma, kataif dan manis-manisan. Serta munculnya penjual-penjual al-Faanus 
(Lampu Ramadhan) khas Mesir. Kios penjual makanan dan lampu khas ini mudah 
dikenali, karena mereka memakai khiyamiyah (kain khas mesir) yang di dominasi 
warna biru dan merah. Kalau disamakan meskipun jauh berbeda, ini sama halnya 
dengan munculnya pasar wadai di benua, tapi saya mendapati beberapa kelebihan 
dan "asyik"nya nuansa Pasar Wadai di benua. Terkadang dengan mengingat itu, 
membuat angan-angan saya mengepakkan sayapnya, terbang menuju benua.

      Ada perbedaan aktifitas yang mencolok di dapati di Kairo yaitu ketika 
senja hari, menjelang waktu iftar (buka puasa), suasana berubah total. Seluruh 
jalanan sampai jalan yang biasanya digemari pengemudi di Kairo menjadi lengang, 
sepi kendaraan. Tidak ada toko buka, tidak ada mobil yang melintas. Karena 
mereka bergegas pulang untuk berkumpul dan berbuka dengan keluarganya di rumah 
masing-masing.

      Dan bila selesai masa berbuka, maka "gemerlap" Kairo akan dimulai, 
lebih-lebih saat ramadhan, kehidupan terasa lebih lama. Sampai pukul 
menunjukkan 2.00 dini hari, sisi kehidupan di Kairo masih "hidup", dengan masih 
penuhnya orang lalu lalang. Nah! Disini terletak juga perbedaan dengan di 
Indonesia. Dimana keamanan di Kairo sungguh memiliki garansi jaminan. 
Barangkali Mesir merupakan negeri yang paling aman di kawasan Timur-Tengah. 
Ketenangan hidup betul-betul sangat dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa asing di 
negeri ini, meskipun ada juga segelintir harami (pencuri) yang suka bikin ulah, 
tapi kwalitas dan kuantitas mereka, tidak bisa menyaingi negeri kita. Hak-hak 
untuk hidup secara wajar, begitu dijamin kebebasannya. Tubuh-tubuh askari 
(tentara) yang mematung di setiap sudut jalan, memancarkan khayalan, betapa 
saya sangat mengimpikan, jiwa-jiwa seperti mereka ada di Indonesia. 

      Jika dalam tatanan aktifitas ibadah, ada sedikit perbedaan. Jikalau di 
benua ketika permulaan Ramadhan kita dapati berbondong-bondong masyarakat pergi 
menuju masjid untuk melaksanakan shalat tarawih, mulai laki-laki, perempuan, 
tua, muda, sehingga menyebabkan keadaan dan nuansa masjid menjadi begitu sangat 
ramai meskipun antusias mereka me"ramai"kan masjid berkurang ketika garis akhir 
ramadhan. Jika disini kurang lebih begitupun juga, akan tetapi bisa dibilang, 
antusias warga ke masjid "biasa-biasa" saja. Kenapa hanya biasa-biasa saja? 
disebabkan meskipun selain bulan puasa, masjid disini tetap ramai dengan 
jama'ahnya setiap shalat lima waktu, jadi sudah merupakan hal yang lumrah 
shalat berjama'ah ke masjid. Berbeda mencolok dengan di benua, yang hanya ramai 
ketika shalat maghrib dan isya' saja. Tapi yang terlihat kontras adalah 
minimnya kaum hawa di masjid-masjid dalam pelaksanaan shalat tarawih. Dan tidak 
ditemukannya para wanita shalat di masjid, tidak hanya terjadi 
 di bulan ramadhan saja. Mungkin disebabkan oleh dominannya masyarakat Mesir 
mengikuti madzab Imam Hanafi, berbeda dengan masyarakat Indonesia yang di 
dominasi oleh madzab Imam Syafi'i. 

      Saya berandai-andai ketika ziarah ke makam Imam Syafi'i yang terletak di 
bilangan Mesir Lama. Beberapa ratus meter saja dari kawasan segi tiga emas 
Kairo, Azhar, Khan Khaliliy dan Imam Hussen Square. Seandainya makam Imam 
Syafi'i ini terletak di Indonesia, maka "bentuk" dan "keadaan" makam Imam 
Syafi'i tidak akan seperti sekarang. Karena saya menilai makam Imam Syafi'i 
disini kurang mendapat perhatian.

      Jikalau ditanya, senang atau sedih kah berpuasa di benua urang? Saya 
menjawab fleksibel dan kondisional, meskipun saya tidak menafikkan, terkadang 
saya kaganangan dengan bingka, apam barandam, kalalapon, amparan tatak, Putu 
Mayang, Tapai Gambut, yang menjadi wadai favoritku. Laduman paring ,bagarakan 
sahur, takbiran keliling merupakann aktifitas yang asyik untuk di nikmati.. 
Tapi disisi lainnya saya menikmati berpuasa disini. Dan –hasil polling sebuah 
media pers Mahasiswa Indonesia- hampir 60,5% mahasiswa Indonesia disini merasa 
senang ber-Ramadhan di Mesir, Karena disini saya mendapati aplikasi riil ajaran 
islam dalam dimensi ritual dan sosialnya. Dimana baiknya bagi kita belajar dari 
Mesir yang tidak terlalu muluk-muluk dalam menyambut bulan puasa, akan tetapi 
mendatangkan kesan yang sangat mendalam.

      Fenomena dalam kontek sosialnya, di Mesir ini ada sebuah tradisi yang 
telah berlangsung sejak lama, menurut alkisah, tradisi ini sudah dimulai di 
Dinasti Fatimiyyah. Mungkin ini merupakan ciri khas tersendiri bagi masyarakat 
Negeri Seribu Menara, yaitu Ma'idatur Rahman (jamuan Allah). Tradisi ini jarang 
sekali kita temukan di negeri kita. Toh kalaupun ada, itupun hanya terbatas 
pada masjid-masjid terkenal saja. Misalnya di masjid  Istiqlal, Masjid Agung 
Surabaya dll. Kemudian ada juga di rumah orang-orang kaya, walaupun itu hanya 
untuk selamatan saja. Dan ingat, ini hanya untuk satu kali saja dalam sebulan.

      Sedangkan di Mesir, itu berlangsung selama satu bulan penuh dan tidak 
pernah telat. Jadi fungsi ma'idatur rahman adalah menyediakan makanan untuk 
iftar (buka puasa). Menu yang disajikan para dermawan adalah, ayam, daging, 'is 
("nasi" nya Mesir). Dan biasanya ma'idatur rahman ini menjadi rutinitas 
Mahasiswa Indonesia untuk mencari "gratisan" berbuka puasa. "Mumpung ada yang 
menyediakan buat apa masak", mungkin itu salah satu apologi kekawanan. Karena 
mahasiswa disini dituntut untuk memasak, kalau tidak maka perut mereka harus 
siap diisi dengan makanan Mesir yang terkadang masih belum mu'adalah (sesuai). 
Meskipun sekarang telah menjamurnya rumah makan yang siap menyajikan menu ala 
Indonesia yang terletak di kawasan Hay al-Asyir, atau kami menyebutnya kawasan 
melayu. 

      Sedangkan untuk makan sahur, kami harus ber-koki ria sendiri di dapur, 
dan terkadang terkena problem waktu sahur yang telat karena tidak mendengar 
suara khas gerakan "bagarakan sahur", yang kami dengar hanya panggilan dering 
telpon dari teman yang bertujuan membangunkan untuk sahur. Malahan terkadang 
tidak sahur dikarenakan seharian sibuk dengan aktifitas yang seabrek yang 
menguras stamina.

      Yang tidak kalah menariknya adalah lancarnya kafalah-kafalah atau 
musa'adah dari para dermawan mesir bagi Mahasiswa Indonesia baik dalam bentuk 
uang atau sembako. Seorang teman saya berkata, "pintu ramadhan terbuka, 
kafalah-kafalah pada datangan­" ucapnya polos bin PeDe. Ucapan teman saya itu 
ter-amini dengan datangnya bantuan-bantuan, baik melalui instansi mesir, atau 
individu kepada Mahasiswa Indonesia. Seperti halnya yang kami alami beberapa 
hari yang lalu. Kami, Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir (KMKM) mendapatkan 
bantuan daging dari salah satu Toko Kitab terkenal di Mesir; Darul Hadist. 
Sehingga dengan subsidi daging tersebut kita dapat mengadakan acara buka puasa 
bersama yang dihadiri oleh para putera-puteri daerah Kalimantan di Mesir, acara 
ini berlangsung semarak karena di gabung dengan acara diskusi mingguan, 
khataman al-Qur'an serta shalat tarawih berjama'ah.

      Sedangkan dalam dimensi ritual yang akan melahirkan sosok akhlaqul 
karimah, sangat tampak terlihat. Kejadian yang cukup mengesankan, namun bagi 
orang Mesir sendiri barangkali hanya biasa-biasa saja. Membaca Alquran di dalam 
bus dengan suara yang bisa didengar penumpang lain adalah peristiwa yang lumrah 
dan biasa terjadi, perbedaan mencolok barangkali, suasana seperti ini tidak 
biasa kita saksikan di bus-bus kota, di tanah air. Tidak hanya oleh penumpang 
bus, kondektur, polisi yang sedang jaga, penjaga toko, sering ditemukan oleh 
mata kita mereka sedang membaca al-Qur'an, Subhanallah!.

      Ternyata, bukan hanya sebatas kejadian semacam ini, bayangkan saja, anda 
tidak usah heran kalau ada orang Mesir yang turun dari bus sambil mengucapkan 
“assalamualaikum” pada kondektur atau penumpang lainnya, bahkan anak-anak muda 
yang lagi nongkrong di pinggir jalan, ketika di sapa dengan salam, mereka 
buru-buru menjawabnya, padahal kita tidak tahu apakah mereka orang Islam atau 
orang Qibti (Kristen). 

      Namun, di balik suasana seperti ini, kebiasaan orang Mesir yang sangat 
kontras adalah perang mulut sesama mereka. Tidak hanya di bus-bus kota, di 
jalan-jalan sepanjang kota Kairo, kita mungkin akan selalu menyaksikan 
orang-orang Mesir yang saling beradu menegangkan urat lehernya dengan 
sebangsanya. Kalau sudah begini, sumpah serapah akan keluar spontan dari mulut 
mereka; yabnul kalb, kusummak dan semacamnya sudah menjadi bahasa kemarahan 
yang seakan tidak bisa dihapus sama sekali. Padahal untuk standar orang-orang 
Asia, ungkapan-ungkapan tersebut tergolong sangat keras, yang ujung-ujungnya 
bisa memicu ajang pertumpahan darah. Ternyata kelebihan mereka juga ada pada 
sisi ini. Di balik sifat mereka yang keras, pantang malu alias PD, tidak mau 
kalah dan kadang sok tahu, mereka sama sekali bukan pendendam dan suka 
menyimpan kemarahan berlama-lama. Ketika terjadi pertengkaran kemudian ketika 
mendengar orang lain berteriak "Ramadhan karim", "Ma'alys" (maaf) ataupun 
"Shallu 'a
 lan nabi" secara spontan tanpa banyak pandir aktivitas pertengkara itu 
terhenti. Pantas saja kiranya kalau bulan puasa di sini dikenal dengan Ramadhan 
Karim (Ramadhan yang mulia). Karena memang membawa imbas yang begitu kuat dalam 
diri penduduk di sini. Sehingga melahirkan prilaku-prilaku mulia. Masya Allah!

      Sedangkan pada 10 hari terakhir Ramadhan. Masjid-masjid di tiap sudut 
Kairo tak pernah berkurang jumlah nominal jama'ahnya, malahan adanya 
progresifitas jama'ah dan aktifitas ibadah. Seperti i'tikaf. Bahkan ada 
beberapa masjid, seperti Masjid Sarbini di daerah Masakin Ustman yang 
memberikan pelayanan "Wah" kepada para mu'takif selama sepuluh hari terakhir. 
Dan juga ada masjid yang sengaja membuat agenda qiyamul lail berjama'ah di 
lanjutkan dengan sahur bersama. Diantaranya adalah Masjid Rab'ah Al-Adaweyah di 
bilangan strategis Rab'ah. Bahkan di masjid tertua di Benua Afrika yaitu Masjid 
Amru bin Ash yang didirikan di zaman Khalifah Umar bin Khatab didatangi oleh 
para jama'ah dari setiap penjuru Mesir yang ditaksir jumlahnya melebihi dari 
kuantitas jama'ah pada acara Nisfu Sya'ban di Sekumpul. Apalagi ketika malam 
ganjil terutama tanggal 27 dan 29 ditambah yang menjadi imam adalah Syaikh 
Muhammad Jibril, imam paling terkenal di Mesir saat ini. Yang terkenal dengan 
suaran
 ya yang dapat menggetarkan qalbu. Jadi disaat shalat tarawih berlangsung kita 
dengar suara-suara tangisan para jama'ah. Dimana fenomena ini tidak pernah 
didapati di tanah air. 

      Sedangkan nuansa hari raya idul fitri di Kairo, kita tidak akan mendapati 
suasana dan nuansa yang begitu kental dan familiar seperti yang terjadi di 
banua. Adat salam-menyalami, silaturrahmi ke tetangga-tetangga atau keluarga 
tidak dapat kita temui disini. Tapi dengan adanya shalat idul fitri yang 
diadakan oleh Kedutaan Indonesia. Disinilah tali ukhuwah lebih terasa ikatannya 
dengan adanya "reuni" setahun sekali antar "keluarga" sesuku dan sebangsa. 
Berpelukan, salam menyalami, sapa menyapa dengan teman, pejabat Kedutaan dan 
warga Indonesia di Kairo menjadi obat dahaga akan kehausan nuansa idul fitri di 
tanah air.

      Akhirnya saya mengucapkan, "Selamat menunaikan ibadah puasa". Mohon Maaf 
atas kekurangan dan khilaf. Semoga ramadhan kali ini membawa berkah untuk 
kehidupan kita. Salam kami untuk dangsanak-dangsanak di benua, mohon doanya


================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke