Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com e-JEMMi -- Menggunakan Firman Allah dalam Penginjilan kepada "Saudara Sepupu" No. 20, Vol. 16, Juli 2013
Shalom, Apa kabar pembaca setia e-JEMMi? Bulan ini adalah bulan suci bagi "saudara sepupu" kita, dan karena itulah tema e-JEMMi pada bulan ini adalah seputar pelayanan terhadap mereka. Pada edisi kali ini, kami membawa ke hadapan Anda sebuah artikel yang adalah bab pendahuluan dari sebuah buku yang ditulis oleh John Gilchrist tentang penginjilan kepada "saudara sepupu" kita. Semoga apa yang kami sajikan ini dapat menolong Anda untuk semakin peduli pada bidang pelayanan misi ini. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati kita sekalian. Pemimpin Redaksi e-JEMMi, Yudo < yudo(at)in-christ.net> < http://misi.sabda.org/ > ARTIKEL MISI: MENGGUNAKAN FIRMAN ALLAH DALAM PENGINJILAN KEPADA "SAUDARA SEPUPU" Penginjilan kepada "saudara sepupu" merupakan salah satu ladang pelayanan kesaksian Kristen yang tersulit. Selama dua abad terakhir, umat Kristen telah mencari berbagai cara untuk dapat membawa "saudara sepupu" kita kepada Kristus. Akan tetapi, pada akhirnya, mereka menyadari bahwa meyakinkan "saudara-saudara sepupu" untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat bukanlah sebuah perkara yang mudah. Dalam pelayanan misi masa kini, agen-agen misi dan para penginjil Kristen telah mengajukan beberapa metode yang menjamin kelangsungan penginjilan terhadap "saudara sepupu", sekaligus memberi hasil sesuai dengan yang diharapkan. Metode-metode itu meliputi penginjilan persahabatan (friendship evangelism), penginjilan relasi (relational evangelism), kontekstualisasi (contextualisation), dan pendekatan pemenuhan kebutuhan (felt-needs approaches) -- semua metode tersebut adalah sebagian metode yang terdapat dalam katalog metode pelayanan misi, yang diajukan sebagai cara terbaik untuk menjangkau "saudara sepupu" bagi Kristus. Perintisan jemaat di tengah-tengah komunitas "saudara sepupu" juga menjadi bahan studi, diskusi, dan dipersiapkan dalam berbagai bidang sebelum penginjilan dalam bentuk apa pun dijalankan. Hasil penginjilan menjadi tujuan utama, dan jika dimungkinkan, jumlah jiwa yang cukup untuk mendirikan jemaat baru dari "saudara-saudara sepupu" yang bertobat. Metode-metode penginjilan yang beragam hanyalah satu hal, mengangkat metode itu menjadi satu-satunya cara untuk menjangkau "saudara sepupu" adalah hal yang lain. Di sampul belakang bukunya yang berjudul "Waging Peace on Islam", Christine Mallouhi menulis, "Ketika 'saudara sepupu' merasa ragu terhadap iman kita, dibingungkan oleh pesan yang kita bawa, dan terluka oleh perlengkapan perang kita, maka satu-satunya saksi yang dapat dipercaya adalah hidup kita sendiri. 'Saudara sepupu' perlu melihat Yesus, dan cara paling umum supaya mereka dapat melihat Dia adalah melalui kehidupan kita." Bill dan Jane, sepasang misionaris yang melayani di lingkungan "saudara sepupu" menyatakan dalam buku Phil Parshall yang berjudul "Last Great Frontier", "Jika ingin mengubah status quo, [kita] harus menemukan cara lain agar 'saudara-saudara sepupu' dapat mendapati Kristus di dalam konteks budaya dan komunitas mereka sendiri." (hlm. 178) Penolakan sengit yang dilakukan para "saudara sepupu" terhadap Injil telah membuat banyak orang Kristen mencari cara alternatif untuk menjangkau mereka demi Kristus, cara-cara yang tampaknya akan memberikan hasil yang diinginkan. Akibatnya, beragam metode yang muncul memiliki embel-embel dogmatis seperti, "Inilah satu-satunya cara!" atau sebaliknya, "Kita membutuhkan cara yang baru!" Namun, pekabaran Injil dengan cara sederhana yang telah memenangkan berjuta-juta penganut agama Hindu dan Buddha kepada Kristus tetap tidak efektif ketika diperhadapkan dengan "saudara sepupu". Dengan demikian, pencarian metode-metode baru tampaknya lebih menjamin hasil akhir yang diinginkan. Baru-baru ini, saya mendengar sebuah khotbah ibadah Minggu di gereja rumah saya. Pengkhotbah ini menyampaikan khotbahnya dengan sederhana, "Anda tidak dapat membangun Kerajaan Allah. Hanya Allah yang dapat melakukannya. Anda hanya dapat mencerminkan Kerajaan itu melalui kesaksian dan kehidupan Anda." Pernyataan itu meringkas segalanya! Sama seperti yang diungkapkan oleh pemazmur dengan begitu gamblang: "Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya." (Mazmur 127:1) Dalam titik ini, situasi ladang pelayanan misi terhadap "saudara sepupu" betul-betul menguji para pelayan Kristen. Apakah mereka akan memercayakan karya pembaruan yang memanggil anak-anak Ismail menuju iman kepada Yesus Kristus? Ataukah mereka akan memaksakan Kabar Baik itu dengan mencari-cari cara menurut hikmat manusia agar dapat membujuk "saudara sepupu" menjadi orang percaya (yang sering kali, dengan menurunkan harga pemuridan yang sejati)? Rasul Paulus sangat sadar akan kenyataan bahwa hanya Tuhanlah, melalui Roh-Nya, yang dapat menarik siapa pun kepada-Nya sehingga ia berkata kepada orang-orang percaya di Korintus, "Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan." (1 Korintus 3:6) Yesus Kristus sendiri menyampaikan perumpamaan yang menyatakan hal yang sama ketika ia dikelilingi kedua belas murid-Nya dan orang-orang lain yang mendengarkan pengajaran-Nya: "Beginilah hal Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah, lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang itu. Bumi dengan sendirinya mengeluarkan buah, mula-mula tangkainya, lalu bulirnya, kemudian butir-butir yang penuh isinya dalam bulir itu. Apabila buah itu sudah cukup masak, orang itu segera menyabit, sebab musim menuai sudah tiba." (Markus 4:26-29) Allah sendirilah yang menyediakan pertumbuhan. Dia jugalah satu-satunya yang dapat mendirikan rumah. Manusia yang menanam, menyiram, dan menuai tidak tahu-menahu tentang bagaimana benih yang ditaburkannya itu bertunas dan bertumbuh. Hanya Allah sendiri yang tahu. Penginjilan terhadap "saudara sepupu" harus kembali kepada kesaksian Injil yang sederhana, percakapan satu-satu yang membagikan kebenaran agung tentang kabar baik keselamatan melalui Yesus Kristus, lalu menyerahkan hasil pelayanan itu ke dalam tangan Allah. Hampir selama 20 tahun, sepanjang tahun 70-an sampai 80-an, saya mendapat kehormatan untuk menjadi salah satu bagian dari sekelompok pemuda Kristen yang mengabarkan Injil kepada "saudara sepupu" di Afrika Selatan, di sebuah provinsi bernama Transvaal. Provinsi itu kini tak ada lagi di peta Afrika Selatan sebab negara itu telah berubah secara dramatis selama 10 tahun terakhir. Meski demikian, daerah itu masih ada; terletak di provinsi paling Utara, di antara Botswana, Zimbabwe, dan Mozambik. Daerah perbatasan itu didiami oleh 50.000 "saudara sepupu", dan kami mengunjungi setiap rumah mereka, satu per satu di tiap-tiap kota. Kami benar-benar mendatangi setiap rumah "saudara sepupu" di provinsi itu, kecuali yang berada di Kota Lenasia, yang terletak di dekat Johannesburg, kawasan komunitas "saudara sepupu" terbesar; kami hanya menginjili setengah dari kota itu. Kami memperoleh hasil, tetapi bukan itu intinya. Kami menggunakan firman Tuhan secara efektif dalam menjangkau "saudara sepupu"; itulah inti yang sebenarnya. Selama bertahun-tahun, kami bersaksi kepada "saudara sepupu" menggunakan setiap halaman dari Kitab Suci, firman Allah yang kudus, dan sumber utama yang digunakan oleh Roh Kudus untuk menarik setiap manusia kepada Injil. Nilai firman Tuhan demi tujuan kami terangkum dalam ayat ini: "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita." (Ibrani 4:12) Tidak hanya itu, kami juga belajar dari Kitab Suci sendiri bahwa keuntungan menggunakan Alkitab sebagai dasar kesaksian untuk menginjili "saudara sepupu" adalah karena kita memiliki banyak kesamaan dengan mereka sehingga kita bisa membangun dasar Injil yang kokoh di atas kesamaan-kesamaan itu. Kita akan melihat hal ini lebih dalam lagi. Contoh Paulus dari Catatan Kisah Para Rasul Ketika Paulus mengunjungi sinagoge-sinagoge Yahudi yang tersebar di seluruh wilayah Yunani dan Asia Kecil, ia dapat dengan bebas bertukar pikiran dengan semua yang hadir di sana. Ia juga dapat menjelaskan dan membuktikan dari Kitab Suci bahwa Yesus adalah Mesias yang lama dinantikan itu. Akan tetapi, ketika ia sampai di Athena dan mengamati kota itu, ia menyadari bahwa ia berada di lingkungan yang amat berbeda. Kota itu penuh dengan berhala dan pasarnya sering kali dikunjungi oleh golongan Epikurean, Stoa, dan filsuf-filsuf lainnya. Kini, Paulus tidak lagi berada di "kandangnya" sendiri. Bagaimana ia menginjili orang-orang yang berasal dari bangsa, budaya, dan warisan religi yang sama sekali berbeda darinya? Akan tetapi, ketika ia berdiri di sidang Aeropagus dan ditantang untuk menyampaikan ajarannya kepada penduduk kota itu, yang menganggapnya telah menyebarkan ajaran baru yang aneh, ia memulai perkataannya dengan: "Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu." (Kisah Para Rasul 17:22-23) Ada 2 pelajaran penting yang dapat ditarik dari kedua ayat tersebut. Yang pertama, Paulus mendekatkan dirinya dengan kepercayaan orang-orang yang hendak diinjilinya. Cara terbaik untuk mendapatkan dampak dari prinsip ini adalah dengan menekankan beberapa kata tertentu dalam kalimat pertamanya: "Aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa (religius). Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan ...." Paulus mengambil waktu untuk membiasakan dirinya dengan latar belakang orang-orang yang akan dijangkaunya. Ia mengamati sembari berjalan-jalan di kota itu dan ketika ia melakukannya, ia pun menemukan altar itu. Dalam menginjili "saudara sepupu", orang-orang Kristen harus mempelajari sebanyak mungkin tentang kepercayaan dan kebiasaan orang-orang yang ingin dijangkaunya. Mempelajari Alquran dan bagian-bagian penting dari hadis akan sangat menolong sebab hanya dengan begitulah seorang Kristen dapat berkomunikasi dengan lebih sensitif, efektif, dan cerdas dengan "saudara sepupu". Pelajaran kedua yang muncul dari pelajaran yang pertama adalah perlunya mencari kesamaan titik awal, terutama dengan ajaran-ajaran yang 'sejalan' dengan keyakinan dasar kita dan ajaran Kitab Suci. Saat Anda dapat membangun titik awal yang sama, maka Anda akan dapat mendengar dengan lebih baik dan juga menyatakan kebenaran Injil yang berbeda dari apa yang sebelumnya mereka percayai tentang Injil. Paulus melakukan hal ini, dan ketika Anda melakukan hal yang sama, Anda juga dapat mengabarkan Injil dengan lebih berdampak. Dengan demikian, Anda dapat berkata seperti Paulus, "Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu." Sebuah contoh yang sangat baik tentang bagaimana Yesus memakai pendekatan ini adalah di dalam sebuah percakapan dengan seorang perempuan Samaria. Setiap hari, perempuan itu datang dari Kota Sikhar ke Sumur Yakub, yang jaraknya cukup jauh dari tempat itu. Sama seperti semua penduduk di wilayah itu, perempuan tersebut tidak memiliki pilihan lain. Samaria adalah sebuah wilayah semi gurun, dan sumur itu adalah urat nadi kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ketika Yesus berbicara kepada perempuan itu tentang kuasa-Nya untuk memberi hidup, Ia berkata, "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." (Yohanes 4:13-14) Perkataan Yesus langsung menyentuh dasar keberadaan perempuan itu. Sebab, setiap hari perempuan itu datang ke sumur Yakub untuk menimba air (dari kebiasaannya ini, terbukti bahwa air yang diambilnya dari sumur itu terbatas), tetapi Yesus membawanya ke sebuah sumur yang tidak terbatas airnya, yaitu sebuah mata air yang akan memberinya kehidupan kekal. Dalam konteks ini, Anda dapat melihat bagaimana Injil dapat disampaikan untuk melawan apa yang sudah dipercayai, baik oleh "saudara sepupu" maupun penganut kepercayaan lain, tentang Injil. Selain dua pelajaran itu, ada pelajaran ketiga yang dapat diambil dari pengalaman Paulus, kali ini dalam perdebatannya dengan orang-orang Yahudi di sinagoge-sinagoge. Di sana, Paulus berdebat dengan memakai dasar dari Kitab Suci (Kisah Para Rasul 17:2). Ketika berdebat di sana, Paulus tidak menggunakan ilustrasi, percakapan teologis maupun hikmat manusia meskipun hal-hal itu sering kali dipakai dalam perdebatan umum. Paulus mendasarkan pesan yang dibawanya di atas firman Allah yang, seperti sudah kita lihat, adalah dasar terbaik untuk bersaksi. Firman Allah adalah pedang Roh, firman itu hidup dan aktif, firman itu sanggup menusuk sampai ke dalam jiwa dan roh manusia, dan itulah alat Tuhan yang paling efektif untuk menarik orang-orang yang tidak percaya kepada Injil tentang Anak-Nya. Paulus hanya menekankan sebagian kecil, jika ada, tentang penciptaan, budaya, atau kepekaan pendengarnya. Ia memulai tugas itu dengan kekuatan dari sumber yang tepat, yaitu firman Allah, dan Roh Kudus yang menjadi saksi atas berita yang dibawanya. Ia melakukan penginjilan dengan cara yang alkitabiah sebab Kitab Suci kita ini, menurut Surat Ibrani, mampu "menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum." Kesaksian kristiani bukanlah sebuah usaha untuk membujuk orang lain agar mau percaya terhadap kebenaran Injil, melainkan merupakan sebuah panggilan kepada setiap laki-laki dan perempuan di mana pun untuk diperdamaikan dengan Allah melalui iman dalam Yesus Kristus. Firman Allah adalah seperti sinar-x yang menyelidiki hati manusia, firman itu menganalisis emosi kita, menantang kegemaran-kegemaran yang mengalihkan perhatian kita, membentuk ulang hati dan pikiran kita serta berhadapan langsung dengan manusia rohani kita. Sama seperti kita harus menghadapi keberdosaan kita dan bertobat darinya untuk menjadi murid Yesus yang sejati, begitu juga "saudara sepupu" kita juga harus datang kepada-Nya dalam pertobatan yang sejati. Hal itu tidak hanya sekadar beralih kesetiaan, dari Muhammad kepada Yesus, tetapi juga sebuah perjalanan dari kegelapan menuju terang, dari pementingan diri sendiri kepada pemusatan kepada Yesus, dan dari kematian rohani menuju kehidupan kekal. Sejak kejatuhan Adam, panggilan Allah kepada manusia adalah agar mereka mau diciptakan kembali, dan kesaksian alkitabiah yang sejatilah yang dapat mengungkapkan panggilan itu kepada hati dan pikiran "saudara sepupu" kita. Kesaksian yang sejati itulah yang juga akan mengarahkan pendengarnya kepada pengharapan yang hidup di dalam Juru Selamat yang datang dari Allah, yaitu Yesus Kristus, Anak-Nya. Dengan kasih untuk "saudara sepupu" dan kuasa firman Allah di tangan Anda, maka Anda pun dapat menjadi pembawa pesan Allah yang mengarahkan banyak orang kepada keselamatan, anugerah keselamatan yang datang dari Allah, dan yang kita tahu hanya terdapat di dalam Yesus saja. (t/Yudo) Catatan penerjemah: Artikel ini adalah sebuah pendahuluan dari buku John Gilchrist yang berjudul "Sharing the Gospel with Muslims: A Handbook for Bible-Based Muslim Evangelism". Diterjemahkan dan disunting dari: Nama situs: Answering Islam Alamat URL: http://www.answering-islam.org/Gilchrist/Sharing/00intro.html Judul asli artikel: Using the Word of God in Muslim Evangelism Penulis: John Gilchrist Tanggal akses: 3 Juni 2013 Kontak: jemmi(at)sabda.org Redaksi: Yudo dan Yulia Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >