Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com e-JEMMi -- Gereja dan Misi (II) No. 29, Vol. 16, November 2013
Shalom, Dalam hidup ini, kita sering diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang beragam. Namun, jika kita memandang pilihan-pilihan itu dari mata Yesus, pilihan-pilihan itu hanya akan terbagi menjadi dua kategori, yaitu taat kepada Allah atau mencari kenyamanan diri sendiri. Dalam edisi kali ini, kami menyajikan biografi seorang misionaris perempuan yang sepanjang hidupnya diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang krusial, antara menaati panggilan Tuhan atau kenyamanan yang wajar diinginkan oleh manusia. Pada edisi ini, kami juga mengajak pembaca sekalian untuk turut berdoa bagi saudara-saudara kita yang tertimpa bencana di Filipina. Kiranya apa yang kami sajikan ini bisa menjadi berkat bagi pembaca sekalian. Teruslah berdoa dan melayani. Tuhan memberkati kita sekalian! Pemimpin Redaksi e-JEMMi, Yudo < yudo(at)in-christ.net > < http://misi.sabda.org/ > TOKOH MISI: ISOBEL KUHN Hati Isobel membara saat mendengar tantangan J. O. Fraser akan datang ke China dan membagikan Injil kepada suku Lisu di sana. Dengan penuh perhatian, Isobel mendengarkan penjelasan Fraser bahwa orang-orang Lisu belum pernah mendengar tentang Allah yang hidup dan yang sangat mengasihi mereka. Mereka pun belum pernah mendengar tentang Yesus yang sanggup menyelamatkan mereka dari hukuman dosa. Lebih dari itu, suku ini bahkan tidak memiliki ungkapan dalam bahasa mereka untuk menyebut pengampunan, belas kasihan, pertobatan, kasih, atau keadilan. Sebaliknya, mereka memiliki ratusan ungkapan untuk menjelaskan cara paling efektif untuk menguliti manusia hidup-hidup. Selain itu, suku ini selalu hidup dalam ketakutan terhadap roh-roh. Mereka hidup dalam takhayul dan memiliki dukun untuk berhubungan dengan roh-roh serta melakukan praktik-praktik sihir demi menenangkan roh-roh itu. Didorong oleh belas kasihan kepada orang-orang yang belum pernah ditemuinya ini, Isobel berkata kepada Tuhan, "Tuhan, aku bukanlah seorang lelaki, tetapi aku akan pergi ke sana! Ya, aku akan pergi!" Beberapa tahun sebelumnya, Isobel Miller (yang sering dipanggil Belle) tidak pernah bermimpi untuk meninggalkan segala kenyamanan di rumah demi memberitakan Kristus kepada orang-orang yang belum pernah mendengar tentang Dia. Saat itu, Amerika sedang mengalami masa yang disebut "The Roaring Twenties" (masa keemasan Amerika selama tahun 1920-an, berakhir pada tahun 1929 -red.) dan Belle sangat menikmati setiap menitnya. Apalagi, saat itu ia adalah seorang mahasiswa kehormatan yang terkenal cantik dan sangat populer dalam bidang teater dan tari di University of British Columbia. Belle lahir pada tanggal 17 Desember 1901 di Toronto, Kanada. Meskipun kedua orang tuanya adalah orang Kristen (ayahnya bahkan seorang penginjil awam Presbiterian), Belle pernah menyatakan diri sebagai seorang agnostik setelah dipermalukan oleh seorang pengajarnya di depan kelas karena percaya terhadap kisah penciptaan menurut Alkitab. Namun, setelah mengalami masalah dengan seorang pria yang ia harap akan menikahinya, Belle mulai tenggelam dalam depresi. Ia mulai menyadari bahwa dunia tidak dapat memberinya sukacita. Pada suatu malam, Belle bahkan berniat untuk melakukan bunuh diri, tetapi saat itulah ia mulai memohon damai sejahtera dari Tuhan. Lewat peristiwa ini, Belle kembali kepada iman Kristen dan mengakui Yesus sebagai Tuhan, dan menjadi semakin dewasa dalam imannya. Pada tahun 1924, saat mendengar Fraser berbicara tentang suku Lisu, Belle tidak dapat kembali kepada kehidupannya yang biasa-biasa saja. Maka, ia pun menjelaskan kerinduannya untuk menjangkau suku Lisu kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi, orang tuanya justru menganggap kerinduannya itu fanatik dan egois. Ibunya bahkan sempat berteriak kepadanya "Langkahi dulu mayatku!" Sebenarnya, ibu Belle menjabat sebagai ketua lembaga Women's Missionary Society selama bertahun-tahun dan ia tidak menentang para misionaris, hari itu, ia hanya menentang keinginan putrinya untuk menjadi misionaris. Kedua orang tua Belle telah melakukan segala sesuatu yang dapat mereka lakukan agar Belle mendapatkan pendidikan terbaik dan menyediakan segala sesuatu untuk kenyamanannya. Keinginannya untuk menjadi misionaris ini seolah-olah membuang semua yang telah diberikan orang tuanya. Tidak hanya menganggapnya sebagai anak yang tidak tahu berterima kasih, mereka memandang Belle sebagai anak yang egois karena pada saat itu ia adalah tulang punggung bagi keluarga mereka; saudara laki-laki Belle tidak memiliki pekerjaan sementara ayahnya kehilangan seluruh tabungan seumur hidupnya dalam usaha bisnis yang gagal. Namun, tak disangka-sangka, Belle kehilangan ibunya dalam sebuah operasi. Akan tetapi, ia mengetahui bahwa pada malam sebelum ibunya meninggal, ibunya berkata kepada seorang sahabatnya, "Belle telah memilih jalan yang lebih baik." Belle terus menaati panggilan yang ia tahu berasal dari Allah. Maka, ia segera mengemasi kopornya dan berangkat ke Moody Bible Institute di Chicago. Selama di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda bernama John Kuhn yang menarik perhatiannya. Sifat keduanya sangat bertolak belakang, Belle adalah seorang perempuan yang spontan dan impulsif, sementara John adalah seseorang yang berhati-hati dan penuh pertimbangan. Namun demikian, keduanya memiliki visi dan hati untuk melayani China. Pada tahun 1926, John berangkat ke China bersama lembaga pelayanan China Inland Mission (CIM), sementara Belle tetap berada di Kanada untuk dipersiapkan Tuhan melayani di luar negeri. Meskipun demikian, mereka berdua tetap saling berhubungan melalui surat selama 2 tahun. Pada tahun 1928, setelah memenuhi peraturan CIM yang mengharuskan misionaris baru untuk tetap melajang selama 2 tahun, Belle berangkat ke China dan menikah dengan John. Di China, John dan Belle tinggal di Chengchiang selama tahun-tahun awal pernikahan mereka. Meskipun demikian, kata "tinggal" bukanlah ungkapan yang sesuai dengan apa yang mereka alami. Belle menjelaskan bahwa keadaan mereka saat itu sangat tidak nyaman. Tuhan sedang mengajar Belle seperti apakah penyangkalan diri yang sebenarnya. Makanan yang asing, budaya yang asing, kurangnya privasi, dan semuanya itu harus datang bersamaan ketika ia masih harus menyesuaikan diri dengan pernikahannya; itu semua adalah harga yang harus dibayar olehnya karena meninggalkan kenyamanan rumah. Ia sempat berbesar hati ketika mendapat kesempatan untuk membagikan Injil kepada pengunjung pertama yang datang ke rumahnya. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika salah seorang wanita China itu membuang ingusnya di selimut kapas miliknya, sementara seorang ibu yang lain mengizinkan anaknya meludah di karpet Belle yang indah. Setelah menelan rasa frustasinya, Belle mulai menyadari bahwa rasa sayangnya terhadap barang-barang kepunyaannya harus segera dihilangkan, jika tidak, ia hanya akan lebih menghargai barang-barangnya itu daripada jiwa-jiwa yang datang kepadanya. Meskipun harus terus-menerus berjuang untuk menyangkal diri, Belle menganggap perjuangannya itu terbayar ketika ia dapat melihat orang-orang China mendengar Injil untuk pertama kalinya. Pada tahun 1930 -- 1932, keluarga Kuhn pindah ke sebuah kota bernama Tali, di Yunnan. Dari sana, mereka pindah ke Yongping, masih di wilayah Yunnan, dan menetap di sana selama 2 tahun di bawah bimbingan J. O. Fraser. Mereka terus berjalan berkeliling untuk membagikan Injil sekaligus melatih beberapa misionaris baru untuk pergi ke daerah-daerah yang belum pernah diinjili. Pada tahun 1934, keluarga Kuhn akhirnya tiba di wilayah orang-orang Lisu; 10 tahun sejak hati Belle terpanggil untuk melayani mereka. Setelah mempelajari bahwa suku Lisu tidak melakukan kegiatan apa pun selama musim hujan, Belle mengambil kesempatan itu dengan mendirikan Rainy Season Bible School yang mengajarkan Injil serta dasar-dasar kekristenan kepada mereka. Ketika orang-orang semakin mengenal Tuhan, Belle melatih dan mengutus mereka ke desa-desa sekitar yang belum pernah mendengarkan Injil. Karena Rainy Season Bible School ini, orang-orang Lisu akhirnya juga memiliki kerinduan untuk pelayanan misi sehingga mereka pergi ke suku-suku lain yang pernah menjadi musuh mereka untuk mengabarkan Injil. Meskipun mengalami masa-masa sulit, Isobel melihat buah-buah pelayanannya di antara suku Lisu. Pada tahun 1950, saat komunis mengambil alih China, Belle dan keluarganya terpaksa menyelamatkan diri melewati jalan pegunungan yang bersalju menuju Myanmar. Pada saat mereka melarikan diri, 16 tahun sejak hari pertama keluarga Kuhn melayani di antara suku Lisu, 3.400 dari jumlah total 18.000 orang Lisu telah menjadi orang percaya dan 7 suku lainnya telah diinjili secara langsung oleh para misionaris dari suku Lisu. Hari ini, sudah ada 200.000 orang Lisu yang menjadi Kristen, mereka adalah hasil dari pelayanan Isobel dan para misionaris lainnya. Setelah meninggalkan China pada umur 50 tahun, Isobel harus membuat keputusan, apakah ia akan melanjutkan pelayanannya dengan melayani orang-orang Lisu yang tinggal di Thailand Utara atau tidak. Saat ia bergumul dengan keputusannya, Isobel berseru kepada Tuhan, "Tuhan, aku lelah! Sekarang, aku berumur 50 tahun dan dalam 20 tahun terakhir aku telah melihat perang, dipisahkan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dari suami dan anak-anakku, aku juga pernah sakit dan hampir mati. Jika aku pergi ke Thailand, aku harus mempelajari bahasa yang baru, beradaptasi dengan lingkungan yang baru, dan membiasakan diri dengan budaya yang baru pula. Aku hanya ingin duduk di sebuah kursi goyang di teras dan beristirahat!" Setelah mengatakannya, Isobel merasa bahwa Tuhan menjawab seruannya itu, "Belle, apakah kamu benar-benar tidak ingin melayani-Ku?" Perkataan Tuhan itu cukup untuk membuat Belle kembali melayani orang-orang Lisu sampai akhir hayatnya. Kehidupan Isobel mengingatkan kita bahwa Allah telah terbukti cukup bagi orang-orang yang mendahului kita dalam menjangkau bangsa-bangsa dengan Injil Kristus. Isobel dipakai oleh Tuhan bukan karena ia sempurna, terlatih, atau karena tidak egois. Ia dipakai karena ia menganggap Allah sebagai pribadi yang berharga dalam kehidupannya, dan karena ia merespons keberadaan-Nya dengan ketaatan yang mengagumkan. (t/Yudo) Diterjemahkan dan disunting dari: Nama situs: History Makers Alamat URL: http://www.historymakers.info/inspirational-christians/isobel-kuhn.html Judul asli artikel: Biography of Isobel Kuhn Penulis: Tidak dicantumkan Tanggal akses: 30 Oktober 2013 DOA BAGI DUNIA: GELOMBANG BADAI HAIYAN DI FILIPINA Filipina -- Sudah dua minggu semenjak Topan Haiyan meluluhlantakkan Filipina. Dari Cebu City, Mark Lewis, Direktur EFCA ReachGlobal, menuturkan bahwa timnya kini sudah mendapat akses untuk masuk ke beberapa pulau yang terkena bencana tersebut. Meskipun Filipina dilanda lusinan badai tropis setiap tahunnya, seorang pendeta dari gereja lokal mengatakan bahwa Topan Haiyan adalah sesuatu yang berbeda. "Pendeta Sam mengatakan bahwa selama beberapa hari, penduduk di wilayah mereka harus berjuang untuk bertahan hidup," ujar Lewis. "Orang-orang hanya bisa menangis. Mereka tidak memiliki makanan selama tiga hari dan hanya memakan buah kelapa yang berserakan akibat badai itu." Pastor Sam juga berkata kepada Lewis, "Banyak orang yang mengalami trauma, terutama anak-anak. Dan, banyak orang yang mengalami pengalaman berhadapan dengan maut. Kami tidak tahu apa itu gelombang badai, kami tidak pernah mengalami ini sebelumnya." Pada hari Jumat yang lalu, Dewan Penanggulangan dan Manajemen Bencana Nasional Filipina (NDRRMC) memperbarui data korban tewas akibat bencana alam ini menjadi 5.209 jiwa. Dalam keadaan yang genting ini, Lewis bersyukur atas perlindungan Allah bagi sebagian besar jemaat gereja EFC (Evangelical Free Chruch) di Samar bagian barat; hanya ada sedikit korban yang jatuh dari antara orang percaya yang ada di sana. "Mereka memuji Tuhan atas perlindungan-Nya, sebab mereka sudah berdoa tentang hal ini sebelum badai itu melanda Filipina. Dan, atas kemurahan Allah, tidak satu pun dari jemaat mereka yang menjadi korban tewas," ujar Lewis. Namun demikian, masa depan para korban yang selamat pun tampak suram. "Pohon-pohon kelapa yang menjadi mesin penggerak kegiatan ekonomi di wilayah ini tumbang atau rusak," ujar Lewis mengenai wilayah Guiuan. Pendeta Sam menjelaskan pernyataan Lewis, "Rusaknya pohon-pohon kelapa di daerah ini berarti hilangnya harapan hidup bagi masyarakatnya, sebab hidup mereka bergantung pada kelapa dan pertanian." Hal yang sama juga terjadi di wilayah Hernani. Hati kami tenggelam dalam duka; sebagian besar penduduk Hernani hilang sebab wilayah itu dihantam gelombang badai setinggi 9 meter," tambah Lewis. "Banyak pemberitaan yang mengangkat wilayah Tacloban karena parahnya kerusakan di sana, tetapi ada banyak kota kecil yang habis sama sekali karena tersapu gelombang badai ini." Pendeta Sam juga menyatakan kekhawatirannya terkait perdagangan manusia. Hal itu akan menjadi masalah ketika harapan dan sumber daya yang ada semakin menipis. Karena bencana ini, Samar telah menjadi pulau termiskin di Filipina sebab pariwisata, perikanan, dan perkebunan kelapa adalah penghasil ekonomi mereka yang terbesar. Oleh karena rumah-rumah, tempat usaha, dan sekolah-sekolah mengalami kerusakan berat, keputusasaan akan semakin meningkat setiap saat. Doakanlah gereja-gereja di Samar Timur agar dapat menemukan solusi pengembangan secepatnya. "Orang-orang muda akan dipaksa untuk membuat keputusan tentang bagaimana dapat menghidupi keluarga mereka. Tanpa adanya harapan, jelas tidak ada pula masa depan di tempat ini," ungkap Lewis. Berdoalah agar orang-orang muda ini tidak menjual tubuh mereka sebagai solusi atas kebutuhan keluarga mereka. Lewis menghabiskan satu minggu bersama pendeta Sam untuk menaksir kerusakan dan memberi komunitas di tempat itu harapan bagi masa depan mereka, dalam bentuk bahan bakar dan makanan. Doakan gereja-gereja lokal di Hernani dan Guiuan dalam upaya mereka merespons kebutuhan masyarakat setempat atas nama Kristus. Ini semua adalah tantangan dan tanggung jawab yang besar," ujar pendeta Sam. "Tetapi, saya rasa kami dapat melakukan sesuatu bagi provinsi ini. Kami terbatas, tetapi paling tidak kami dapat melakukan sesuatu." "Kami membutuhkan doa bagi gereja-gereja lokal untuk mampu membawa pelayanan dan pengharapan bagi orang-orang yang terluka dan terhilang," tambah Lewis. Berdoalah juga agar "meskipun ada banyak hal yang terjadi di seluruh dunia, tempat ini tidak dilupakan." (t/Yudo) Pokok Doa: 1. Berdoalah agar Allah Bapa berkenan mencukupi kebutuhan para korban bencana yang tersebar di seluruh Filipina. 2. Mintalah kepada Tuhan agar setiap lembaga dan personel mereka yang menangani para korban bencana ini diberi kekuatan dan perlindungan ketika menjalankan pelayanan mereka. 3. Berdoalah bagi gereja-gereja Tuhan yang berada di seluruh Filipina supaya dipakai Allah untuk menjadi saluran berkat bagi orang-orang yang membutuhkan. Doakan juga para pendeta dan jemaat agar hidup mereka memancarkan kasih Kristus di tengah-tengah masa yang sulit ini. Diterjemahkan dan disunting dari: Nama situs: MNN Online Alamat URL: http://mnnonline.org/article/19246 Penulis: Tidak dicantumkan. Tanggal akses: 26 November 2013 Kontak: jemmi(at)sabda.org Redaksi: Yudo, Amidya, dan Yulia Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >