AYAM BETUTU - BONDAN WINARNO Belum lama ini saya dapat kiriman dari William Wongso. Ayam betutu khas Bali yang dibungkus dalam pelepah pinang. Menurut William, ayam betutu itu adalah masakan Lambon, orang Ubud yang sekarang bekerja di usaha jasaboga miliknya.
Tidak heran bila penampilannya persis sama dengan ayam betutu kiriman JS-er Grace Khoesuma beberapa bulan yang lalu. Grace melakukan trafficking ayam betutu langsung dari Ubud, karena terpesona melihat cara tradisional pengolahan ayam betutu. Ayam betutu adalah hidangan khas Gianyar yang menjadi kebanggaan orang Bali. Kedua ayam betutu yang sata sebut tadi sama empuknya. Dari segi aroma, ayam betutu bawaan Grace lebih harum. Bau bara dari sekam padi masih dapat terlacak dengan jelas, memberi nuansa tradisional yang lekat. Tetapi, dari segi citarasa, ayam betutu karya Lambon sederajat lebih unggul. Bumbu-bumbunya lebih balanced dan menyatu lembut dengan ayam. Menurut William, itu adalah hasil dari cara masak tradisional yang diterapkan di dapur modern (baca: memakai oven!) yang lebih higienis. Betutu adalah cara masak untuk ayam dan bebek yang sangat khas Bali. Dari penampakannya, ayam betutu sangat mirip dengan ingkung ayam yang dipakai dalam upacara tradisi Jawa. Sama-sama utuh dan tersalut bumbunya yang tebal. Bedanya, ingkung ayam memakai santan yang membuatnya terasa gurih, sedangkan ayam betutu tanpa santan dan mencuatkan rasa pedas. Ayam betutu juga dipakai dalam upacara-upacara adat Bali. Seperti juga garang asem khas Bali yang berbumbu komplet, ayam betutu Bali juga sangat kaya bumbu. Bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, kemiri, lengkuas, jahe, kunyit, kencur, daun jeruk purut, ketumbar, pala, merica, terasi ditumis dan dihaluskan. Bumbu halus ini kemudian dicampur dengan daun singkong rebus yang dihaluskan, dan dimasukkan ke dalam rongga perut ayam. Sisa bumbu dibalurkan ke seluruh permukaan tubuh ayam. Kemudian dibungkus dengan daun pisang, dan dibungkus lagi dengan upih atau pelepah pinang. "Paket" ini kemudian ditimbung atau ditambus, yaitu dibungkus dengan bara api dari sekam dan batang padi selama 6-8 jam. Ada juga yang dibakar di dalam galian tanah yang kemudian ditimbun dengan bara sekam padi yang terus-menerus diganti agar tetap membara. Cara yang terakhir ini mirip dengan cara membuat babi kombi di Manado, atau cara membakar babi di Papua maupun di Hawaii. Gara-gara cerita Grace, saya juga sempat dua kali berkunjung ke tempat Mangku Gunung Lebah di Penestanan, Ubud, tidak jauh dari museum Antonio Blanco, untuk melihat cara membuat ayam betutu secara tradisional. Pak Mangku hanya membuat ayam betutu atau bebek betutu berdasarkan pesanan. Bila tidak ada pesanan, rumahnya yang luas tampak lengang belaka. Ada bisik-bisik yang mengatakan bahwa Pak Mangku adalah pemasok ayam/bebek betutu ke beberapa restoran terkemuka di Ubud dan sekitarnya. (Sekarang Anda tahu, mengapa di beberapa restoran langganan Anda selalu tercatat bahwa ayam/bebek betutu harus dipesan sehari sebelumnya. Kebanyakan mereka memang tidak membuat ayam/bebek betutu sendiri). Pak Mangku masih membuat ayam/bebek betutu dengan cara yang tradisional. Ayam yang sudah dibumbui dibungkus dengan pelepah pinang, kemudian dipanggang dalam bara sekam dan batang padi sepanjang malam. Cara masak slow cooking inilah yang membuat dagingnya sangat lembut dan langsung copot dari tulangnya bila dimakan. Pak Mangku menjual ayam betutu dengan harga Rp 50.000 per ekor. Kalau Anda pernah singgah ke Pasar Ubud, di tepi Barat pasar itu, di lantai dua, Anda mungkin pernah melihat sebuah warung sederhana yang selalu ramai diantre pelanggannya. Orang-orang di pasar itu menyebutnya Ayam Betutu Ibu Sanur. Padahal, perempuan yang berasal dari Sanur itu nama sebenarnya adalah Ibu Candra. Dagangannya sangat laris. Menurut pengakuannya, ia membuat sekitar 70 ekor ayam betutu setiap hari. Ia mengaku tidak lagi memakai daun pisang maupun pelepah pinang untuk membungkus ayam betutunya, melainkan memakai aluminum foil. "Supaya lebih cepat panas dan lebih bersih," katanya. Tetapi, tetap dipanggang dalam bara sekam padi. Selain konsumen yang makan di tempat, banyak juga yang membeli ayam betutu utuh untuk dibawa pulang. Seekor ayam betutu harganya Rp 45.000. Ssst, itu harga untuk "tamu", lho. Untuk orang lokal - setidaknya untuk orang seperti saya yang suka bergaya lokal - harganya cukup Rp 35.000 seekor. He he he, 'mayan! Dalam upacara-upacara adat Bali, ayam betutu memang sering dimasak dalam jumlah besar, untuk disantap bersama-sama. Saya sengaja menambahkan keterangan ini karena belum lama ini ada pertanyaan di milis Jalansutra: kenapa sulit sekali mencari catering service khas Bali di Bali? Soalnya, setiap banjar (desa) mempunyai lembaga adat sendiri untuk menangani kebutuhan makan-makan pada saat perhelatan atau upacara. Akibatnya: tidak perlu ada catering service. Setiap desa di Bali mempunyai belawa (jurumasak) andalan yang dikerahkan untuk memasak pada setiap kegiatan desa. Mereka diketuai oleh seorang prajuru yang tugasnya menjadi "tukang" menghitung dan kalkulasi kebutuhan. Kalau diperkirakan akan ada seratus orang yang makan, maka diperlukan sekian ekor ayam, sekian kilo ikan, dan lain-lain. Dalam bahasa modern, prajuru adalah executive chef. Lembaga adat inilah yang telah berperan secara con amore (demi cinta) menjadi catering service di desa-desa Bali. Uniknya, hampir semua belawa dan prajuru di Bali adalah kaum pria. Tidak akan lengkap tulisan tentang ayam betutu tanpa menyebut ayam betutu "Men Tempeh" di Gilimanuk yang legendaris. Hampir semua orang yang datang ke Bali melalui lintas selat Ketapang-Gilimanuk pasti akan singgah ke "Men Tempeh" yang buka warung di dekat terminal bus lama. Tetapi, "Men Tempeh" membuat ayam betutunya dengan cara yang sangat berbeda. Pertama, ia tidak memakai bara sekam padi, melainkan memanggangnya dalam oven. Karena itu daging ayam betutu "Men Tempeh" masih tampak putih mulus, tidak kecoklatan seperti lazimnya ayam betutu tradisional Bali. Kedua, ia memakai bumbu yang lebih sedikit, tetapi dengan cabe rawit yang amat sangat banyak. Hasilnya adalah ayam betutu yang super-puedessss! Kemasyhuran ayam betutu "Men Tempeh" kini telah mengakibatkan hadirnya warung "Men Tempeh" palsu yang bermunculan di sekitar terminal bus Gilimanuk. Kalau mau yang asli, Anda harus mencarinya di terminal bus lama, dan letaknya di atas. Dapat dicapai dengan mendaki beberapa anak tangga. Sayang, kan, kalau Anda sudah jauh-jauh pergi ke Gilimanuk, lalu ternyata menemukan yang palsu? Ada lagi mantan anak buah "Men Tempeh" yang mengibarkan bendera sendiri dengan merek warung "Bu Linda". Setidaknya dia lebih sportif! Di "Bebek Bengil", sebuah restoran yang punya banyak pelanggan di Ubud, satu ekor bebek betutu untuk dua orang (sebetulnya bahkan cukup untuk dimakan empat orang) dihargai Rp 175.000 plus pajak dan layanan. Ketika menikmati bebek betutu di "Bebek Bengil" belum lama ini, saya langsung dapat menduga dari mana datangnya bebek betutu berkualitas tinggi itu. Ha ha ha, rugilah awak! Di tempat asalnya sana, harganya cuma sepertiganya .. Maaf, ya, ini hanya praduga tak bersalah. Kebenarannya masih memerlukan pembuktian. [Non-text portions of this message have been removed]