http://id.beritasatu.com/home/rapor-utang-pemerintah-tiga-orde/165326





http://id.beritasatu.com/home/rapor-utang-pemerintah-tiga-orde/165326



*Rapor Utang Pemerintah Tiga Orde*
*Oleh Ragimun *| Jumat, 15 September 2017 | 10:07

Ragimun A.. Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral,
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu (Pendapat Pribadi)

Berita Terkait

   -

   Utang PLN <http://id.beritasatu.com/home/utang-pln/165894>
   -

   Agustus 2017, Utang Pemerintah Bertambah Rp 45,81 Triliun
   
<http://id.beritasatu.com/home/agustus-2017-utang-pemerintah-bertambah-rp-4581-triliun/165804>
   -

   Hingga Juli 2017, Utang Pemerintah Rp 3.779,98 Triliun
   
<http://id.beritasatu.com/home/hingga-juli-2017-utang-pemerintah-rp-377998-triliun/164068>
   -

   Darmin: Yang Penting Utang untuk Gerakkan Ekonomi
   
<http://id.beritasatu.com/home/darmin-yang-penting-utang-untuk-gerakkan-ekonomi/163453>
   -

   Menkeu: Utang Pemerintah Dikelola Hati-hati
   
<http://id.beritasatu.com/home/menkeu-utang-pemerintah-dikelola-hati-hati/163250>

Dalam sejarahnya, APBN Indonesia tidak lepas dari utang. Banyak pengamat
memandang utang merupakan momok anggaran, di sisi lain ada argument yang
memandang utang adalah pelengkap anggaran. Saat ini hampir semua Negara
menganut rezim deficit anggaran, konon rezim defisit anggaran ini dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih ekspansif. Nah, untuk menutup defisit
tersebut, salah satunya tentu dengan skema utang.



Krisis ekonomi masa lalu menjadikan negeri ini kaya akan berbagai
pengalaman dengan utang, terutama utang luar negeri. Saat itu, utang
Indonesia melonjak gara-gara depresiasi mata uang dolar AS. Sementara utang
luar negeri banyak dalam bentuk dolar AS.



Pada akhirnya, banyak pengamat memberikan rambu-rambu dan berbagai argumen
yang dapat menggiring opini publik untuk melihat makin besarnya total utang
Pemerintah. Ada yang kemudian membandingkan dengan Produk Domestik Bruto
(PDB), dengan total APBN, atau mengungkapkan utang per kapita. Sungguh
menyedihkan saat ini karena setiap penduduk memikul beban utang lebih dari
Rp 20 juta.



Dengan kata lain anak cucu kita sudah diwarisi utang turunan. Memang,
faktanya setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan pokok utang dan
bunga. Periode semester I-2017, cicilan sudah mencapai Rp 291,64 triliun
atau 56,68% dari pagu anggaran. Tercatat total utang pemerintah per akhir
Juli 2017 sebesar Rp 3.706,52 triliun. Bila dihitung, rasio utang ini masih
sekitar 27% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jumlah APBN-P 2017
adalah sebesar Rp 2.111,36 triliun. Jadi, ternyata total APBN 2017 saja
belum mampu untuk membayar total utang Indonesia.



Walaupun sebenarnya angka rasio utang ini jauh lebih kecil dibandingkan
dengan angka rasio utang negara-negara G20 lainnya. Sejarah mencatat,
hasrat berutang sudah ada sejak pemerintahan Orde Lama. Pemerintahan
Soekarno pernah berutang US$ 6,3 miliar, yang terdiri atas US$ 4 miliar
warisan utang Hindia Belanda dan US$ 2,3 miliar utang baru.



Walaupun sikap Presiden Soekarno sangat tegas; anti utang, alasannya
mengurangi kedaulatan rakyat dan negara. Namun pola pembangunan “mercusuar”
Soekarno tidak terelakkan dari sikap anti utang itu.



Era Orde Baru saat rezim Soeharto, APBN tidak lepas dari utang, bahkan
rasio utang pernah mencapai 57,7% terhadap PDB, yaitu saat krisis ekonomi
1998 terjadi. Jumlah utang membengkak karena terjadinya depresiasi mata
uang rupiah. Berlanjut ke Orde Reformasi, tahun 1999, saat pemerintah BJ
Habibie, rasio utang sangat tinggi karena depresiasi terus berlanjut, yakni
rasio utang mencapai 85,4% terhadap PDB. Tahun 2001, era pemerintahan Gus
Dur, rasio utang pernah mencapai 77,2% terhadap PDB. Kemudian tahun 2002,
pada era pemerintahan Megawati, rasio utang sempat turun menjadi 67,2%
terhadap PDB. Era SBY tahun 2005-2014 mencatat rasio utang makin mengecil
dari 47,3% menjadi 24,7% terhadap PDB.



Komitmen Pemerintah SBY saat itu jelas, menginginkan lepas dari beban
utang, termasuk lepas dari belenggu IMF. Selanjutnya pada era Presiden
Jokowi, rasio utang naik tipis menjadi 27,4% terhadap PDB. Walaupun begitu,
rasio utang Indonesia saat ini masih pada level aman dari toleransi rasio
utang yang dipersyaratkan dalam Undang-undang Keuangan Negara, yaitu
sebesar 60% dari PDB.



Di sisi lain beberapa negara mempunyai ratio utang sangat tinggi dan ini
justru dialami oleh negara-negara besar seperti Jepang dengan ratio 272,2%,
Amerika Serikat 101,5% dan Singapura 105,5%. Ternyata Negara-negara
tersebut tidak mengalami goncangan dengan ratio utang yang tinggi. Bisa
jadi karena utang Jepang lebih didominasi utang dalam negeri, sedangkan AS
karena kepercayaan pasar keuangan dunia terhadap pemerintahan Amerika
sangat tinggi. Termasuk Singapura.



Berbeda dengan Yunani yang mempunyai rasio utang tinggi hingga 175,1%,
tetapi akhirnya kolaps karena belanja pemerintah didanai dengan utang.



“Memang serba salah mengelola APBN”, begitu kata Menteri Keuangan Sri
Mulyani pada suatu waktu. Menurutnya, bila ingin APBN tanpa utang maka
belanja harus dipotong hampir Rp 400 triliun. Hal ini merupakan angka yang
sama dengan defisit anggaran yang sebesar 2,92% dari PDB.



Sebenarnya, ratio utang akan terus menurun bila komitmen pemerintah untuk
mengurangi utang secara bertahap dan terus menerus dengan melakukan
penyisiran efisiensi belanja. Efeknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi
bisa saja terganggu.



Memang, kita sering latah, dulu pada masa Orde Baru metode anggaran yang
digunakan adalah anggaran berimbang dan dinamis, nyatanya pertumbuhan
ekonomi bisa lebih dari 7%. Saat masa reformasi ini, pemerintah yang
mengadopsi negara-negara besar menggunakan metode defisit anggaran dengan
dalih lebih agresif dan ekspansif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
target-target asumsi makro lainnya. Dan, risikonya tentu saja meningkatnya
skema pembiayaan. Yang paling mudah tentu dengan menambah utang.



Kenapa mudah, karena banyak negara dan lembaga donor secara agresif sudah
siap mengucurkan dana dan jeratannya, dengan skema pendanaan yang menarik.
Sebut saja IMF, World Bank, IDB, ADB, belum lagi negara-negara donor
melalui mekanisme G to G.



Di sisi lain, pengelolaan utang sering tidak match dengan pembiayaan proyek
yang akan didanai, karena biasanya key performance-nya hanya mencari
utangan untuk menutup defisit. Walaupun rambu-rambu World Bank, IMF
mensyaratkan tidak boleh lebih dari 3% dari PDB. Jadi sebenarnya dana utang
itu hanya masuk kas negara dan dari sisi pengawasan akan relatif lebih
sulit.



Seperti diungkap di atas untuk menurunkan rasio utang pada level aman atau
rendah salah satu di antaranya adalah melakukan efisiensi anggaran
belanjanya. Pospos anggaran yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap
pertumbuhan adalah salah satunya, seperti subsidi yang tidak tepat sasaran.
Di sisi lain digiatkan anggaran yang ekspansif dengan meningkatkan stimulus
fiskal.



Kedua, terus dilakukan upayaupaya mengurangi kebocoran anggaran. Jadi bisa
jadi benar menurut sang Begawan Ekonomi Sumitro Hadikusumo yang mengatakan
kebocoran anggaran mencapai 30% dari APBN. Bayangkan, kalau itu terjadi dan
dapat disetop, maka pada dasarnya pemerintah tidak perlu melakukan skema
utang. Bila saat ini masih terjadi maka tugas pemerintah salah satu di
antaranya adalah mengefektifkan pengawasan. Mendorong KPK dan unit-unit
pengawasan termasuk di Kementerian dan Lembaga. Penindakan tegas dan
hukuman berat para pelaku korupsi.



Ketiga, terus dilakukan upaya nyata untuk pencapaian target penerimaan
pajak dan penerimaan bukan pajak. Saat ini, penerimaan bukan pajak
mempunyai tren terus meningkat. Keempat, terus menjaga stabilitas
fundamental makro terutama pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas mata
uang, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan investasi.



Memang, bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, utang
merupakan sumber dana untuk mempercepat pembangunan. Namun tetap harus
memperhitungkan risiko fiskal terutama utang luar negeri. Oleh karena itu,
model seperti Jepang dapat juga diterapkan, dominasi utang dalam negeri
telah lebih dari 70%. Artinya, setiap individu, rumah tangga dan masyarakat
bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan, melalui
partisipasi investasi surat utang negara, SBN, obligasi, dan lain-lain.



Sepertinya pemerintah sudah mengarah ke sana, namun masyarakat belum
terdorong untuk berpartisipasi seperti halnya di Jepang, di mana sampai
ibu-ibu rumah tangga pun sudah terbiasa berinvestasi obligasi atau saham
negaranya. Jadi, ternyata memang setiap rezim masih sulit membendung hasrat
untuk tidak berutang. Oleh karenanya, seluruh birokrat dan para pemimpinnya
harus berani mengubah mindset dan piawai melakukan rekayasa keuangan
(financial engineering) termasuk pandai merekayasa struktur APBN anti utang.



*Ragimun, **Peneliti Madya Badan* *Kebijakan Fiskal, Kemenkeu* *(pendapat
pribadi)*



*Oleh Ragimun *| Jumat, 15 September 2017 | 10:07

Ragimun A.. Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral,
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu (Pendapat Pribadi)

Berita Terkait

   -

   Utang PLN <http://id.beritasatu.com/home/utang-pln/165894>
   -

   Agustus 2017, Utang Pemerintah Bertambah Rp 45,81 Triliun
   
<http://id.beritasatu.com/home/agustus-2017-utang-pemerintah-bertambah-rp-4581-triliun/165804>
   -

   Hingga Juli 2017, Utang Pemerintah Rp 3.779,98 Triliun
   
<http://id.beritasatu.com/home/hingga-juli-2017-utang-pemerintah-rp-377998-triliun/164068>
   -

   Darmin: Yang Penting Utang untuk Gerakkan Ekonomi
   
<http://id.beritasatu.com/home/darmin-yang-penting-utang-untuk-gerakkan-ekonomi/163453>
   -

   Menkeu: Utang Pemerintah Dikelola Hati-hati
   
<http://id.beritasatu.com/home/menkeu-utang-pemerintah-dikelola-hati-hati/163250>

Dalam sejarahnya, APBN Indonesia tidak lepas dari utang. Banyak pengamat
memandang utang merupakan momok anggaran, di sisi lain ada argument yang
memandang utang adalah pelengkap anggaran. Saat ini hampir semua Negara
menganut rezim deficit anggaran, konon rezim defisit anggaran ini dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi lebih ekspansif. Nah, untuk menutup defisit
tersebut, salah satunya tentu dengan skema utang.



Krisis ekonomi masa lalu menjadikan negeri ini kaya akan berbagai
pengalaman dengan utang, terutama utang luar negeri. Saat itu, utang
Indonesia melonjak gara-gara depresiasi mata uang dolar AS. Sementara utang
luar negeri banyak dalam bentuk dolar AS.



Pada akhirnya, banyak pengamat memberikan rambu-rambu dan berbagai argumen
yang dapat menggiring opini publik untuk melihat makin besarnya total utang
Pemerintah. Ada yang kemudian membandingkan dengan Produk Domestik Bruto
(PDB), dengan total APBN, atau mengungkapkan utang per kapita. Sungguh
menyedihkan saat ini karena setiap penduduk memikul beban utang lebih dari
Rp 20 juta.



Dengan kata lain anak cucu kita sudah diwarisi utang turunan. Memang,
faktanya setiap tahun pemerintah harus membayar cicilan pokok utang dan
bunga. Periode semester I-2017, cicilan sudah mencapai Rp 291,64 triliun
atau 56,68% dari pagu anggaran. Tercatat total utang pemerintah per akhir
Juli 2017 sebesar Rp 3.706,52 triliun. Bila dihitung, rasio utang ini masih
sekitar 27% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan jumlah APBN-P 2017
adalah sebesar Rp 2.111,36 triliun. Jadi, ternyata total APBN 2017 saja
belum mampu untuk membayar total utang Indonesia.



Walaupun sebenarnya angka rasio utang ini jauh lebih kecil dibandingkan
dengan angka rasio utang negara-negara G20 lainnya. Sejarah mencatat,
hasrat berutang sudah ada sejak pemerintahan Orde Lama. Pemerintahan
Soekarno pernah berutang US$ 6,3 miliar, yang terdiri atas US$ 4 miliar
warisan utang Hindia Belanda dan US$ 2,3 miliar utang baru.



Walaupun sikap Presiden Soekarno sangat tegas; anti utang, alasannya
mengurangi kedaulatan rakyat dan negara. Namun pola pembangunan “mercusuar”
Soekarno tidak terelakkan dari sikap anti utang itu.



Era Orde Baru saat rezim Soeharto, APBN tidak lepas dari utang, bahkan
rasio utang pernah mencapai 57,7% terhadap PDB, yaitu saat krisis ekonomi
1998 terjadi. Jumlah utang membengkak karena terjadinya depresiasi mata
uang rupiah. Berlanjut ke Orde Reformasi, tahun 1999, saat pemerintah BJ
Habibie, rasio utang sangat tinggi karena depresiasi terus berlanjut, yakni
rasio utang mencapai 85,4% terhadap PDB. Tahun 2001, era pemerintahan Gus
Dur, rasio utang pernah mencapai 77,2% terhadap PDB. Kemudian tahun 2002,
pada era pemerintahan Megawati, rasio utang sempat turun menjadi 67,2%
terhadap PDB. Era SBY tahun 2005-2014 mencatat rasio utang makin mengecil
dari 47,3% menjadi 24,7% terhadap PDB.



Komitmen Pemerintah SBY saat itu jelas, menginginkan lepas dari beban
utang, termasuk lepas dari belenggu IMF. Selanjutnya pada era Presiden
Jokowi, rasio utang naik tipis menjadi 27,4% terhadap PDB. Walaupun begitu,
rasio utang Indonesia saat ini masih pada level aman dari toleransi rasio
utang yang dipersyaratkan dalam Undang-undang Keuangan Negara, yaitu
sebesar 60% dari PDB.



Di sisi lain beberapa negara mempunyai ratio utang sangat tinggi dan ini
justru dialami oleh negara-negara besar seperti Jepang dengan ratio 272,2%,
Amerika Serikat 101,5% dan Singapura 105,5%. Ternyata Negara-negara
tersebut tidak mengalami goncangan dengan ratio utang yang tinggi. Bisa
jadi karena utang Jepang lebih didominasi utang dalam negeri, sedangkan AS
karena kepercayaan pasar keuangan dunia terhadap pemerintahan Amerika
sangat tinggi. Termasuk Singapura.



Berbeda dengan Yunani yang mempunyai rasio utang tinggi hingga 175,1%,
tetapi akhirnya kolaps karena belanja pemerintah didanai dengan utang.



“Memang serba salah mengelola APBN”, begitu kata Menteri Keuangan Sri
Mulyani pada suatu waktu. Menurutnya, bila ingin APBN tanpa utang maka
belanja harus dipotong hampir Rp 400 triliun. Hal ini merupakan angka yang
sama dengan defisit anggaran yang sebesar 2,92% dari PDB.



Sebenarnya, ratio utang akan terus menurun bila komitmen pemerintah untuk
mengurangi utang secara bertahap dan terus menerus dengan melakukan
penyisiran efisiensi belanja. Efeknya adalah percepatan pertumbuhan ekonomi
bisa saja terganggu.



Memang, kita sering latah, dulu pada masa Orde Baru metode anggaran yang
digunakan adalah anggaran berimbang dan dinamis, nyatanya pertumbuhan
ekonomi bisa lebih dari 7%. Saat masa reformasi ini, pemerintah yang
mengadopsi negara-negara besar menggunakan metode defisit anggaran dengan
dalih lebih agresif dan ekspansif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
target-target asumsi makro lainnya. Dan, risikonya tentu saja meningkatnya
skema pembiayaan. Yang paling mudah tentu dengan menambah utang.



Kenapa mudah, karena banyak negara dan lembaga donor secara agresif sudah
siap mengucurkan dana dan jeratannya, dengan skema pendanaan yang menarik.
Sebut saja IMF, World Bank, IDB, ADB, belum lagi negara-negara donor
melalui mekanisme G to G.



Di sisi lain, pengelolaan utang sering tidak match dengan pembiayaan proyek
yang akan didanai, karena biasanya key performance-nya hanya mencari
utangan untuk menutup defisit. Walaupun rambu-rambu World Bank, IMF
mensyaratkan tidak boleh lebih dari 3% dari PDB. Jadi sebenarnya dana utang
itu hanya masuk kas negara dan dari sisi pengawasan akan relatif lebih
sulit.



Seperti diungkap di atas untuk menurunkan rasio utang pada level aman atau
rendah salah satu di antaranya adalah melakukan efisiensi anggaran
belanjanya. Pospos anggaran yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap
pertumbuhan adalah salah satunya, seperti subsidi yang tidak tepat sasaran.
Di sisi lain digiatkan anggaran yang ekspansif dengan meningkatkan stimulus
fiskal.



Kedua, terus dilakukan upayaupaya mengurangi kebocoran anggaran. Jadi bisa
jadi benar menurut sang Begawan Ekonomi Sumitro Hadikusumo yang mengatakan
kebocoran anggaran mencapai 30% dari APBN. Bayangkan, kalau itu terjadi dan
dapat disetop, maka pada dasarnya pemerintah tidak perlu melakukan skema
utang. Bila saat ini masih terjadi maka tugas pemerintah salah satu di
antaranya adalah mengefektifkan pengawasan. Mendorong KPK dan unit-unit
pengawasan termasuk di Kementerian dan Lembaga. Penindakan tegas dan
hukuman berat para pelaku korupsi.



Ketiga, terus dilakukan upaya nyata untuk pencapaian target penerimaan
pajak dan penerimaan bukan pajak. Saat ini, penerimaan bukan pajak
mempunyai tren terus meningkat. Keempat, terus menjaga stabilitas
fundamental makro terutama pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas mata
uang, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan investasi.



Memang, bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, utang
merupakan sumber dana untuk mempercepat pembangunan. Namun tetap harus
memperhitungkan risiko fiskal terutama utang luar negeri. Oleh karena itu,
model seperti Jepang dapat juga diterapkan, dominasi utang dalam negeri
telah lebih dari 70%. Artinya, setiap individu, rumah tangga dan masyarakat
bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan, melalui
partisipasi investasi surat utang negara, SBN, obligasi, dan lain-lain.



Sepertinya pemerintah sudah mengarah ke sana, namun masyarakat belum
terdorong untuk berpartisipasi seperti halnya di Jepang, di mana sampai
ibu-ibu rumah tangga pun sudah terbiasa berinvestasi obligasi atau saham
negaranya. Jadi, ternyata memang setiap rezim masih sulit membendung hasrat
untuk tidak berutang. Oleh karenanya, seluruh birokrat dan para pemimpinnya
harus berani mengubah mindset dan piawai melakukan rekayasa keuangan
(financial engineering) termasuk pandai merekayasa struktur APBN anti utang.



*Ragimun, **Peneliti Madya Badan* *Kebijakan Fiskal, Kemenkeu* *(pendapat
pribadi)*

Kirim email ke