Kok saya tidak menganggap begitu. Pemerintahan SBY saya nilai sudah cukup tegas 
dalam hal menangani kasus Poso. Polisi (tentu sudah seizin SBY) berani 
melakukan penggerebegan di area rawan. Nah, kalau sudah digerebeg tapi melawan 
dengan kekuatan senjata, ya dilawan balik tho? Kalau polisinya ngacir, mereka 
tambah seneng. Mereka bersenjata saja sudah menyalahi aturan hukum di negeri 
ini. 
   
  Justru tindakan tegas pak bu polisi di Poso wajib kita acungi jempol. Kalau 
mereka melempem, itu para pemenggal kepala orang akan  kegirangan, lalu 
bertindak semakin brutal. Jangan-jangan nanti ada yang mati dicincang, atau 
dibikin abon segala. Mereka itu sudah tidak menganggap  dan tidak mematuhi 
aturan hukum yang ada di Indonesia. Sudah diberi tenggat waktu untuk menyerah 
kok malah ngumpet. Polisi saja dibunuh dengan cara dikeroyok ramai-ramai. 
Mereka rupanya hanya patuh pada tatanan Syariah Islam saja.
   
  Jadi maaf, kali ini opini saya mungkin berseberangan dengan rekan-rekan di 
Praxis.
   
   
  
"Andi K. Yuwono" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Pemerintahan SBY Gagal Menangani Poso!

Kami menyesalkan jatuhnya 13 korban sipil dan 1 anggota polisi yang tewas 
dalam penyergapan yang dilakukan oleh Polda Sulteng di Poso kemarin (22/1). 
Akibatnya masyarakat ketakutan dan mengungsi meninggalkan Poso Kota. Di sisi 
lain, keluarga mendapatkan kesulitan untuk mengakses informasi atas 
keberadaan korban yang meninggal dan luka-luka. Polisi juga tidak 
mengumumkan secara terbuka identifikasi korban yang telah meninggal dunia 
maupun luka-luka.

Jatuhnya korban ini seharusnya dapat dihindari bila polisi tidak melakukan 
penyerangan terbuka di wilayah padat, penduduk Poso kota serta di waktu 
dimana masyarakat mulai sibuk beraktivitas. Tindakan ini tidak dapat 
dilihat hanya sebagai upaya penegakan hukum, namun juga dapat dikategorikan 
penyerangan terhadap warga sipil yang menjadi elemen penting dari 
pelanggaran berat HAM. Ditambah, pendekatan kekerasan ini justru gagal 
menangkap para DPO dilapangan. Hal ini juga membuktikan lemahnya aparat 
intelejen dalam mengantisipasi kekerasan.

Kekerasan yang terjadi Poso ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi Polri 
semata. Kekerasan yang terus berlangsung ini sesungguhnya menunjukkan Negara 
tidak memiliki Peta Perdamaian yang kongkrit dan gagal mengkonsolidasi 
kekuatan negara yang ada bagi penciptaan rasa aman.

Polri memang mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa termasuk 
penggunaan kekerasan dengan senjata. Namun, penggunaan kekerasan dengan 
senjata api tersebut tetap harus tunduk pada persyaratan yang ketat pada 
kode etik aparatur penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement 
Official) maupun prinsip dasar tentang penggunaan kekerasan dan senjata api 
(Basic Principles on the Use of Force and Firearmas by law Enforcement 
Officials) yang menjamin kekerasan itu terarah pada pihak yang mengancam 
sesuai dengan tingkat ancamannya baik bagi polisi maupun warga sipil yang 
seharusnya dilindungi.

Peristiwa diatas tidak lepas dari maklumat tembak ditempat yang dikeluarkan 
oleh Kapolda Sulteng sebelumnya. Maklumat ini jelas telah menimbulkan 
masalah, sehingga Mabes Polri sempat mengatakan bahwa istilah tembak 
ditempat tidak dikenal di Polri. Sehingga patut dipertanyakan adanya 
maklumat ini dari sisi dasar hukumnya. Disisi lain adanya maklumat ini 
justru menstimulus masyarakat (plus DPO) menjadi represif. Seharusnya 
Polri mencari taktik lain yang persuasif untuk menangkap para DPO dengan 
perencanaan yang matang dan mengutamakan keselamatan warga sipil.

Kewenangan yang dimiliki Polri jelas ada batasnya. Setiap tindakan Polri 
harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sekaligus dibenarkan secara 
teknis. Harus diingat tujuan polisi dipersenjatai yaitu untuk membela diri, 
melumpuhkan orang yang melawan, dan melaksanakan eksekusi (atas putusan 
hakim). Jadi polri tidak dapat bergerak dengan hanya mempertimbangkan aspek 
yuridis saja, akan tetapi juga harus memperhitungkan aspek filosofis dan 
sosiologis pula. Sebagaimana pernah disinggung oleh Wakil Presiden: "polisi 
harus lebih memahami masyarakat".

Bila pemerintah telah siap menanggung resiko sebagaimana disampaikan oleh 
Wapres Yusuf Kalla. Kami berharap itu bukanlah pertanda 'politik buang badan'. 
Pemerintah tetap dituntut untuk memiliki konsep yang jelas bagi jalan damai 
Poso. Langkah pemerintah yang menutup mata dari keterlibatan aparat dalam 
konflik ini, bakal menjadi hambatan bagi upaya penghentian kekerasan di 
Poso.

Kami menengarai ini merupakan bukti kegagalan Presiden dalam menangani Poso. 
Kami berharap kesiapan pemerintah untuk mengambil resiko itu, harus menjadi 
pintu masuk bagi dilakukannya.penyelidikan yang transparan dan akuntabel. 
Kesimpulan adanya pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM dalam kasus Tanah 
Runtuh (22/10/06) harus ditindaklanjuti dengan penyelidikan yang meluas 
hingga peristiwa Gebang Rejo. Polri juga harus menjamin proses peradilan 
yang jujur (fair trial) terhadap mereka yang ditangkap untuk diketahui oleh 
pihak keluarganya, dapat memilih pengecaranya secara bebas, dan tidak 
mengalami penyiksaan selama di proses di pemeriksaan.

Jakarta, 23 Januari 2007

POKJA POSO
(KontraS, PBHI, HRWG, Imparsial, Praxis, FBB Prakarsa Rakyat, Kamust, Ikohi, 
YLBHI)
Bambang Widodo Umar, pengajar UI

===============================================================================================
Andi K. Yuwono
Program Coordinator for Interactive Media
Praxis Association
Jl. Salemba Tengah No. 39-BB
Jakarta 10440 - INDONESIA
Tel. ++62 21 3156907, 3156908, 3911927
Fax. ++62 21 3900810, 3156909
Mobile: 0811182301, 0817174087
Yahoo Messenger: andi_yuwono
Email: [EMAIL PROTECTED]
Http://www.prakarsa-rakyat.org
Http://www.praxis.or.id
Http://andi-yuwono.blogspot.com

"It is better to die on your feet than live on your knees".
-- Emiliano Zapata

Kirim email ke