Komentar: Saya saja sebagai laki-laki terharu membaca kisah ini. Inilah konsekuensi era wanita karir di zaman globalisasi. ========================================= Ini ada cerita yg menarik u/ disimak Assalamu'alaikum wr, wb. Saya hanya ingin sekadar bertutur tentang seorang sahabat baik saya (teman kuliah dulu di desa). Sebut saja Saras namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi serta tentunya ca'em. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika sekolah mengirim kami untuk mempelajari teknik pertambangan, beruntung Saras terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan manajemen saja sehingga saya berpisah dari seluk beluk pertambangan. Beruntung pula, Saras mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Avicena, buah cinta mereka lahir ketika Saras baru selesai master minyaknya di Perancis dan diangkat sebagai staf kompanyon tambang minyak terbesar didunia bertepatan dengan tuntasnya suami Saras meraih PhD dalam bidang kedokteran. Konon nama putera mereka itu diambil dari nama cerdik-cendekiawan muslim pada masa perletakan batu pertama Eropa mengalami pencerahan. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini adalah agar seluhur sang cerdik-cendekia tersebut. Ketika Avi, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Saras semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya,"Tidakkah si Avi terlalu kecil untuk ditinggal?" Dengan sigap Saras menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Avi tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. " Contohlah ayah-ibumu Vi, kalau Avi besar nanti." Begitu selalu nenek Avi, ibunya Saras bertutur disela-sela dongeng menjelang tidur cucunya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Avi berusia 3 tahun, Saras bercerita kalau Avi minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Avi. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Avi bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Saras, Avi selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Saras bahkan menyebutnya sang "malaikat kecil". Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Avi tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Avi. Suatu hari, menjelang Saras berangkat ke kantor, entah mengapa Avi menolak dimandikan baby-sitternya. "Avi ingin ibu yang mandikan" ujarnya. Karuan saja Saras yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Avi mau mandi dengan tante Mien (panggilan tante karena sudah begitu menyedulur/kaya saudara sendiri saja), baby-sitternya. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan,"Bu, mandikan Avi" begitu pintanya setiap pagi. Saras dan suaminya berpikir, mungkin karena Avi sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Avi demam dan kejang-kejang, sekarang di UGD". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Avi, sang Malaikat kecil keburu dipanggil pulang oleh sang Khalik. Saras, ibunya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini ibu, Vi. Ibu mandikan Avi ya" ucapnya lirih, namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si malaikat kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Saras, sahabatku yang tegar itu berkata, "Ini sudah takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan,kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan...? ". Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur dengan aroma kamboja. Tiba-tiba Saras tertunduk dan air matanya mengalir begitu saja tanpa perintah akalnya yang sangat dipujanya "Aku ibunya !" serunya kemudian, "Bangunlah Vi. Ibu mau mandikan Avi. Beri kesempatan ibu sekali lagi saja,Vi". Rintihan itu begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-ngais tanah merah... Apabila timbul pada dirimu prasangka Janganlah dinyatakan..., Bila cita-cita muliamu terlaksana Janganlah dibanggakan...,Bila dihatimu timbul duka-kecewa Jangan cepat dienyahkan...,dan, Bila timbul dihatimu iri-dengki Janganlah di perturutkan... Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga manja dan bergelayut : "Mandikan aku, Pak atau Bu" Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai terlambat ? (Ini adalah kesedihan saya semata, hanya sebagai reka-reka hati nurani belaka dan mohon ma'af bila menyakitkan karena ada kesamaannya dengan sahabat atau siapapun) Wassalamu'alaikum wr, wb.