Dari suarapembaruan.com <http://suarapembaruan.com> :



Malaikat Pencabut Nyawa itu Ternyata Lalat


PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI

*LALAT BEKU *- Ahli penyakit hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada (UGM) Prof drh R Wasito MSc PhD menunjukkan lalat beku yang
didapatnya dari berbagai daerah. Saat ini baru lalat Makassar dan
Karanganyar yang sudah positif mengandung AI.

SATU lagi temuan yang sangat berarti, lalat (*Musca domestical*) merupakan
"malaikat pencabut nyawa" yang selama ini diremehkan kehadirannya, bahkan
luput dari analis kesehatan.

Dengan bukti penelitian yang digarap kurang lebih dua tahun, ahli penyakit
hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof drh R
Wasito MSc PhD bersama istrinya, yang juga peneliti di fakultas yang sama
Prof drh Hastari Wuryastuti MSc PhD, menyimpulkan lalat merupakan vektor
yang mengantarkan *avian influenza* (AI) kepada manusia.

Meski belum mendapat lisensi internasional, kehadiran ahli virus dari
Amerika Serikat Prof Roger K dalam lingkup penelitian mereka itu, cukuplah
menjawab apa yang membuat heboh dunia kesehatan belakangan ini.

Lalat. Mengapa harus lalat? Di Laboratorium Imunologi dan Molekuler UGM
itulah mereka mendapat jawaban. Dugaan sementara, burung-burung liar, tikus,
dan kecoa, mampu menjembatani AI kepada manusia setidaknya terbantahkan.


*Diteliti*

"Prof Hastari yang pertama mengungkapkan kegelisahannya. Kalau semua tidak
terbukti, lalu apa? Istri saya itu curiga, jangan-jangan serangga yang ada
di sekeliling kita adalah penyebabnya. Nah, sejak dua tahun lalu, kami
diam-diam mengumpulkan *sample* dan baru sekarang kami berani
mempublikasikannya," ucap Wasito, Rabu (21/9) di Yogyakarta.

Mantan Dirjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian itu lantas
mengemukakan, lalat yang dikumpulkannya dari berbagai provinsi itu sedang
dalam proses diteliti. Namun, ia sudah menyimpulkan, setidaknya lalat
Makassar dan Karanganyar, Jateng, yang diambilnya di sekitar peternakan dan
sebagian lalat rumah, positif mengandung AI subtype H5 N1. "Kami baru
selesai memproses dua tempat itu, yang lain masih berjalan," ucapnya.



Rasa penasaran pasangan profesor itu berawal dari kota Makassar, yang
sebelum tahun 2004 tidak pernah mendapat kasus AI. Namun, pada akhir 2004,
AI langsung menyerang dengan ganas. "Itulah sumber pertanyaannya. Dari mana
AI itu menyerang?" ia menjelaskan.

Jawabannya? Lalat, hewan yang hidup dan berkembang biak di semua tempat,
juga bisa tumbuh di feses binatang.

"Begitu bertelur di feses hewan yang positif AI, maka anak turunnya, sudah
membawa AI. Kita tidak pernah berpikir bahwa sepatu kita juga bisa jadi
sarana menempelnya telur lalat itu. Lalu dengan mobilitas manusia, telur itu
terbawa dan berkembang biak di tempat lain. Nah, bayangkan, dari sepasang
lalat, bisa tumbuh triliunan lalat dalam jangka waktu 3 sampai 5 bulan," ia
memaparkan.


*Mukosa*

Meski sudah cukup berani menyampaikan hasil penelitiannya itu, Wasito
mengaku belum bisa memastikan, bagian mana dari lalat yang mengandung AI
itu. Hal itu, menurutnya, masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam,
karena untuk sementara lalat memang dihancurkan untuk mendapatkan selnya.

"Sedang untuk menentukan lokasi pastinya, apakah di bagian kaki atau
tubuhnya, butuh bedah anatomi kan?" kata Wasito.

Lalu, bagaimana pula sampai bisa menularkan AI kepada manusia? Satu-satunya
yang paling pasti adalah lewat mukosa (kelenjar) saluran pernapasan dan itu
bukan karena udara. "Tepatnya, kalau kita dengan tidak sengaja mengorek
hidung dalam kondisi tangan kotor, dan AI menempel, maka virus itu akan
melekat di kelenjar mukosa yang di dalamnya terdapat reseptor virus," ia
menjelaskan.

Satu-satunya upaya untuk menolak kehadiran "malaikat maut" itu adalah
sanitasi lingkungan dan menumpas habis kehadiran si lalat itu.

Berkaitan dengan kesimpulan sementara penelitiannya itu, Wasito mengatakan
yang baru merespons positif adalah Pemerintah Jawa Timur. Gubernur Jatim
sudah mengeluarkan kebijakan dan dana untuk diaplikasikan sampai ke tingkat
rumah tangga dengan menggerakkan seluruh aparat dan PKK," ujarnya.

Ia mengakui, yang jelas, masih banyak lalat dari berbagai daerah, menunggu
untuk diuji. Beralih ke unggas yang selama ini jadi momok, Wasito justru
menekankan bahwa usaha peternakan besar, sudah melakukan upaya mandiri dan
melakukan *biosecurity* dengan baik.

"Pekerja di peternakan besar justru tidak tertular flu burung. Saat ini,
justru yang harus mendapat perhatian serius adalah peternakan-peternakan
milik rakyat. Manajemennya harus dibenahi. Hindarkan ayam-ayam berkeliaran,"
katanya.


*Terbagi Dua*

Profesor spesialis penyakit hewan itu juga memaparkan, hingga detik ini,
hanya tinggal dua negara di dunia yang memberikan vaksin kepada unggas.
Negara itu adalah Indonesia dan Cina.

Berdasarkan tingkat patogenitas (kemampuan menyebabkan sakit), Wasito
menjelaskan virus AI terbagi atas dua, yaitu HPAI (Highly Pathogenic Avian
Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza). Namun, dalam
perkembangannya, karena tipe virus itu adalah tipe abnormal, suatu saat *low
pathogenic* bisa berubah menjadi *highly pathogenic*.

"Selain itu, belum tentu saat ini AI di Indonesia hanya tipe H5 N1. Mungkin
sudah menjadi H5 N20 atau mungkin ada tipe baru lagi yang muncul. Jadi
vaksinasi H5 N1 itu akan percuma," katanya.

Di negara lain, katanya, unggas positif AI lebih baik dimusnahkan dengan
cara dibakar dan dikubur. Itu jalan satu-satunya dan setelah itu sanitasi
lingkungan ternak sebelum kembali memulai.

Soal kematian Rini Dina, Riska, dan keluarga Iwan, Wasito sangat tidak
setuju dengan sikap pemerintah yang banyak mengandalkan kata-kata "diduga".
Padahal, untuk memastikan apakah mereka benar-benar positif flu burung atau
tidak, tidak perlu mengirim *sample* ke Hong Kong.

"Kirim pada kami, jawabannya pasti, dan tidak usah menunggu lama. Cukup dua
sampai tiga hari, kami bisa menganalisis darah dan sel jaringan," katanya.

Wasito juga mengkritik apakah karena harus ikut prosedur, Pemerintah
Indonesia tidak percaya diri kalau bangsanya juga bisa melakukan tes.

"Kami memiliki laboratorium yang mampu menganalisisnya. Ya memang kecil,
tetapi yang penting SDM-nya. Okelah kalau itu prosedur, namun data bandingan
juga dibutuhkan untuk sesegera mungkin mengantisipasi dan mengambil
tindakan," ia menegaskan.


Pembaruan/Fuska Sani Evani


[Non-text portions of this message have been removed]




=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




SPONSORED LINKS
Radio station advertising Satellite radio stations Cb radio base station
Weather radio station Christian radio station New age radio station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke