Bung Lusi yb., ini memang cukup ruwet. Mungkin diperlukan waktu untuk ke library untuk membuka beberapa buku, juga texbooks. Singkatnya saya kira KM dapat dibatas dalam dua bidang. Pertama hubungan kelompok itu dengan produksi, alat-alat produksi, sekarang dengan profesi juga. Dalam hal ini mereka yang pernah melawan dan menang terhadap aristokrasi di Eropa, lalu selangkah demi selangkah menegakan demokrasi dengan slogannya yang terkenal: liberte, egalite, fraternite.
Kedua, KM bisa dilihat dari pandangan dunia nya (world outlook, Weltanschaung). Ini biasanya untuk membedakan hal tsb dengan yang ada pada proletariat, namun juga pada borjuasi besar. Untuk membuat lebih rumit, kalau tak salah sosiologi juga membedakan antara "upper middle class" dan "lower middle class". Hal ini juga terkait dengan kepemilikan dan status sosial, juga dengan pandangannya. Menarik bahwa kalau tidak salah Bung Karno menampilkan istilah MARHAEN untuk membedakan jutaan wong cilik yang mempunyai sebidang kecil tanah garapan dan cangkul dengan proletariat, kaum buruh, yang samasekali tidak mempunyai alat produksi spt tanah dll itu. Istilah konglomerat tampaknya mulai dipakai setelah ada Orba, praktis berarti mereka yang menguasai big business, yang kekuasaan dan jangkauan ekonomisnya sudah jauh lebih besar daripada jaman BK dulu. Kini menurut saya juga sudah jauh lebih banyak jumlah golongan berpendidikan, termasuk mahasiswa, secara umum dikatakan sebagai para intelektual, yang karena memang sering mendambakan kebebasaan, bermacam hak azasi, sipil, demokrasi, dan - last but not least - saya lihat karena harus berhadapan dengan kenyataan sangat kurangnya lapangan kerja, dapat menjadi aktif dalam gerakan kemajuan. Kapitalis birokrat (kapbir) mungkin kini telah menjelma menjadi "penguasa pengusaha". Borjuasi komprador menurut sejarahnya ialah borjuasi yang menjadi pembantu modal asing. Dijaman kolonialisme dulu adalah pribumi atau siapa saja yang kebanyakan dipelabuhan menolong pedagang asing (sering dilindungi oleh kekuatan kolonialis) untuk melancarkan kegiatan ekonominya, sehingga kepentingannya sangat terkait dengan kehendak pihak asing tsb. Juga kalau saya tidak salah, Bung Karno menganalisis borjuasi nasional dalam sebuah artikelnya Kapitalisme Bangsa Sendiri. Mengenai semua stratafikasi, lapisan-lapisan, sosial atau keadaan perkembangan kelas-kelas sosial yang ada di Indonesia harusnya menjadi tema yang sangat menarik untuk dibahas oleh para sosiolog. Mungkin juga sudah banyak buku yang tertulis atau makalah yang dibahas. Hanya saya (di LN) tidak tahu. Sekait dengan ini dan juga tentunya dengan perkembangan masyarakat, saya ingat Bung Karno tempo doeloe sangat menganjurkan pemakaian MARXISME sebagai pisau analisis. Saya sepenuhnya setuju, dan terus saja ada kaum dan pakar Marxian yang aktif dibidang ini. Tentu kita jangan menutup mata dengan pendapat mereka yang menentang, spt Weber, von Hayeck, dll. Interaksi antara seluruh kelompok, lapisan atau kelas sosial tentu saja sangat terjadi didalam kehidupan perpolitikan, kepartaian, modus dan cara menggapai kekuasaan negara, dan sistem serta kualitas dari sistem itu sendiri. Saya khawatir jawaban ini tidak akan memuaskan Bung Lusi. Jadi marilah kita cari perpustakaan! Salam, Bismo DG ----- Original Message ----- From: Lusi To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; tionghoa-net@yahoogroups.com ; ANTARA Cc: HKSIS-Group ; mediacare@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] Sent: Saturday, January 27, 2007 12:06 PM Subject: Re: [nasional-list] 2007, Kelas Menengah Sebagai Penggerak Moral Dalam Perubahan Bung BDG Kusumo yb. Uraian ttg KM (kelas menengah) ini agak membingungkan pengertian saya, terutama yang menyangkut kategori lapisan sosial dlm masyarakat di Indonesia. Apa bisa dipakai istilah yang sering digunakan pada jamannya Bung Karno dulu? Kan waktu itu dikenal pengertian konglomerat, kapitalis birokrat, borjuis komprador, borjuis nasional, borjuis kecil, kemudian kaum intelektuil, kaum buruh dan petani. Tentu saja setiap masing-masing lapisan memiliki pengertian moralnya sendiri. Lalu yang masuk KM ini yang mana? Salam Lusi.- At 07:50 27.01.2007, BDG KUSUMO wrote: Ulasan yang menarik. Siapa saja yang termasuk Kelas Menengah (KM) mungkin dapat diperluas dengan lebih memakai kriteria sosiologis. Sekitar tahun 1992 saya tanyakan pada WS Rendra di Praha ttg KM, jawabannya di Indonesia KM tidak punya kekuatan. Waktu itu Orba masih sangat berjaya. Kini pasca Orba, kelihatan KM kita sedang bergeliat "bangun", mencari jalan untuk paling tidak berekspresi. Menurut saya sangat penting wadah atau kendaraan, tidak saja modus operandi, KM agar sungguh menjadi "penggerak moral dalam perubahan". Para intelektual sering menekankan bhw ranah civil society (masyarakat madani) adalah satu-satunya dan paling ideal untuk kiprah KM. Namun menurut saya jalur politik "klasik" dengan keparpolan, DPR, DPD dll juga tetap saja mungkin yang terpenting. Karena di legislatiflah banyak perubahan diresmikan menjadi legislasi, UU, yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Media massa memang seharusnya memihak KM dan seluruh lapisan, di RI termasuk mayoritas yang wong cilik, juga menjadi penggerak moral dan bahkan "the watchdog of democracy". Repotnya dimana saja didunia, media mainstream, yang mayoritas dalam pengaruhnya, sudah selalu dikuasai oleh pemodal, terutama redaksinya, sehingga jurnalis dapat punya hati nurani sebesar gunung, namun sering bak pungguk merindukan bulan dalam kenyataannya. Taipan media di Italia Silvio Berlusconi sangat piawai sebagai Perdana Menteri memanipulasi opini publik hingga selama jabatannya dia selamat dari pengadilan tuduhan korupsi. Tahun lalu kahirnya kalah tipis dalam pemilu oleh koalisi leftist. Ini contoh buruk bila media dan kekuasaan politik dipegang oleh kekuatan sama. Sangat mungkin bhw di RI, KM akan menjadi "penggerak moral perubahan" tetapi tampaknya puluhan juta wong cilik yang dikabarkan (saya di LN) serba hidup susah yang kiranya harus bergerak dibarisan terdepan untuk memperbaiki kehidupannya yang mungkin sama sekali tidak mengenal kualitas. Ini terutama berlaku untuk jutaan petani, mungkin juga nelayan. Bagaimanpun juga akan sangat berguna untuk negeri bila KM akan cepat melepaskan diri dari belenggu letargi, "sindrom penyakit mengantuk", masa bodoh, pasif, untuk mempercepat kematangan dan keadaban sistem demokrasi di Indonesia. Salam, Bismo DG ----- Original Message ----- From: Holy Uncle To: [EMAIL PROTECTED] ; tionghoa-net@yahoogroups.com Sent: Monday, December 25, 2006 4:18 AM Subject: [nasional-list] 2007, Kelas Menengah Sebagai Penggerak Moral Dalam Perubahan 2007, Kelas Menengah Sebagai Penggerak Moral Dalam Perubahan Oleh Bob Widyahartono *) Jakarta (ANTARA News) - Memasuki tahun 2007 dan seterusnya, kita perlu merenungkan dan belajar dari sejarah, agar tidak mengulangi keburukan masa lalu dalam mengarungi hidup masa depan. Dalam renungan itu, sekalipun tidak secara eksplisit, teramati perbedaan pandangan di antara elite kita dengan berbagai pengamat yang tidak berada dalam main stream yang tergolong dalam kelas menengah dalam wacana memberi substansi cita cita pembangunan manusia kita. Ini nuansa demokrasi bukan? Wacana manusia yang menganggap diri kelompok kelas menengah sebagai kekuatan moral membela the demand side, sementara elite birokrasi itu dianggap hanya membela the supply side. Kalau sampai sampai elite bersikap tidak peka terhadap demand side, maka apakah kelas menengah mengalah atau menjadi kalah dan membiarkan ketimpangan? Di manapun di dunia, kelas menengah merupakan kekuatan moral yang tangguh dan pasti mampu menggerakkan dan memberi warna masyarakat madani (civil society). Kelas menengah tanpa bentuk formal memberi daya gerak kemanusiaan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan memberdayakan dalam wacana masyarakat madani. Anggota kelas menengah tidak melulu cari popularitas pribadi. Siapa saja yang terhitung kelas menengah? Mereka adalah insan pengusaha tingkat menengah yang bukan anak emas penguasa, dalam jajaran organisasi tergolong eselon menengah, kelompok akademisi, intelektual dan mahasiswa, serta jangan dilupakan pers yang independen dan tidak termasuk dalam struktur/sistem birokrasi pemerintahan. Independensi mereka itu senantiasa membawa angin segar dalam wacana demokrasi dengan moral force yang bukan physical force. Moral force harus terus bergema dengan dukungan pers yang menyuarakan hati nurani rakyat. Sama seperti di mancanegara, seperti Prancis, Jerman, Inggeris, Amerika Serikat dan negara Asia layaknya Jepang, Korea Selatan (Korsel), China, maupun negara Afrika dan Amerika Latin, eksistensi kelas menengah tetap merupakan "warna yang indah". Manusia kelas menengah sebelum era reformasi secara sistematik diinjak injak, dibungkam dan disudutkan ke pinggiran oleh elite politik yang bergaya paternalistik otoriter-diktator. Tetapi, meraka mau tak mau dengan elan vital kelas menengah yang memperbarui diri dalam pesertanya tetap muncul kembali setelah redanya otoriterisme. Yang pasti adalah dalam demokrasi, pemerintah dan DPR hanyalah salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi dan asosiasi. Keragaman ini disebut pluralisme, serta hal ini berasumsi bahwa banyaknya kelompok dan lembaga dalam suatu masyarakat demokratis tidak bergantung pada pemerintah bagi kehidupan, legitimasi, atau kekuasaan mereka. Peranan kelas menengah sebagai penjaga demokrasi dan nilai nilai moral (custodian of democracy and moral force), dengan kesadaran hati nurani masing-masing yang merasa bagian kelas menengah makin mencuat. Artinya, "esa hilang, dua terbilang", "mati satu, tumbuh seribu" tetap eksis sebagai kekuatan moral. Seringkali muncul gugatan dengan mencibir skeptis di beberapa kalangan intelektual: "benarkah kelas menengah kita sebagai manusia independen tanpa ikatan formal terstruktur, dan apa masih memiliki daya "kritis yang langgeng?" Kelas menengah yang tersebar di seluruh Nusantara tidak melulu bergerak, karena keinginan publisitas dengan segala "sloganisme", tetapi karena panggilan sejarah. Peranan kelas menengah dengan dukungan isntrumen demokrasi lainnya, yaitu pers yang bebas dan profesional, bukan karena beberapa nama saja. Kelas menengah itu ibaratnya pahlawan tanpa publisitas, dan memang terhitung menjadi penggeraknya demokrasi. Jangan sampai kelas menengah terbuai oleh ekspektasi instan yang membuat mereka menjadi arogan, dan mudah kecewa hingga menjadi "masa bodoh", ketika ekspektasi peranannya tidak mudah tercapai. Patutlah diketahui bahwa di negara manapun, termasuk Indonesia, bangkitnya kelas menengah melawan ditaktor dan kesewenangan sekaligus membantah pengamat yang mempertanyakan kekuatan kelas menengah kita. Bangkitnya kelas menengah itu lantaran perasaan terinjaknya hak dan kewajiban dalam demokrasi yang bernilai universal. Bangkitnya kelas menengah kita bukan lantaran beberapa orang yang dituduh menjiplak elan vital kelas menengah negara Eropa, Amerika Serikat atau Jepang. Dalam rezim otoriter, boleh dikata semua organisasi dikendalikan, didaftar, diawasi dan bertanggungjawab kepada pemerintah. Pers yang dikategorikan bebas pun diperlakukan secara kerdil dan pembodohan terus berlangsung selama elit demikian berkuasa secara otoriter dan diktator. Segala macam Undang-Undang (UU) atau peraturan dirumuskan sedemikian rupa hingga demokrasi dalam politik, ekonomi dan sosial tidak berfungsi, karena senantiasa ada belenggu. Syukur kita semua sadar sejak era reformasi, maka tidak hidup dalam belenggu otoriter. Syukur kalau sejak era reformasi, maka elite kita terus tumbuh dengan kesadaran mau menghargai wacana kelas menengah. Manusia yang memiliki kesadaran diri dan kritis perlu setiap kali menyerap ungkapan Amartya Sen, sang pemenang Hadiah Nobel 1998), dalam Democracy as a Universal value (February 1999), yang mewanti-wanti "...The value of democracy includes its intrinsic importance in human life, its instrumental role in generating political incentives, and its constructive function in the formation of values and in the understanding of the force and the feasibility of claims of needs, rights and duties. (Nilai demokrasi mencakup kepentingan intrinsik dalam kehidupan manusia, peranan instrumentalnya dalam mencuatkan insentif politik, dan fungsi konstruktif dalam pembentukan nilai nilai serta dalam pemahaman akan kekuatan dan kelayakan tuntutan kebutuhan, hak dan kewajiban). Demokrasi merupakan sarana mewujudkan mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu, kelas menengah merupakan suatu kelompok independen, bergerak maju, tidak terbatas oleh satu generasi saja, dan pasti ada kesinambungan, karena sebagai pejuang demokrasi dan melalui pendidikan nilai (education of values). Prosesnya seperti mendaki gunung, tapi harus dilalui dengan penuh tekad dan elan vital, meskipun masyarakat biasa, karena sikap "tahu tapi tidak mau berucap" (know more than willing to express), dan ada yang kadang-kadang tutup mulut diri dalam menantikan arah perubahan yang konkret dan kredibel lebih bermutu untuk jangka pendeknya, serta selanjutnya jangka menengah ke masa depan. http://www.antara.co.id/seenws/?id=49348 __________________________________________________________ Your Hotmail address already works to sign into Windows Live Messenger! Get it now http://clk.atdmt.com/MSN/go/msnnkwme0020000001msn/direct/01/?href=http://get.live.com/messenger/overview