Dear ITers,

Moga2 nambah wawasan, sumber dari milist tetangga euy.

Wassalam

Eko Budhi
IT Freelancer On-Line
YM! : big_hunter_cmi
ICQ: 208628371

------------------------------- News wartaekonomi.com 
----------------------------------

Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar 
Global

Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar global, 
seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin tinggi. 
Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan penghasilan para 
penyandangnya.

Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu  nama 
pertama menunjukkan identitas dirinya  sebagai  wakil presdir PT Panin Life 
Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel  lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan
gelar (professional  designation) Chartered  Financial Consultant (ChFC) di 
belakang namanya.  "Itu saya  perlukan  kalau sedang dinas ke luar  negeri atau 
 bertemu dengan  kolega  saya yang kebetulan orang  asing  di Indonesia," 
ujarnya.

Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra asingnya  
bahwa dia dengan orang yang kompeten  di  bidang asuransi  dan layak dihargai 
karena menyandang gelar  sertifikasi berstandar  global,
yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga  saya tunjukkan ke klien atau nasabah," 
ungkap Tri. Meski tanpa  sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri 
cukup baik,  karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat
internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.

Sertifikasi  ChFC  milik Tri diperolehnya  dari  The  American College. Selain  
pengakuan internasional, apa  lagi  manfaatnya? "Banyak sekali," paparnya. Oleh 
karena program sertifikasi  lebih bersifat  aplikatif, banyak
sekali pengetahuan baru yang  tak  ia peroleh  di  bangku kuliah. Selain itu, 
apresiasi  industri  jasa keuangan  terhadap mereka yang bersertifikasi global  
juga  makin tinggi.  "Mereka  makin dihargai  karena  keahliannya berkaliber 
internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya.

Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan Menurut  Hari Sudarmadji, managing partner 
Optima  Consulting, perusahaan
konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan  untuk 
melakukan pekerjaan di  berbagai  bidang  usaha, seperti menjadi manajer 
investasi atau wakil perantara  perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan
adanya sertifikasi  profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya.

Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh banyak  
orang dan membutuhkan upaya  sertifikasi,  baik yang  bersifat global  maupun  
nasional.  Misalnya,  sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate 
secretary,  konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO,  
audit TI,  dan audit lingkungan. "Mereka yang benar-benar  kompeten  di bidang  
itu  sekarang banyak dicari," paparnya. Di bidang  hukum juga  berkembang  
sertifikasi profesi mediator  profesional yang memberikan jasa mediasi untuk 
penyelesaian sengketa komersial  di luar
pengadilan.

Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi di  
bidang  itu  karena  tuntutan  pertanggungjawaban profesi  cenderung makin 
tinggi, seperti halnya profesi  akuntan, advokat,  notaris, dokter,
dan apoteker, yang  sampai  dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran 
Teluk Buyat, seharusnya  ada opini  dari  auditor  lingkungan  independen dan  
bersertifikasi standar  global yang layak disajikan dan  memiliki
akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi 
ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari.

Di  bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden  ISACA (Information 
Systems  Audit and Control  Association)  Indonesia Chapter,  membenarkan bahwa 
auditor TI yang memiliki  gelar  CISA (Certified  Information Systems Auditor) 
yang dikeluarkan  ISACA, AS,  makin dibutuhkan. "Padahal di sini pemilik gelar  
CISA  baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM  (Certified 
Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA   untuk para  manajer TI, 
juga sedang berkembang di Indonesia.  Saat ini belum  ada 10 orang Indonesia 
yang menyandang gelar CISM.  "Sebab baru berjalan  tahun lalu dan ujiannya Juli 
2004  lalu,"  ungkap Surdiyanto.

Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka  Indonesia  itu, audit 
TI yang dilakukan pemilik  gelar  CISA   jelas dapat dipertanggungjawabkan 
karena ia memang  dibekali  pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang 
berstandar internasional. Tak  semua orang kompeten, berwenang, dan berhak 
melakukan  audit TI  untuk  meneliti adanya kontrol
dan  efektivitas  berjalannya sebuah  sistem  informasi. "Kalau auditor CISA 
mengatakan  hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen dan  
tak ada conflict of interest," tandasnya.

Lebih  lanjut  Surdiyanto memaparkan,  sarjana  akuntansi  dan manajemen bisa  
saja menjadi auditor  keuangan,  manajemen,  dan operasional, tetapi tidak 
semua bisa mengaudit sistem  informasi, perangkat  lunak, dan sistem
aplikasi. Padahal,  ujarnya,  banyak perusahaan besar makin bergantung pada TI. 
"BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya 
sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini berarti  TI 
sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA." 

Di  sektor  industri manufaktur, tenaga  profesional  bergelar CPIM (Certified 
in Production and Inventory Management) dan  CIRM (Certified  in Integrated 
Resource Management)  yang  dikeluarkan oleh APICS (American Production and 
Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan. Gelar 
CPIM menandakan penyandangnya  memiliki  kompetensi
berstandar  internasional  di bidang  perencanaan  pengadaan, bahan baku, 
kapasitas  produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok,perencanaan 
penjualan  dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan operasional 
pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga menguasai cara 
mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah perusahaan  yang begitu 
kompleks, sehingga  bisa  bekerja lebih efektif dan produktivitas meningkat.

Sertifikasi  CPIM  dan  CIRM, menurut  Ahmad  Syamil,  sangat penting bagi 
kalangan profesional yang banyak bergelut di  bidang manajemen operasional 
perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah  salah satu  penyandang  gelar  CPIM dan 
CIRM. Gelar  ini,  lanjut  staf pengajar  di  Arkansas State University, AS, 
itu, "Juga  membantu peluang kerja di berbagai negara."

Di  bidang  pemasaran, sertifikasi profesi  seperti  Chartered Marketer (CM) 
yang dikeluarkan oleh The Chartered  Institute  of Marketing (CIM) juga sedang 
berkembang. Ario S. Setiadi,  marketing  & business development vice-president 
Medika Plaza  International  Clinic,  mengaku sedang belajar program CM.  "Cuma 
 pakar marketing  Hermawan  Kartajaya yang sejauh  ini bisa  memperoleh gelar  
Fellow  dari CIM," ujarnya. Padahal  Ario  sudah memiliki gelar  CPM  
(Certified Professional Marketer) Asia  Pacific  yang dirilis APMF (Asia 
Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada
12 orang  yang memilikinya, termasuk Ario.

Sementara  itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer  riset BNP  Paribas, 
mengamati minat orang untuk memperoleh  gelar  FRM (Financial  Risk Manager) 
sekarang makin tinggi, terutama  mereka yang  bekerja  di sektor perbankan.
"Sebab,  regulasi  perbankan mengharuskan  semua  bank mengikuti Basel Rule II  
Accord,"  ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association for 
Risk Management Professional pada tahun 2002.

Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua  bank 
dalam hal manajemen risiko dan  bakal  berlaku  pada 2006. Oleh karena itu, 
banyak kalangan bankir tertarik  mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank 
Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan manajemen 
risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.

Menurut  Ferry,  pemilik gelar FRM di Indonesia  baru  delapan orang. "Sebagian 
 besar  juga penyandang  gelar  CFA  (Chartered Financial Analyst)," tutur 
Ferry, yang juga bergelar CFA.  Sertifikasi  CFA,  walau sudah ada di Indonesia 
sejak 15  tahun  lalu, baru 70-80 orang yang memilikinya. "Meski yang ikut 
ujian CFA per  tahun 700-800 orang, yang lulus
sangat sedikit," ungkap Ferry.

Th. Wiryawan, marketing communications & business  development director 
Citibank Indonesia, menilai bahwa  masalah  sertifikasi profesi  memang  isu 
besar di industri jasa  keuangan  saat  ini. "Seperti  untuk  menjadi private 
banker,  sebenarnya  juga  tidak mudah,"  ujarnya. Di Citibank, mereka yang 
bisa  bekerja  sebagai private  banker harus berada pada level senior manager 
dan  lulus ujian  selama tiga bulan. Standar kualitas profesional  bankirnya 
juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to market yang sempat 
menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan standar  profesional 
global, yang umumnya menganut pendekatan  marked to market," jelasnya.

Menunjang Karier dan Penghasilan Hari melihat kebutuhan paling besar 
profesional yang bersertifikasi  profesi adalah  di industri  keuangan,  
asuransi,  pasar modal,  dan  properti. "Ini lagi tren dan  membuat  
tenaga-tenaga yang  memiliki  sertifikasi harganya naik," tegas  Hari.  Apalagi 
tenaga-tenaga  bersertifikasi juga tak mudah dicari  karena  yang bersangkutan  
sudah  mendapatkan posisi dan  income yang  bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya 
berharga mahal.

Berapa?  Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh  karena mereka memiliki  
kemampuan khusus, perusahaan  pun  diuntungkan. Nilai  perusahaan (corporate 
value)  otomatis  meningkat  karena mampu  mempekerjakan tenaga-tenaga 
bersertifikasi  global  dengan gaji  yang  tinggi. Hari menyarankan, tak ada  
ruginya  eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi.  
"Tren dunia  keprofesian  akan makin spesifik dan ilmu  yang  dimiliki sangat 
spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari.

Menurut  pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar  CISA memang memiliki 
penghasilan yang bagus dan posisi strategis  di perusahaan.  "Ia betul-betul 
dipakai untuk memberikan  pendapatan besar  bagi perusahaannya," tambahnya. 
Apabila ada  proyek  audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan sehingga 
penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus dibanding  
auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar menerapkan TI, 
harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun makin meningkat 
pula.

Namun,  menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang yang bersertifikasi  
standar global akan berhasil di karier dan  gaji. Hanya, memang,  dengan 
memiliki sertifikasi,  daya  tahan  untuk tetap  memiliki posisi dan 
penghasilan  tinggi  cenderung  lebih kuat.  "Jika  tak punya sertifikasi, bisa 
saja  ia  diganti  oleh orang yang bersertifikasi,"
tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk dengan 
orang asing. Jadi, jika  tak  memiliki kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti  
akan  kalah bersaing.  "Bank-bank  besar,  asuransi, dan pasar  modal  makin 
melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya.

Ferry  Wong berpendapat, sertifikasi memang  menunjang  karier dan gaji, tetapi 
tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA  dan FRM pasti akan menjadi analis 
yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar  atau  tools  untuk menjadi analis  
yang  baik,"  paparnya. Selebihnya  tergantung kemauan, usaha, dan 
keberuntungan.  Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang
menyandang gelar CFA dan  FRM memang  memiliki posisi tinggi. "Oleh karena 
jumlahnya  sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya.

Hal  senada juga diungkapkan Ario. Katanya,  penyandang  gelar CPM Asia Pacific 
di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi  gelar  ini dihargai di 
negara-negara Asia  Pasifik,  sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar 
negeri, mendapat pengakuan bahwa  standar  profesionalnya setara.  "Sementara  
di  Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti
makna titel CPM,"  paparnya. Ario  mensinyalir,  orang  masih rancu antara 
gelar  formal  dan informal,  serta adanya stigma bahwa apabila gelar informal  
tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak legal. "Padahal  
di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal  profesi yang  kalau diterima 
pasar ya bisa berjalan," jelas  Ario.  Namun Ario yakin, pemilik sertifikat CPM 
atau CM bakal  lebih  berdaya saing dibanding yang tidak memilikinya.

Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service  director  Century 21 
Thomas Mitra, menjelaskan bahwa  sebagian  broker properti  memang belum 
memiliki sertifikasi broker   atau  analis properti.  Namun ia mengamati, 
mereka yang memilikinya  cenderung makin  baik  karier dan penghasilannya. 
Thomas,  yang  memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat 
Studi  Properti Indonesia,  merasakan manfaat pendidikan yang  ditempuhnya 
dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.

Ke  depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker  properti makin dibutuhkan 
 karena persaingan makin  sengit  dan  tuntutan konsumen  makin tinggi. "Itu 
baru bisa kami layani kalau  kaminya sendiri  makin berkualitas," ujarnya. 
Thomas menambahkan,  karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang tanpa 
terus belajar.

Sulit Diperoleh Namun  umumnya  sertifikasi  profesi  berstandar  global,  dan 
bahkan yang nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan,  papar Hari, dalam 
ujian profesi, lebih banyak yang gagal daripada  yang berhasil. Sinyalemen Hari
dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan  untuk ikut ujian CPM, seseorang 
minimal  sudah bekerja  di bidang  pemasaran  selama lima tahun, dan biasanya  
jarang  yang sekali  ujian  bisa langsung lulus. Umumnya dua kali ujian  baru 
lulus.  "Saya  sendiri  waktu itu ada yang  satu  modulnya tidak lulus,"  
ungkap  Ario. Kesulitan makin tinggi  kalau  mereka  tak
punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30% yang 
bersifat teori, selebihnya bersifat praktis.  Jadi, bagi yang belum 
berpengalaman, pasti akan kesulitan.

Seorang  penyandang gelar sertifikasi berstandar global  tidak boleh hanya 
piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya.  Misalnya di 
bidang hukum, ia harus terampil  berperkara di  pengadilan.  Kalau ia manajer 
investasi,  ia  harus  terampil mengelola  dana  triliunan rupiah. "Kepandaian  
mengelola  risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari.

Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi  berstandar global 
meningkat,  gelar itu juga menuntut tanggung  jawab  yang juga  besar. Menurut 
Hari, mereka tak bisa berlindung  di  bawah perusahaan atau organisasi profesi. 
"Sebab, pekerjaan  mereka kerap kali menyangkut nilai yang besar," tuturnya. 
Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa
bertanggung jawab di depan  hukum supaya  tidak  ada malapraktek. "Profesi yang 
 sudah  dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari.

Oleh  karena itu, lanjut Hari, sertifikasi  berstandar  global bukanlah lisensi 
seumur hidup, tetapi terus mendapat  pengawasan ketat  dari institusi pemberi 
sertifikasi.  Penyandang  gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian 
berkesinambungan  (continual education) untuk terus meningkatkan kualitas  
profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas
mengikuti perkembangan terbaru, sehingga  kualitas kerjanya turun dan opininya 
tidak layak lagi,"  urai Hari.  Mereka  juga  diwajibkan mematuhi kode  etik  
sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu.

Surdiyanto  membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila  pemegang gelar CISA 
dalam setahun tak melakukan praktek apa pun  yang terkait  dengan gelarnya, ia 
tidak akan mendapatkan poin  kredit sehingga  gelarnya bisa dicabut. Gelarnya 
baru bisa  diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia 
juga harus mematuhi  kode  etik yang ada. "Setiap akhir  tahun, gelar  CISA 
harus  diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup memegang gelar 
CISA," paparnya.

Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi  profesi seperti CFA 
memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi,  seperti  surat izin 
mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu, tambahnya,  penyandang  gelar  CFA 
cenderung  tak  berani  mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. 
"Risiko dan tanggung jawabnya besar."

Biaya  pendidikan  dan ujian sertifikasi standar  global  juga terhitung mahal. 
"Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu  tak bisa dipertanggungjawabkan,"  
papar Hari. Sampai di  sini,  Hari  cemas dengan makin menjamurnya 
institusi-institusi yang  menawarkan  fasilitas pendidikan dan ujian 
keprofesian, baik  berstandar global  maupun lokal, seiring
tumbuhnya permintaan. Hari  mencermati, ada gejala banyak orang memburu 
sertifikasi sampai ke  luar negeri  sehingga kalau tidak diantisipasi, 
disediakan  forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi 
profesi  dari luar  negeri yang tak diketahui seperti apa  kualitasnya. "Tidak 
bisa  sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud kriterianya," 
tegasnya.

Untuk  itu Hari menilai pentingnya peran  berbagai  organisasi profesi dan 
organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan  semua pihak yang terkait, 
seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah terhadap 
perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek di 
lapangan. "Kalau  pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di 
induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir 
memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.

Ferry  Wong  juga khawatir jika sertifikasi  profesi  kemudian dianggap seperti 
mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak  dapat dipertanggungjawabkan.  Ia  
melihat ada  kecenderungan  tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari 
uang dengan  memanfaatkan  momentum  dan bahkan membuat sertifikasi  profesi  
yang  tak jelas  standarnya. Akan tetapi ia yakin, orang akan  tahu  dengan 
sendirinya, sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai.

Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya terus 
dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya,  gelar CFA,  yang 
tahun ini  tingkat  kelulusannya  di seluruh dunia hanya 32% dari total 
peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau mencari 
sertifikasi,  cari yang  susah karena itu yang akan dihargai.  Kalau 
sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.

Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
 1. Chartered Financial Analyst (CFA)
 2. Certified Financial Planner (CFP)
 3. Financial Risk Manager (FRM)
 4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
 5. Project Management Professional (PMP)
 6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
 7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
 8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
 9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)

Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi Meski sertifikasi profesi menjadi 
syarat utama agar  pelakunya berharga
mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan 
sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi  yang  sebenarnya tak  
membutuhkan  sertifikasi  khusus, tetapi juga langka sehingga harganya
pun tergolong mahal.  Penyebabnya  mungkin  karena profesi-profesi  itu lebih  
mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan 
formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.

Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa 
tingkat  kesegaran  ikan hasil  tangkapan  agar  layak ekspor.  "Dia tugasnya  
hanya memegang dan  membaui  ikan  tuna, seperti  layaknya menguji biji kopi 
atau daun teh,"  ujar  Irham Dilmy,  managing partner perusahaan executive 
search Amrop  Hever Indonesia.

Menurut  Irham, pemeriksa ikan tuna yang  notabene  ekspatriat itu  per bulan 
bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak  digaji tinggi  karena pabrik 
pengalengan ikan tak mau  mengambil  risiko produknya  ditolak di negara tujuan 
ekspor lantaran tak  memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng 
reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari
perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.

Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan dan 
tidak boleh ditangkap dengan jaring agar  pembuluh darahnya  tidak pecah. Orang 
Jepang tak suka  mengkonsumsi  ikan tuna  yang pembuluh darahnya sudah pecah 
karena  rasanya  menjadi tidak enak.

"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10 
orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu sekolah 
tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan mereka 
sebenarnya relatif sama dengan  pembau tembakau, tapi bayarannya jauh lebih 
mahal," ungkap Irham.

Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan Kini  kian banyak profesi 
baru bermunculan. Misalnya,  profesi di bidang perencanaan keuangan, audit 
penerapan TI, audit manajemen  mutu,  manajemen lingkungan,  manajemen  risiko, 
 manajemen proyek,  pemasaran,  manajemen pabrik,  dan  lain-lain.  
Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh
orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu 
umumnya spesifik  dan  membutuhkan  keahlian khusus.  Di  sinilah sertifikasi 
profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat dengan prediksi 
profesi-profesi termahal di masa depan.

Sertifikasi  profesi berstandar global makin diperlukan  untuk menegaskan bahwa 
pelakunya layak diakui,  memiliki  pengetahuan, keterampilan,  dan pengalaman  
dengan  kualitas   internasional. Misalnya,  bidang audit penerapan TI 
dibutuhkan pelaku yang  bersertifikasi  CISA. Mereka ini diprediksi bakal mahal 
harganya  di masa depan.

Pelaku   profesi  bersertifikasi  standar  global   diprediksi "mahal" karena 
beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang  yang menekuninya. Kedua, tak semua 
orang bisa menjadi pelaku  profesi ini bisa memiliki sertifikasi berstandar 
global. Ketiga,  permintaannya yang kian tinggi belum diimbangi dengan 
banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik. 

Keempat,  mereka  mahal karena  sertifikasinya  diakui  secara  global. 
Artinya, di mana pun ia bekerja, standar  keahlian  atau kompetensinya diakui, 
sehingga bisa bekerja di negara mana  pun.  Sertifikasi standar global 
menegaskan bahwa penyandangnya  memang memiliki keahlian khusus, sehingga 
pantas mendapat bayaran  tinggi.

Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate 
value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan  karyawan bersertifikasi standar  
global  tentu  dianggap  memiliki  nilai lebih. Itu sebabnya
perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.
 
FADJAR ADRIANTO DAN HENDARU

Source :
wartaekonomi.com


[Non-text portions of this message have been removed]





-- 
www.itcenter.or.id - Komunitas Teknologi Informasi Indonesia 
Info, Gabung, Keluar, Mode Kirim : [EMAIL PROTECTED] 
:: Hapus bagian yang tidak perlu (footer, dst) saat reply! :: 
## Jobs: itcenter.or.id/jobs ## Bursa: itcenter.or.id/bursa ##
$$ Iklan/promosi : www.itcenter.or.id/sponsorship $$

[@@] Jaket ITCENTER tersedia di http://shop.itcenter.or.id 

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ITCENTER/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke