Saya tidak akan mengomentari dulu HTS dan politiknya, tapi ada satu pengambilan kesimpulan yang menarik, yang mungkin bisa dipelajari bersama.
Dibawah, ada disebutkan : (1) “Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya ketionghoaan budaya babah sehingga orientasi keindonesiaan-nya memang total.” Kemudian ada penarikan kesimpulan sbb : (2) “orang yang 'masih dibesarkan dalam warna budaya ketionghoaan' maka orientasi keindonesiaannya tidak akan total, akan terpecah” Umumnya kita akan melihat ini sebagai penarikan kesimpulan yang benar dan logical, padahal tidaklah demikian. Mengapa ? Mari kita lihat pelan-pelan. Pertama, kita bisa tulis ulang statement pertama diatas sbb : “ Jika orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan, maka orientasi keindonesiaan-nya total” Sekarang, untuk mempermudah, kita definisikan P=”orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan”, dan Q=”orientasi keindonesiaan-nya total” Kalimat tersebut diatas, kemudian, dapat saya tuliskan kembali menjadi “ Jika P, maka Q” (mungkin yang masih ingat pelajaran LOGIKA di SMP/SMA(?) boleh mulai bernostalgia....hehe J) Nah, di dalam Ilmu Logika, sebuah premise “Jika P, maka Q” dapat di-transposisi-kan menjadi “ Jika Tidak Q, maka Tidak P” yang masih mempunyai nilai kebenaran yang sama. Tapi premise tersebut (Jika P maka Q) tidak bisa diubah menjadi “Jika tidak P, maka tidak Q” JADI, dari kalimat atau premise “ Jika orang dibesarkan tanpa warna budaya ketionghoaan, maka orientasi keindonesiaan-nya total”, secara logika dapat saja diambil kesimpulan bahwa “Jika orientasi keindonesiaan-nya tidak total, maka orang tsb dibesarkan dengan warna budaya ketionghoaan” Tapi BUKANLAH : “ Jika orang dibesarkan dengan warna budaya ketionghoaan, maka orientasi keindonesiaan-nya tidak total” Penarikan kesimpulan cara seperti ini adalah salah satu bentuk logical fallacy. Prometheus Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS AW: Selama saya kenal pak Harry Tjan tampaknya dia baik baik saja tentang Tionghoa. KH: Saya tidak kenal pak Harry Tjan. Tapi saya tidak sependapat dengan tulisannya di Kompas ketika sahabatnya meninggal: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/14226 kutipan: "Semenjak muda sebagai mahasiswa hukum, Ong Tjong Hay, nama pemberian orangtua, yang kemudian berubah menjadi Kristoforus Sindhunata, secara konsekuen menunjukkan komitmennya untuk menjadi patriot Indonesia, meskipun dia tumbuh dalam lingkungan pergaulan dan pendidikan Belanda. Dia sekolah di HBS dan mempunyai status hukum sebagai gelijkgesteld, orang yang disamakan dengan golongan Eropa atau sebagai londo godong. Sebenarnya sikap dasarnya itu tidak mengherankan karena dia adalah putra kedua dari tiga bersaudara dari Dr Ong Hok Lan yang semenjak masa kuliahnya di Nederland selalu berada di kalangan Persatuan Pelajar Indonesia yang mendambakan Indonesia merdeka. Dengan demikian, Sindhu memang dibesarkan tanpa ada warna budaya ketionghoaan budaya babah sehingga orientasi keindonesiaan-nya memang total. Tidak mangrotingal, tidak mendua terpecah perhatian dengan loyalitas mana pun. Dia adalah monoloyalis Indonesia, baik secara politis, sosial, maupun kultural." Tulisan di atas seakan-akan mengatakan orang yang 'masih dibesarkan dalam warna budaya ketionghoaan' maka orientasi keindonesiaannya tidak akan total, akan terpecah. Menurut HTS orang yang sekolah di HBS dan mempunyai status hukum sebagai gelijkgesteld, orang yang disamakan dengan golongan Eropa atau sebagai londo godong, akan lebih nasionalis daripada orang yang 'dibesarkan dalam warna budaya Tionghoa'. Pernyataannya ini amat merendahkan orang yang 'dibesarkan dalam warna budaya Tionghoa' karena nasionalisme seseorang tidak ditentukan oleh 'warna budaya' atau 'status hukum' atau 'di mana dia bersekolah'. KH --- On Thu, 9/25/08, Anton Widjaja <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Anton Widjaja <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [budaya_tionghua] Re: HTS di CSIS To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Thursday, September 25, 2008, 5:55 AM Kalau tolok ukurnya parsel lebaran saya bilang memang kondisinya lebih buruk. Kemarin saya emncri kardus untuk parsel lebaran. Ternyata di dua buah supermarket besar saya tidak menemukan kardus ukuranbesar. kata kasirnya memang tahun ini cuma satu ukuran yang sama dengan ukuran sedang tahun lalu. Kesimpulannya perdagangan bahan baha parsel agak lesu. Secra tidak langsugn perputaran uang agak kurang. Selama saya kenal pak Harry Tjan tampaknya dia baik baik saja tentang Tionghoa. . Image removed by sender. No virus found in this incoming message. Checked by AVG - http://www.avg.com Version: 8.0.169 / Virus Database: 270.7.2/1690 - Release Date: 25/9/2008 7:05 AM
<<image001.jpg>>